Oleh: Astryd Diana Savitri.
“Perempuan, Anak, Nafas, dan Peristiwa”.
MALAM itu di rumah sederhana Jalan Gelatik Ciputat, tepatnya tahun 1996, tak disangka beberapa aktivis pejuang reformasi (seperti itulah saya sebut tentang mereka), duduk berjongkok di teras dalam kondisi lampu mati, menunggu tuan rumah membukakan pintu.
Sekitar hampir pukul sembilan malam, saya bersama adik saya mahasiswi IISIP Lenteng Agung datang terlambat, kemudian membukakan pintu, menyalakan lampu, dan mempersilahkan mereka masuk. Mereka adalah Asep Salmin yang sering disapa Jagoan, dan satunya adalah Panjang, yang tak lain adalah Ruri. Peristiwa malam itu tidak akan pernah terlupakan.
Kemudian tak beberapa lama, beberapa sosok aktivis pejuang lainnya hari demi hari juga terkadang berdatangan, diantaranya Sadeli (Herman), dan Bimpet (Bimo Petrus), Jabo, Sere, Mirna, nama-nama yang tidak nyata.
Rupanya mereka berkoordinasi satu sama lain untuk merencanakan aksi tuntutan hak-hak keadilan seperti kenaikan upah buruh, Sembilan Bahan Pokok sembako, BBM, perlindungan dan kesejahteraan buruh perempuan, dan tuntutan lainnya.
Apapun kegiatan yang mereka lakukan adalah untuk meluruskan kembali kedaulatan rakyat dan menegakkan hak-hak keadilan demi menyelamatkan kaum tertindas. Dimana pada masa itu, di bawah pemerintahan kepemimpinan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto beserta kroninya sangat sulit berkompromi, dan lebih memilih menyelamatkan aset “EMPIRE” dengan membangun jurang pembatas dan tembok yang kokoh, mempertahankan ke-KKN-nya: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Asep Salmin mengajari banyak hal tentang kemanusiaan. Diluar dari kebiasaan saya sebagai penulis dan ilustrator buku bacaan anak, Asep membekali saya buku “Bumi Manusia” karya Pramoeadya Ananta Toer, kemudian mengajak saya keluar dari zona nyaman, yang notabene tadinya hanya duduk saja menggambar dan membuat cerita anak-anak.
Asep mengenalkan saya lebih dekat dunia buruh. Di pemukiman buruh Kapuklah, tepatnya di Gang Burung, adalah awal saya melangkahkan kaki melihat dunia nyata.
Saya melewati lorong gang berbau sambil menelan ludah, karena banyak kandang ayam dan burung bersanding di dinding rumah yang dibangun berhimpitan.
Bila menengok ke arah jalan tapak kanan kiri, kita bisa lihat gorong-gorong dialiri air hitam pekat karena limbah pabrik dan rumah tangga.
Belum lagi kebiasaan anak-anak kecil buang hajat di sana, bisa terbayang aromanya, bikin mabuk kepayang bila tak terbiasa.
Bolak-balik kehadiran saya di sana untuk melatih teater buruh yang dipentaskan di Gedung Trisula pada tahun 1997 dan membuat komik di salah satu buletin KOBAR berjudul Titok Burce. Sampai akhirnya Sanggar Anak Kapuk berhasil didirikan tahun 1997, dengan tujuan membantu anak-anak buruh maupun buruh anak mendapatkan haknya bermain, belajar, dan berkreatifitas, agar tidak terlantar menjadi anak jalanan.
Di sanggar itu pulalah, ibu-ibu yang sibuk selama bekerja di pabrik maupun berdagang dapat menitipkan anaknya, sehingga kesehatan fisik maupun mental anak-anak di Kapuk juga mendapatkan perhatian.
Semangat sanggar anak pun akhirnya berkembang hingga ke Rawa Bebek Pluit Penjaringan.
Asep Salmin memiliki riwayat sakit asma sejak usianya di bangku SMP. Berawal ketika selesai berenang ia mengalami sesak nafas yang berkepanjangan. Karena sakitnya itulah, ia meninggalkan kita semua pada tanggal 31 Januari 2022 dini hari.
Semasa hidupnya, sejak kuliah di Sastra Rusia Universitas Indonesia, nafasnya banyak ia berikan untuk “Perjuangan” melawan penindasan dan ketidak adilan.
Nafasnya yang berharga dan terbatas, ia bagikan pula untuk orang-orang terkasihnya; ibunya, teman-teman seperjuangannya, kaum buruh, keluarga, juga anak-anak dan perempuan yang baginya adalah kaum yang patut dibela.
Ketulusan Wahyu, nama lain Asep Salmin maupun Jagoan, telah menghubungkan saya dengan salah satu yayasan Katolik, untuk menolong dua anak penderita Thalasemia mayor bernama Brian (7 tahun) dan Adam (4 tahun) di Sanggar Kapuk, kemudian mendapatkan perawatan intensif, sampai mendatangkan alat khusus kesehatan dari Vatikan Roma.
Kedua nama anak tadi mengingatkan saya nama musisi Bryan Adams dengan lagunya berjudul “(Everything I do) I do it For You”, soundtrack film Robin Hood yang paling hit di era 90’an.
Seperti itulah nafas perjuangan adalah segalanya bagi Asep Salmin. Masih banyak kasus pelanggaran HAM teman-teman pejuang aktivis reformasi yang telah direngut nafasnya secara paksa dan dihilangkan, belum terselesaikan, menyisakan penderitaan bagi orang tua, keluarga, dan juga teman-teman.
Hilangnya Widji Thukul, tokoh aktivis pujangga rakyat inspiratif, pernah memberi pesan ke saya: “Buat terus cerita anak-anak, dengan cara berpikir anak-anak, buat cerita anak-anak itu sulit, jadi jangan berhenti,”
Juga mengingatkan saya dengan gaya Asep Salmin bila menyapa anak-anak dengan sebutan: “Cil, Kecil… sini Cil, sini Om ajarin!”.
Semua peristiwa itu berbekas justru mamacu semangat juang lebih menyala, dan terus berkarya.
Kisah Jagoan dan kawan-kawannya sempat di abadikan di buku cerita anak,
“Hantu di Bulan Puasa” penerbit PT Balai Pustaka tahun 1999.
Perjalanan Asep Salmin tak sampai di sini meskipun ia sudah pergi mendahului kita.
Tiga tahun sebelum almarhum wafat ia sudah men-khusyu-kan hidupnya untuk ke religi dan berserah diri kepada Sang Khaliq.
Nafas perjuangan Asep akan terus berlanjut dengan nafas-nafas baru yang akan lahir kembali mengobarkan semangat perjuangan, dan yakin kebaikan pasti menang.
Naskah ini dibuat untuk mengenang 40 hari Asep Salmin di sisi hidupnya yang lain, mengingatkan kita semua untuk menghargai hak-hak rakyat, perempuan, dan anak-anak.
Jakarta 14 Maret 2022.
Penulis, Astryd Diana Savitri adalah seorang penulis dan sahabat Asep Salmin