Jumat, 4 Juli 2025

Mengenang Kawan Gepeng: Selamat Jalan Ketua ku….

Oleh: Ahmad Efendi

DAPAT kabar, seorang sahabat hari ini meninggal dunia, Albertus Novianto Eko Purnomo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gepeng.

Persahabatan yang dimulai dari tahun 1992 masih tetap terjaga, terakhir awal tahun 2022 saat kunjungan ke Bapas 69 Magelang, aku masih sempat mengunjunginya di cafe kopi yang dikelolanya, sekaligus sebagai sekretariat komunitasnya, mendampingi masyarakat wisata di sekitaran Borobudur mengelola ‘bank sampah’, dan memberikan kursus bahasa Rusia dan bahasa Kawi kuno untuk masyarakat wisata Borobudur.

Kenangan bersama keluarga dan kawan-kawan. (Ist)

Malamnya dia mengunjungi aku di teras Hotel Artos berdua bercanda dan bercerita sampai tengah malam. Ide terakhir kita akan membuat festival UMKM Jateng DIY di Borobudur. Karena sakit, proposal yang aku nantikan tidak kunjung aku terima, dan tentu saja tidak akan pernah aku terima.

Tahun 1996 bersama beberapa kawan kita mendirikan SMID Purwokerto, Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi, dia ketua dan aku sekretaris, sebuah organisasi mahasiswa yang pada akhirnya menjadi underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai yang dicap radikal dan dikemudian hari dijadikan partai terlarang oleh Rezim Suharto.

Kenangan bersama anak-anak dan istri tercinta. (Ist)

Kenangan kerja besar bersama kita adalah terselenggaranya Kongres Nasional SMID di Purwokerto, tepatnya di Gunung Cendana, anak Gunung Slamet, demikian biasa kita namakan lokasi tersebut.

Kongres Nasional yang menghasilkan keputusan besar yaitu penetapan SMID bergabung dan menjadi underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan terpilihnya pengurus baru, Andi Arief sebagai Ketua Umum dan Nezar Patria sebagai Sekjend.

Manstreemnya saat itu di Unsoed, aktifis biasa terlahir dari Fakultas Fisipol dan Hukum. Gepeng, aku dan pada akhirnya muncul banyak aktifis dilingkungan Fakultas Ekonomi Unsoed. Inj tidak lepas dari peran dia.

Kenangan bersama kawan-kawan di Borobudur. (Ist)

Ide untuk menginfiltrasi lembaga intra kampus, Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi (SEMA FE) didasari untuk memudahkan rekrutmen kader, pun ide dia. Yang hampir semua aktifis ekstra kampus, melihat organisasi intra saat itu sudah sangat tidak menarik, dan ditinggalkan.

Dengan dukungan semua embrio pengurus SMID, melalui pemilihan langsung tahun 1995 aku terpilih menjadi Ketua SEMA FE.

Dan Ospek mahasiswa pun menjadi ajang untuk mengikrarkan Sumpah Mahasiswa, yang saat itu sangat asing dan mungkin tabu ada dilingkungan organisasi intra kampus.

Kenangan bersama kawan-kawan di Borobudur. (Ist)

Dekan FE dengan muka merah dan amat sangat marah, ketika tau bahwa tali yang dia gunting sebagai pembukaan ospek, telah membuka baliho besar dengan bahan dari karung goni berwarna coklat bertuliskan butir-butir isi sumpah mahasiswa.

Demo tanpa senjata utama, megaphone, pun pernah kita lakukan. awalnya demo berjalan menggunakan megaphone beberapa menit kemudian dibubarkan paksa oleh pihak kampus, Pembantu Dekan III saat itu pak MH, merampas megaphone yang digunakan, karena ketahuan bahwa megaphone itu milik kampus.

Insiden rebutan megaphone pun terjadi, yang berakhir dengan harus demo tanpa megaphone,—teriak-teriak.di jalan sampai suara habis.

Hal yang dia punyai, dan aku tidak miliki adalah keberuntungan. Sebagai Ketua tentu dia sasaran utama dari aparat. Tapi selalu saja lolos karena ada pada waktu dan tempat yang tepat. Dan aku selalu pada takdir yang tidak tepat, ketika terjadi perburuan aktifis SMID/PRD pasca peristiwa Kudatuli, aku lebih mudah ditangkap, karena ada di lokasi KKN.

Pun dalam beberapa demo yang lain seperti demo mogok kerja buruh Sritex di Sukoharjo Solo, selama satu pekan, dia lolos, dan aku harus masuk sel Polres Sukoharjo dengan beberapa kawan lainnya.

Membangun SMID di Purwokerto saat itu, tidak mudah. Perlawanan bukan hanya bersumber dari aparat, tetapi juga dari banyak aktifis mahasiswa yang tidak bisa menerima konsep gerakan SMID.

Ada beberapa hal yang oleh sebagian aktifis lokal Unsoed, SMID tidak bisa diterima,

Yang pertama, cara pandang spirit gerakan mahasiswa antara moral force dan political force. Mereka mengidentikkan SMID dengan gerakan politik, dan ansich gerakan mahasiswa hanya dibatasi oleh gerakan moral. Pemikiran tersebut, kontra produktif dengan kejadian setelah rezim suharto jatuh,– mereka mengklaim sebagai motor gerakan.

Yang kedua, jejaring nasional versus local wisdom, dan independensi gerakan. Jejaring nasional dipahami sebagai sentralistik kekuasaan, muatan, ide, dan hal-hal yang menghanguskan kearifan lokal. Padahal, nyata-nyata Jejaring nasional terbukti nyata mengokohkan kekuatan dan menyatukan isu-isu bersama sebagai agenda bersama.

Yang ketiga, dalam dataran aksi, SMID memilih tanpa dialog lokal, karena mereka sama sekali bukan pengambil kebijakan, hampir tidak ada aktifis SMID di daerah berakrab-akraban dengan aparat dan penguasa daerah.  Bagi SMID terlalu banyak dialog, menjadikan mereka dekat dengan aparat dan penguasa daerah, berikutnya terbentuk hubungan emosional.

Selamat Jalan Kawan…

Terima kasih hari-hari bersama kita, apa yang pernah kita lakukan bersama dulu, telah membentuk karakterku saat ini…

Penulis, Ahmad Efendi (Pengki), Eks. Sekretaris SMID Cabang Purwokerto

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru