Menjelang Ramadhan bagi santri adalah juga mengenang KH Turaikhan Adjuhri. Tahun ini adalah duapuluh Ramadhan tanpa KH Turaikhan Adjuhri sepeninggalnya tahun 1999. Untuk mengenang ahli falak ini Hassan Aoni dari Omah Dongeng Marwah di Kudus menulis buat pembaca Bergelora.com. Selamat menyambut bulan Ramadhan (Redaksi)
Oleh: Hassan Aoni
LEGENDA astronomi Islam Indonesia itu bernama KH Turaikhan Adjuhri. Mbah Tur panggilan akrabnya. Ia kiai sederhana yang mewarisi tradisi matematika dan fisika, dan dikenal luas di dunia pesantren di Indonesia. Meski menolak disebut ahli falak – ilmu perbintangan dalam Islam untuk menentukan arah qiblat, waktu shalat dan tanggal mulai dan berakhirnya bulan-bulan dalam tahun Hijriyah – tapi para ahli falak tak pernah alpa merujuk namanya. Ia lahir dan wafat di Kudus.
Dengan matanya yang telanjang, kecuali lensa minus dan teropong teodolit temuan Lippershey, tiap menjelang Ramadhan ia berdiri di pesisir pantai mengintip bulan saat matahari di ufuk barat tergelincir meninggalkan sore. Dalam Islam peristiwa itu disebut sebagai “rukyah” atau menatap hilal (semburat bulan). Metamorfosa peralihan tanggal dari bulan Sya’ban ke Ramadhan. Apa yang dilihatnya akan menjadi fatwa kapan waktu dimulainya puasa Ramadhan bagi kaum nahdliyin.
Tahun ini adalah duapuluh Ramadhan tanpa KH Turaikhan Adjuhri sepeninggalnya tahun 1999. Ia meninggalkan empat anak, dan mewariskan keahlian falak pada salah satu puteranya bernama Sirril Wafa’. Juga dua santri kesayangannya: KH Nur Ahmad di Krian, Jepara, dan KH Ma’sum Rosyidi di Kudus. Melalui Sirril Wafa’, almanak Menara tiap tahun dicetak dan menghiasi ruang tamu kiai-kiai NU dan para santrinya.
Ia jauh dari gemerlap borjuasi kiai-kiai politik, dan justru membuat jarak melalui falak. Ia wafat meninggalkan almanak Menara, yang oleh ahli astronomi disebut sebagai kalender paling presisi. Angka-angka dalam perhitungan kalender itu adalah rumus abadi bagi para santrinya. Angka-angka yang di zaman pra Islam telah melambungkan nama Hermes Trismegistos, seorang mistisisme angka yang disebut Annemarie Schimmel dalam “Misteri Angka-angka” sebagai Idris.
KH Turaikhan adalah Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah, dan sempat diintrograsi oleh Koramil di Kudus tahun 1990, sebab menentukan waktu lebaran yang berbeda dengan pemerintah. Ia tentang maklumat pemerintah yang menyeru masyarakat agar bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari tiba, dan justru menganjurkan umat agar melihat gerhana dan mendirikan shalat kusuf. Di hadapan serdadu, dalam intrograsi itu, dengan kukuh ia menjawab, “Urusan saya adalah agama.”
KH Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632, karena menebar mazhab heliosentrisme – yang memandang matahari adalah pusat semesta alam – seperti ditulis dalam skrip “Dialogue”. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, KH Turaikhan penyokong Syekh Husein Zaid al-Misro, pengarang kitab Al-Mathla’ul Sa’id asal Mesir, yang banyak mempengaruhi pemikirannya.
Ilmu falak adalah ilmu waktu. Dunia bisnis mengenal waktu sebagai uang. Jawa menamai pawukon dalam kalender Saka, dan Islam mengenal waktu sebagai ibadah. Bagaimana menentukan waktu untuk sholat dan puasa, ilmu falak memberinya jawaban.
Seperti planet-planet yang terus berotasi, waktu pun tak pernah berhenti berputar. Tapi, pada Sabtu Pon, 9 Jumadil Awal 1420 H, bertepatan dengan 20 Agustus 1999, jarum jam seakan berhenti berputar. KH Turaikhan mangkat dan disemayamkan dengan damai di dekat makam Sunan Kudus dengan ribuan umat yang menghujani air mata di sepanjang jalan Menara yang muram. Tak ada ruang bagi pelayat untuk bergerak. Beribu pasang kaki saling menyesaki. Keranda yang membungkus jenazahnya berjalan sendiri hingga ke liang lahat dari tangan santri ke tangan santri lainnya. Sabtu Pon yang pilu itu akan dikenang sepanjang masa oleh para santrinya dalam haul dan munajat.
Mengenang Ramadhan bagi santri adalah mengenang KH Turaikhan Adjuhri, yang berdiri di pesisir pantai melihat semburat rembulan. Sesedih umat Islam ketika Ramadlan hampir tanggal, sesedih itu pula umat Islam meratapi kepergian sang syuhada dan ahli falak yang sangat dihormati bernama KH Turaikhan Adjuhri.