Jumat, 28 November 2025

Dibalik ‘Sukses’ Menggagalkan Toleransi Bu Shinta Wahid

Oleh: Yunantyo Adi*

Yang dianggap sebagai “kemenangan” bagi kaum intoleran bukanlah keberhasilan dalam “pengusiran” pada saat acara dialog antara Ibu Shinta Wahid dengan peserta yang berlangsung pada Jumat (17/6) sore hingga buka bersama di Kelurahan Pudakpayung, Banyumanik, Kota Semarang. Bukan itu yang terjadi. Kelompok intoleran itu sudah jelas tidak akan mengusik kegiatan di kelurahan. Sebab event di kelurahan tersebut sudah disepakati di Markas Polrestabes Semarang pada Jumat siang, beberapa jam sebelum acara. Itu sudah tidak dianggap sebagai masalah bagi mereka.

Jadi apa yang dianggap sebagai kemenangan mereka? Yaitu keberhasilan mereka menekan Romo selaku tuan rumah penerima Bu Shinta Wahid, untuk memindahkan buka bersama dan doa buka bersamanya dari halaman gereja ke Kelurahan Pudakpayung. Alasannya adalah masalah akidah (versi mereka).

Kemudian habis buka puasa itu Bu Shinta Wahid akan ke rumah Romo dan akan berkunjung ke gereja, sudah tidak dimasalahkan oleh ormas-ormas intoleran itu. Itu juga sudah disepakati di Mapolrestabes.

Mengerahkan tenaga keamanan besar-besaran pada saat buka puasa berlangsung di Pudakpayung justru akan dianggap sebagai lucu-lucuan bagi mereka. Mengira di lokasi buka puasa di Kelurahan Pudakpayung perlu mengerahkan tenaga keamanan ekstra walau sudah ada polisi dan Paspampres, malah jadi bahan tertawaan kaum intoleran itu. Karena memang bukan disitu dan bukan itu yang mereka masalahkan.

Titik krusialnya tidak berada di lokasi buka puasa, tetapi saat pertemuan di Mapolrestabes Semarang beberapa jam sebelumnya. Pada saat Romo “dikeroyok” kaum intoleran ramai-ramai dan seakan tidak ada yang membelanya, bahkan tak ada pembelaan dari warga NU sendiri.

Keberhasilan kaum intoleran menekan tuan rumah untuk memindah buka puasa dan doa buka puasa itu ke kelurahan, itulah yang dibesarkan sebagai keberhasilan dalam “pengusiran” Bu Shinta di media-media online mereka dan di akun-akun media sosial mereka. Saya sudah menduga bahwa mereka akan membesar-besarkan “kemenangan” mereka ini.

Saya tergopoh-gopoh menyusul ke Mapolrestabes pada Jumat siang itu karena dikontak jemaat Romo. Saya masuk ruang pertemuan dan berbicara agar tidak ada pemindahan, tetapi ditolak ormas-ormas intoleran dengan alasan saya tidak diundang dan karena sebab lain.

Seorang dari pimpinan polisi dengan wajah amat kecut mendekati saya dan meminta saya keluar ruangan. Alasannya saya bukan undangan dalam rapat itu.

Saya lihat dari luar Romo memang terjepit. Romo yang selama ini merangkul lintas umat dengan warga NU dan lain-lainnya, entah kenapa saat-saat seperti ini menjadi single fighter di kantor polisi, sedih sekali rasanya. “Di mana lainnya? Mana Banser?” tanya saya ke teman-teman Romo yang ada di luar ruang rapat.

“Romo sudah memberitahu teman Banser tadi,” kata di antara mereka. Waktu di ruang rapat saya sempat lihat ada dua warga NU, satu kiai dari Banyumanik, dan satunya profesor. Ada juga pimpinan dari Pemuda Muhammadiyah lokal. Tapi mereka tidak melakukan pembelaan terhadap Romo. Kesannya suaranya malah seirama kelompok intoleran itu dan itu membuat saya dan kawan-kawan heran setengah mati.

Saya mencari bantuan ke warga NU lain, termasuk teman-teman pemuda, tapi gagal. Sampai acara debat itu selesai, hanya ada satu warga NU yang datang ke Mapolrestabes tetapi terlambat, yaitu Gus Ubaid, Kiai asal Rembang yang juga dosen di Semarang. Ia jadi “menangis” karena terlambat datang untuk membela Romo dan Bu Shinta. Romo terlanjur menandatangani kesepakatan untuk memindah lokasi buka puasa dari halaman gereja ke kelurahan.

Gus Ubaid marah, marah se-marah-marahnya. Ia sampai bilang, “Tetap saja jangan dipindah nanti saya yang tanggung jawab.” Tapi Romo mengalah. Saya lihat Gus Ubaid amat sedih dan memberi tausyah-tausyah pada polisi-polisi itu tentang Pancasila, Islam, dan kebangsaan.

Sampai kami meninggalkan Mapolrestabes Semarang, memang hanya Gus Ubaid yang datang menyusul, lainnya saya tidak tahu. Dari Banser juga tidak ada yang datang. Malam hari Gus Ubaid sempat kirim pesan, kenapa forum tidak menunggu sampai ia bisa datang. Gus Ubaid kembali bersedih.

Di Mapolrestabes, saat dialog masih berlangsung tegang dan saya terusir keluar, seorang MUI Kota mendatangi saya dan berbicara, ada di antara mereka mau membunuh saya. Saya bilang kepadanya, “Saya akan di sini sampai acara ini selesai apa pun hasilnya, silakan yang bersangkutan temui saya selesai acara ini utk membunuh saya.”

Tapi selesai acara saya tidak dibunuh. Pada pergi meninggalkan lokasi satu per satu. Saya tanya teman MUI tadi, “Mana yang katanya mau membunuh saya?” Ia bilang,”Sudah pergi.”

Sepulang dari Mapolrestabes Semarang, saya sudah menduga kalau “kekalahan” ini akan  diprolagandakan untuk mem-bully teman-teman NU dan ternyata benar. Bahkan sebelum Bu Shinta datang, sudah muncul di media online sudah ada yang memberitakan “kemenangan” kelompok intoleran “mengusir” Ibu Shinta untuk tidak buka puasa di halaman gereja tersebut. Pilihan kata dalam judul berita itu adalah: mengusir.

 

*Penulis adalah pemerhati sejarah dan HAM di Kota Semarang

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru