Keberadaan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) justru semakin menambah masalah krisis konstitusi dan krisis institusi dalam penyelengaraan negara dan pemerintah Indonesia. OJK justru menjadi beban dan bahkan bisa menjadi parasit bagi negara dan masyarakat. Pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng menuliskannya buat pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Salamuddin Daeng
BENARKAH ada krisis terhadap institusi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga OJK menjadi beban negara, bangsa dan beban rakyat Indonesia?
Belakangan ini masyarakat kembali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan menciptakan kerugian bagi rakyat.
Dalam kajian internal, kami menemukan sedikitnya 5 (lima) hal potensi pelanggaran konstitusional OJK:
1. OJK telah menjadi lembaga superbody industri jasa keuangan di Indonesia. OJK memegang 3 (tiga) fungsi kekuasaan sekaligus dalam genggamannya, yakni fungsi pembuatan regulasi (legislasi), memiliki eksekutif dengan anggaran sendiri dari pungutan (fungsi eksekutif/budget), dan fungsi yudikatif (berhak melalukan penyidikan dan menjatuhkan sanksi).
Sifat superbody OJK menjadikan lembaga ini bertindak sesuka hatinya, baik dalam membuat regulasi, membuat/memungut anggaran dan melakukan pengawasan/menjatuhkan sanksi. Dikarenakan keleluasaan hak dan kewenangan yang sangat besar maka berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dengan semena mena.
2. OJK ibarat negara dalam negara. OJK adalah lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun sebagaimana diatur dalam UU OJK. Akibatnya rakyat tidak dapat mengontrol OJK.
Seharusnya dalam sistem demokrasi Pancasila, kekuasaan tertinggi di tangan rakyat yang dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Rakyat tidak memiliki akses dalam mengontrol OJK. Rakyat tidak memiliki mekanisme dalam mengontrol OJK.
Sebagai bukti, saat ini banyak sekali pengaduan masyarakat atas kesewenang-wenangan OJK dalam menjalankan regulasi keuangan dan menjatuhkan saksi kepada pihak yang dianggap melanggar. Namun pengaduan masyarakat tidak menemukan muaranya. Selain itu masyarakat yang terlibat dalam industri keuangan tidak berani mengadu karena takut dibekukan dan dipermasalahkan oleh OJK. Jadi OJK sudah menjadi momok yang menakutkan.
3. Kewenangan OJK dalam melakukan pungutan telah melahirkan korupsi yang bersifat sistemik namun sulit dibuktikan. Ibaratnya OJK itu jeruk makan jeruk.
Lembaga ini memungut iuran secara langsung dari institusi keuangan yang diawasinya. Jadi lembaga ini tidak mungkin benar walaupun isinya malaikat semua.
Lembaga OJK dapat menukar hukum atau aturan dengan uang. Mengingat lembaga ini menarik iuran dari lembaga/institusi keuangan bank/non bank/asuransi yang diawasinya. berbekal kekuasaan dalam menjatuhkan sanksi ringan, sedang dan berat, maka lembaga ini dapat menukarkannya sesuai dengan nilai uangnya dan berat kesalahannya.
Dalam kontek diatas dapat berlalu logika siapa yang dapat membayar lebih besar maka pengawasannya dapat dikurangi. Dan sebaliknya.
Akibatnya masyarkat dapat dirugikan secara langsung dikarenakan OJK tidak menempatkan perlindungan masyarakat sebagai prioritasnya, misalnya, OJK seharusnya menjatuhkan sanksi atas sebuah pelanggaran yang dilalukan oleh penjual jasa keuangan, namun karena setorannya besar ataupun kedekatan dengan figur-figur tertentu, maka saksi tidak dijatuhkan.
4. OJK mengambil alih peran lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan. Bayangkan saja OJK dapat menjatuhkan saksi hukum kepada lembaga pelanggar UU dan peraturan sektor jasa keuangan yang dibuat OJK.
Padahal sebagai negara hukum seluruh putusan perdata dan pidana harusnya diputuskan berdasarkan hukum pidana dan perdata yang berlaku. Demikian juga mekanisme penyelidikan, penyidikan, dan seterusnya telah diatur dalam kitab UU Hukum Pidana (KUHAP). Sementara OJK memiliki hukum sendiri. Proses hukum terkait dengan pelanggaran masalah keuangan ataupun bentuk pelanggaran lainnya dapat dilakukan suka-suka OJK saja. OJK menjadi momok yang menakutkan bagi industri jasa keuangan di Indonesia.
Jika menteri, gubernur dan bupati tidak dapat mengkoordinasikan industri keuangan dalam menjalankan fungsi pemerintahan, sedangkan OJK bisa menyandera seluruh industri keuangan dengan ancaman hukuman atau ancaman kasus.
Akibatnya rakyat dan pelaku usaha justru terancam dengan keberadaan OJK. Pelaku usaha merasa disandera. Sementara rakyat merasa tidak dilindungi dari ulah pelaku usaha yang nakal, dan jahat. Rakyat merasa tidak mendapat perlindungan dan jaminan atas kejahatan keuangan.
5. OJK hadir sebagai lembaga nafsu besar tenaga lemot. Hal ini telah kami ingatkan saat menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa OJK sebaiknya tidak mengambil tugas pengawasan perbankan.
Karena beban mengawasi sektor keuangan non bank amatlah luas dan besar yang belum tentu dapat dijalankan oleh OJK. Namun nasihat kami tidak dikabulkan MK.
Apalagi sekarang menyongsong era digitalisasi, ICT, financial technologi, justru terlihat OJK tidak mampu berbuat apa apa dalam melalukan perlindungan masyarakat. Banyak kasus masyarakat dirugikan oleh keberadaan fintech dan produk digitalisasi lainnya yang berkaitan dengan jasa keuangan, namun OJK seperti melongo saja dan tidak dapat berbuat apa apa. Dan bahkan untuk mengidentifikasi apa sebenarnya yang terjadi dengan serbuan fintech sekarang ini OJK tidak mampu, apalagi melakukan pengawasan semakin jauh dari mampu.
Keberadaan OJK sebagai lembaga pengawasan seluruh sektor keuangan perbankan, non bank, asuransi, bursa saham, pasar keuangan, ibarat pepatah “ingin hati memeluk gunung, tapi apa daya tangan tak sampai”. Jadi mengapa OJK tetap bernafsu besar.
Oleh karena itu, keberadaan OJK justru semakin menambah masalah krisis konstitusi dan krisis institusi dalam penyelengaraan negara dan pemerintah Indonesia. OJK justru menjadi beban dan bahkan bisa menjadi parasit bagi negara dan masyarkat.
Maka keberadaan UU yang mengatur OJK mesti di review agar Indonesia dapat lebih siap menyambut era digitalisasi, ICT, dan fintech yang menghantam Indonesia bagai gelombang tsunami.