Tuduhan telah terjadi kecurangan secara Terstruktur, Sistimatis dan Masif (TSM) harus bisa dibuktikan di Bawaslu RI dan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan perintah konstitusi. Diluar upaya hukum tersebut adalah inkonstitusional. Hal ini disampaikan oleh M. Ridha Saleh, Ketua Kolektif Nasional Tim Akar Rumput kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh : M. Ridha Saleh
FRASA Pelanggaran Terstruktur, Sistimatis dan Masif mulai digunakan sejak dilaksanakanya pemilihan umum Presiden secara langsung tahun 2009. Menjadi istilah formal dalam kamus pemilu setalah Komisi Nasional HAM RI mengeluarkan laporan pemantaunya atas hasil pilpres 2009-2014 yang berkaitan dengan hilanya hak pilih warga negara, sejak saat itu, istilah ini kemudian digunakan berbagai pihak sebagai referensi atau rujukan legal bahkan alat bukti paslon untuk melakukan gugatan ke Mahkama Konstitusi.
Secara terminologi, arti dari istilah TSM adalah suatu tindakan kejahatan pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dengan niat dan rencana menghilangkan hak pilih warga negara untuk memenangkan suatu pasangan calon tertentu dengan cara yang curang dan manipulative dengan menggunakan kekuasaan dan relasi kekuasaanya.
Pelanggaran terstruktur artinya bahwa Penyelenggara Pemilu melakukan tindakan kecurangan secara terorganisir dengan menggunakan struktur kekuasaanya untuk memenangkan pasangan tertentu. kemudian Sistimatis adalah suatu tindakan kecurangan yang direncanakan dengan berbagai cara termasuk menggunakan dan mengarahkan regulasi untuk keuntungan dan kemenangan pasangan tertentu. Sedangkan massif adalah pelanggaran yang dilakukan secara terencana dan terjadi secara luas dan berjenjang di hampir disemua titik pemilihan dan perhitungan.
Oleh karena itu Kejahatan TSM ini dapat pula diartikan sebagai tindakan yang tidak saja sebagai pelanggaran Pemilu akan tetapi jauh dari itu dapat dikatan kebagai kejahatan Negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Di beberapa kesempatan, kubu pasangan calon presiden no urut 02 telah menuding bahwa Penyelenggara Pemilu telah melakukan tindakan pelanggaran yang Terstruktur, Sitimatis dan Massif walaupun demikian, hingga saat ini kubu pasangan calon presiden no 02 tidak dapat mengungkapkan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan tuduhan terhadap kecurangan tersebut.
Yang perlu dinggat bahwa tuduhan tersebut sangat berbahya sekali, karena tidak semata-mata menyangkut pelanggaran pemilu, akan tetapi secara politik berdampak pada pen-delegitimasian terhadap penyelanggara dan pelaksanaan pemilu. Secara sosiologis tuduhan yang tanpa bukti ini dapat dikatakan sebagai penyebarluasan informasi bohong yang dapat meresahkan Pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya.
Hal ini juga berarti paslon no urut 02 dapat dikatakan telah menuduh dirinya sendiri melakukan kecurangan TSM karena, Proses pengambilan keputusan dalam tahapan pemilu secara prosedural sejauh ini telah melibatkan kedua paslon peserta pemilu dalam pengambilan keputusan di setiap tahapan pemilu.
Konsekwensi lain, dengan menuduh tanpa bukti apalagi belum melalui proses hukum yang di mandatkan oleh uandang-undang, maka paslon 02 dapat pula diasumsikan telah melakukan upaya sistimatis mendelegitimasi penyelenggara pemilu, tentu akan berkonsekwensi serius secara hukum.
Oleh karena itu disarankan, kepada BPN Prabowo – Sandi pasangan 02 untuk tidak secara serampangan menggunakan istilah tersebut dalam dalam memberikan penilaian terhadap kekurangan KPU yang terjadi di beberapa tempat.
Sebaliknya juga disarankan kepada TKN Jokowi-amin agar tidak perlu menanggapi tuduhan tersebut karena BPN Prabowo-Sandi bukan lembaga hukum yang berwewenang untuk membuktikan tuduhan tersebut.
Penyelenggara pemilu butuh konsentrasi untuk menyelesaikan disisa waktu menjelang tanggal 22 Mei nanti, sementara rakyat butuh di tenangkan setelah lelah menentukan pilihanya pada 17 april lalu, saat ini dibutuhkan kedewasaan politik untuk menyikapi situasi saat ini, karena kekacauan politik itu selalu bersumber dari elit politik yang destruktif.