Selasa, 9 September 2025

Menkeu Purbaya Gantikan Sri Mulyani: Belum Sehari Dilantik Sudah Berkokok

Oleh: Dr. Made Supriatma *

SRI MULYANI INDRAWATI: Seingat saya, itu awal tahun 2000an. Juga kalau tidak salah ingat, itu acara yang diorganisir The Asia Foundation. Reformasi masih menyisakan baranya. Orang bicara masa depan Indonesia.

Yang jelas, saya hadir di acara itu. Ia diadakan di salah satu tempat di New York City. Ketika saya datang, belum banyak orang. Saya melihat di sudut ada perempuan yang wajahnya tampak familiar. Namun dia tampak asyik membaca. Dia melirik sekilas. Tidak ada tanda atau keinginan untuk menyapa.

Sesumbar Menkeu Purbaya Yudi Sadewa. (Ist)

Jelas dia menunjukkan gesture, “Leave me alone.” Artinya, jangan ganggu saya. Dan saya pun asyik melamun. Saya tahu dia. Tentu saya ingat dia menangis di depan kamera TV saat anak-anak Trisakti ditembaki. Ya, dialah Sri Mulyani Indrawati (SMI). Saat itu dia memberikan presentasi tentang ekonomi Indonesia. Tentu dengan banyak angka, table, dan grafik.

Hingga selesai acara saya tidak berkenalan dengannya. Juga tidak menyapa.

Saya juga tidak mengenal banyak orang di lingkarannya. Ada beberapa pejabat Kementerian Keuangan yang pernah saya temui. Tapi mereka adalah birokrat, yang terlalu takut untuk bicara.

Saya memang mendengar beberapa hal yang baik tentang SMI. Misalnya, dia adalah satu dari sedikit (mungkin satu-satunya) yang tidak mau menggunakan jasa pembuka jalan saat berkendara membelah Jakarta yang macet. Dia memilih untuk bersama macet. Tidak seperti menteri atau pejabat-pejabat songong yang selalu minta didahulukan bahkan pada hari lubur sekalipun.

Kesetiaannya kepada apa yang pantas (decency) itulah yang mengesankan. Namun, mungkin juga ini yang membentuknya. Ia larut dalam kemacetan itu. Ia tidak sadar bahwa ia ada dalam kemacetan dan berpartisipasi didalamnya.

Sri Mulyani adalah seorang teknorat yang mumpuni. Itu tidak usah kita ragukan. Ia orang profesional. Itu juga tidak kita ragukan. Akan tetapi, kekukuhan dan kesetiannya sebagai teknokrat profesional inilah yang menjadi persoalan besar.

Satu kata yang selalu dipegang oleh Sri Mulyani ketika memegang keuangan negara adalah “prudent,” yaitu kehati-hatian. Prinsip itu yang membuatnya pernah berhadapan dengan konglomerat Bakrie ketika menolak pembayaran oleh negara atas lumpur Lapindo. Presiden SBY tidak kuasa mempertahankan posisinya. Dia terlempar dari kekuasaan. Akibatnya ia kemudian duduk kursi salah satu direktur World Bank.

Itu kedudukan prestisius. Namun ketika ia mendapatkan panggilan untuk duduk kembali di posisi yang semula, ia tidak menolaknya. Dia mengabdi pada Presiden Jokowi selama dua periode. Kemudian dilanjutkan selama kurang lebih 10 bulan di jaman Presiden Prabowo sekarang ini.

Apa kira-kira warisan yang ditinggalkan Sri Mulyani? Mengapa ia mau duduk di kursi keuangan untuk waktu demikian lama? Salah satu yang sering saya dengar adalah bahwa ‘pasar dan investor menyukai Sri Mulyani.’ Pasar akan ambrol kalau Sri Mulyani pergi karena tidak ada lagi orang yang menjadi keuangan Indonesia secara hati-hati.

Benarkah demikian? Saya bukan ekonom namun dalam pandangan saya, hutang Indonesia meningkat tajam dibawah pengawasan Sri Mulyani. Dulu, ada isu bahwa Menteri Pertahanan Prabowo sangat jengkel sama Sri Mulyani karena anggaran pertahanan yang tidak naik dan anggaran untuk food estate yang dikelola Kemenhan di Kalimantan Tengah seret dananya. Ketika Prabowo menjadi presiden, dia pula yang mengangkat Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan.

Sri Mulyani pula yang mencarikan uang untuk program-program Prabowo yang sangat mahal namun hasilnya tidak jelas itu. Sri Mulyani juga yang harus menaikkan pajak. Dia juga yang memotong transfer ke daerah-daerah dan menyuruh daerah agar kreatif mencari sumber pendapatan. Akibatnya, daerah-daearh menaikkan PBB dan melakukan penghematan di sana sini. Akhirnya kita bisa lihat di Pati, Cirebon, Jombang, dan Bone, dimana rakyat memberontak.

Sri Mulyani pula yang menaikkan cukai rokok — dengan alasan mengurangi perokok — hingga membuat raksasa pabrik rokok seperti Gudang Garam harus mem-PHK ribuan buruhnya. Cukai rokok naik sekitar 12% per tahun dan sekarang merupakan 67% dari komponen harga rokok. Cukai ini dibebankan pada konsumen dan karena mahal, rokok ilegal tumbuh subur. Gudang Garam tidak bisa bersaing dengan rokok tanpa cukai — yang beroperasi dengan perlindungan (Anda tahu siapalah itu!).

Di bawah Sri Mulyani pula Sri Mulyono eh Jokowi melakukan pengeluaran yang ugal-ugalan. Proyek-proyek yang mahal, yang digagas Jokowi tanpa hasil yang jelas seperti Bandara Kertajati, Sirkuit Mandalika, jalan tol Sumatra, semuanya dibeayai oleh hutang.

Bunga hutang Jokowi sedemikian besarnya sehingga sekarang kita harus mengeluarkan surat hutang (artinya berhutang di pasar komersial denngan bukan 6,5% hingga 6,8% per tahun). Negara ini bangkrut ketika harus berhutang untuk membayar bunga hutang!

Dan, rejim pemerintahan sekarang juga melakukan pengeluaran-pengeluaran yang tidak kalah ugal-ugalannya. Makan Bergizi Gratis (MBG) menelan beaya yang sangat besar tanpa ada arah dan hasil yang jelas. Anak-anak Indonesia tidak mau makan makanan karena memang dari sisi kualitas tidak baik.

Para pengelola SPPG jelas harus mengutamakan keuntungan ketimbang mutu karena skemanya yang dibikin komersiil. Belum lagi para pengelolanya adalah orang-orang berduit yang duitnya harus kembali plus keuntungan.

Sri Mulyani juga dengan setia mencarikan uang untuk semua program ini. Ia seperti mesin teknokratik — berusaha melayani bos-bosnya dengan sebaik-baiknya. Ia melihat dirinya baik sepanjang berjalan di koridor konstitusi, aturan, dan regulasi. Dia juga tidak membangun klik politik tersendiri. Berbeda dengan para teknokrat pada awal Orde Baru yang membentuk “Berkeley Mafia,’ mengambil nama universitas negara bagian California di kota kecil Berkeley.

Sri Mulyani tetap sendirian dengan ‘leave me alone’-nya itu. Namun ia melayani siapa saja yang menjadi bos. Ia tidak pernah menjadi ancaman untuk para bos-nya. Kadang ia bersikap ketika keteknokratannya dilanggar seperti saat Bakrie memberikan kwitansi tagihan agar negara membayar atas kecerobohan perusahannya. Disana dia meradang dan akibatnya terlempar dari kekuasaan.

Memang pernah ada kalangan yang membuat partai SRI. Namun itu tidak ada kaitan dengan Sri Mulyani walaupun para penggagas SRI itu memprofilkan Sri Mulyani menjadi calon presidennya.

Loyalitas itu sayangnya tidak berjalan dua arah. Ini khususnya terjadi pada masa Prabowo. Saya mendengar salah satu alasan Prabowo mengangkat kembali Sri Mulyani adalah karena takut pasar akan anjlok. Namun peristiwa penjarahan kemarin rupanya menyadarkan Sri Mulyani bahwa bos-nya ternyata tidak melindungi dia dari musuh-musuhnya. Dia menjadi sasaran penjarahan meski sudah berusaha meminta perlindungan dari Presiden.

Pelajaran terpenting dari Sri Mulyani adalah teknokrat tidak bisa hanya asyik sebagai teknokrat. Ia bukan sekedar orang yang cari duit untuk bos-bosnya. Ia harus, seperti yang dikatakan oleh Max Weber dalam eseinya yang terkenal, “politics as vocation,” memakai profesinya untuk mewujudkan nilainya. Yang paling utama adalah sebuah conviction, keyakinan apa yang benar dan berani berhadapan dengan yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya itu.

Sri Mulyani meninggalkan Indonesia tidak dalam posisi yang baik-baik. Dia tidak mengendalikan dua bos — yang borosnya keterlaluan. Ia mungkin bisa berkilah, itu bukan domain saya. Namun ia juga harus sadar bahwa ia harus melihat ketidakberesan skema penggunaan keuangan negara.

Menteri Keuangan Purbaya

Kini Prabowo sudah memilih penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa. Saya tidak berharap terlalu banyak dari dia juga. Belum apa-apa dia sudah memperlihatkan wataknya ketika ditanya tuntutan para pendemo, belum apa-apa dia sudah berkokok, “Itu suara sebagian kecil rakyat kita, kenapa? Mungkin sebagian ngerasa keganggu hidupnya, masih kurang ya.”

Selanjutnya, dengan dada mongkog seraya merayakan optimisme yang hanya dia sendiri yang merasakannya, dia berkokok lebih keras, “saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%, 7%, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo.”

Sebagian besar karir Purbaya yang moncer itu karena melekat dengan Luhut Binsar Panjaitan. Tidak heran, caranya bicara pun mirip.

Oh ya, kalau ada orang yang pegang portfolio ekonomi dan militer yang sangat kuat sekarang ini, maka Luhut-lah orangnya. Mantunya menjadi Kasad. Ponakannya menjadi bos di Danantara. Dan sekarang “Mentee“-nya atau orang dimentorinnya menjadi Menteri Keuangan.

Indonesia? Mungkin akan segini-segini saja. Yang tumbuh 6-8 persen dan tidak berdemo … ya mereka-mereka itu. Kalian tidak capek?

——

*Penulis Dr. Made Supriatma, pengamat sosial politik

Artikel ini diambil dari akun Facebook penulis dan diberikam judul oleh redaksi Bergelora.com

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru