JAKARTA- Menkopolhukham Luhut Panjaitan diminta agar segera merealisasikan janjinya untuk tidak ada lagi pembubaran diskusi atas dasas intoleransi yang selalu terjadi pada korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia. Menkopolhukam diminta menginstruksikan kepada Kapolri, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk dapat mengendalikan bawahannya agar berhenti terlibat perampasan hak-hak konstitusional warga negara. Hal ini disampaikan oleh Anggota Pengarah Sekretariat IPT (Indonesian People’s Tribunal) 1965 Reza Muharam di Jakarta, Jumat (15/4) sehubungan dengan terjadinya aksi penyerangan oleh kelompok intoleran terhadap pertemuan yang diselenggarakan oleh YPKP 1965 di kawasan Cisarua Kamis (14/4).
“Kami minta dengan sangat agar pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat menjalankan tugasnya sebagaimana diperintahkan oleh Undang-undang Kepolisian dan mentaati Konstitusi serta melindungi setiap warga Negara khususnya para korban kejahatan HAM berat 1965 dan keluarganya dari segala bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan dari pihak manapun,” tegasnya.
IPT 1965 juga menuntut agar pihak kepolisian dan kejaksaan agar segera menindak tegas kelompok kelompok intoleran yang kini aktif melakukan aksi teror kepada para korban kejahatan HAM berat 1965 dan seudahnya.
“Tuntutan kami ini sejalan dengan instruksi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo belakangan ini, agar aparat keamanan mampu bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran,” ujarnya.
Reza Muharam menjelasankan bahwa belum lagi 10 hari pernyataan Menkopulhukham Luhut Panjaitan agar tidak ada lagi pembubaran diskusi, penyerangan terhadap pertemuan yang diselenggarakan YPKP 1965 dibubarkan untuk kesekian kalinya. Peristiwa penyerangan dan pembubaran serta pembiaran oleh aparat kepolisian dan keamanan, sekali lagi menunjukkan bahwa para keluarga dan korban kejahatan HAM berat 1965 dan sesudahnya, yang sudah setengah abad mengalami diskriminasi, stigma dan pencabutan hak-hak asasinya serta terror fisik dan mental yang terjadi sampai hari ini, sementara pelakunya menikmati impunitas yang dipelihara oleh Negara.
“Pertemuan para anggota YPKP 1965 di kawaan Puncak itu bertujuan untuk membahas informasi dan undangan yang mereka terima dari penyelenggara Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965” yang akan diselenggarakan oleh antara lain Dewan pertimbangan Presiden, Komnas HAM, FSAB, Dewan Pers dan berbagai Perguruan Tinggi pada tanggal 18-19 April di Jakarta, dengan dukungan dari kantor menko Polhukam,” jelasnya
Menurutnya Simposium Nasional itu dirancang sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban dengan melibatkan semua pihak yang peduli untuk merumuskan pokok-pokok pikiran menuju terjadinya rekonsiliasi nasional. Dengan demikian menurutnya, sungguh sebuah ironi saat aparat kepolisian dan keamanan justru memberikan dukungan kepada kelompok penyerang dan pelaku aksi terror.
“Jangan sampai terkesan bahwa simposium sebagai usaha untuk melakukan dialog nasional penyelesaian perkara kejahatan HAM Berat 1965 itu menjadi pemanis bibir (lips service) belaka,” ujarnya. (Web Warouw)