JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyoroti temuan tambang emas ilegal di Pulau Sebayur, Labuan Bajo. Temuan tersebut diungkap oleh Satgas Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wilayah V pada November 2025.
Elkelvin Wuran, Divisi Advokasi dan Kajian Hukum Walhi NTT, menyoroti keberadaan tambang ilegal ini. Ia mengatakan, hal tersebut mencerminkan masalah mendasar terkait lemahnya tata kelola kawasan konservasi, buruknya pengawasan sumber daya alam, serta ketidakteraturan dalam perizinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Pulau Sebayur Besar adalah bagian dari gugusan pulau kecil sekitar Taman Nasional Komodo (TNK) yang memiliki nilai konservasi tinggi dan fungsi ekologis penting.”
“Letaknya yang berdekatan dengan habitat satwa endemik Komodo dan ruang hidup masyarakat Ata Modo menyebabkan setiap bentuk gangguan lingkungan di pulau-pulau tersebut berpotensi mengancam sistem ekologis yang lebih luas,” ungkap Wuran dalam keterangan tertulis yang diterima Bergelora.com di Jakarta pada Jumat (5/12/2025) pagi.
Lebih lanjut, Wuran menegaskan bahwa penemuan tambang ilegal ini menunjukkan bahwa pembenahan tata kelola lingkungan hidup di Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan dari reformasi pengelolaan TNK. Selama beberapa tahun terakhir, pengelolaan TNK diwarnai sejumlah kebijakan bermasalah, termasuk pengelolaan tracking, pemetaan zona dan praktik pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan prinsip konservasi.
Walhi NTT menilai bahwa aktivitas tambang di Pulau Sebayur Besar menggambarkan kegagalan sistem perizinan yang seharusnya mengikuti prinsip kehati-hatian dan perlindungan ekologis.
Wuran mempertanyakan kepada pemerintah, “Apakah pernah diterbitkan izin eksplorasi atau operasi produksi di kawasan tersebut?”
Ia menekankan bahwa Pulau Sebayur Besar, sebagai pulau kecil dalam lanskap konservasi Komodo, seharusnya setiap bentuk izin pemanfaatan ruang melalui kajian ketat dan dapat diakses publik.
Dia melanjutkan, “Jika tidak ada izin, bagaimana aktivitas ini dapat berlangsung tanpa sistem deteksi dini atau tanpa tindakan penghentian sejak awal?”
Fakta bahwa aktivitas penambangan dapat beroperasi selama sepuluh tahun, dari 2010 hingga 2025, menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan lintas instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Terkait temuan KPK tersebut, Walhi menegaskan bahwa pemerintah daerah dan instansi teknis memiliki kewajiban hukum untuk menghentikan seluruh aktivitas penambangan serta melakukan penegakan hukum administratif dan pidana, serta mengambil langkah pemulihan ekologis.
Namun, hingga saat ini, tidak tampak adanya tindakan konkret yang proporsional dengan tingkat ancaman ekologis yang ada.
“Situasi ini menimbulkan dugaan kuat adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum, sebagaimana diindikasikan oleh kekhawatiran KPK mengenai potensi praktik ‘backing’ dan suap untuk melindungi aktivitas ilegal tersebut.”
“Ketidaktegasan serupa juga terlihat dalam pengelolaan TNK, misalnya dalam evaluasi izin tracking dan pemanfaatan ruang di pulau-pulau sekitarnya,” tegas Wuran. (Enrico N. Abdielli)

