JAKARTA- Ombudsman RI memperkirakan potensi kerugian negara akibat maladministrasi tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP) mencapai Rp7 triliun.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu penyebab potensi kerugian negara adalah penurunan mutu beras hingga tidak layak konsumsi alias disposal. Hal itu terjadi karena stok beras terlalu banyak menumpuk di gudang.
Menurut Yeka, 300 ribu ton beras di gudang Perum Bulog terancam disposal. Yeka menghitung kerugian negara akibat hal itu Rp4 triliun, merujuk Harga Eceran Tertinggi (HET) beras Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Rp12.500 per kg.
“Rp4 triliun itu dari disposable stock. Disposable stock itu angkanya misalnya kalau terjadi 300 ribu ton, 300 ribu ton tentunya angkanya dari mana, kami punya datanya,” kata Yeka pada konferensi pers Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau di kantor Ombudsman, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Jumat (5/9).
Penyebab potensi kerugian lainnya adalah biaya tinggi di Bulog. Yeka berkata biaya tinggi disebabkan kebijakan Bulog membeli gabah any quality, yaitu menyerap gabah petani tanpa memandang kualitasnya.
“Any quality ini kan penanganannya, kadar airnya katakanlah jelek sehingga ongkos biaya produksinya menjadi lebih mahal,” imbuh Yeka.
Selain itu, Yeka mengatakan potensi kerugian negara juga disebabkan oleh beberapa penyebab lainnya yang masih akan ditelusuri. Potensi kerugian yang disebabkan beberapa masalah tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun.
“Tentunya ini menjadi kerugian yang nanti satu satu-satu akan disisir. Angkanya ditaksir sekitar Rp2,5 triliun-Rp3 triliun,” kata Yeka.
Dengan demikian, total potensi kerugian akibat maladministrasi tata kelola beras versi Ombudsman mencapai Rp6,5 triliun hingga Rp7 triliun.
Sebelumnya, pengelolaan beras menjadi perhatian masyarakat setelah kenaikan harga dan kelangkaan pasokan di pasaran. Dua hal itu terjadi seiring penanganan kasus beras oplosan oleh Satgas Pangan Polri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras masih naik di 214 kabupaten/kota pada Agustus 2025.
Inflasi beras secara bulanan tercatat 0,73 persen, lebih rendah dari Juli 2025. BPS menyebut sebagian besar daerah masih melaporkan harga beras di atas harga acuan pemerintah, terutama di wilayah luar Jawa.
Kualitas Sering Dikeluhkan Konsumen
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Ombudsman RI mengatakan kualitas beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang dikelola Perum Bulog sering dikeluhkan konsumen.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan beras SPHP sering dikeluhkan terkait kadar airnya.
“Terus kedua dari penampakannya (beras SPHP), terus baunya. Ini persoalan mutu yang sering dikeluhkan,” katanya dalam konferensi pers Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau di kantor Ombudsman, Jakarta, Rabu (3/9).
Yeka mengatakan pemerintah sebenarnya sudah mengumumkan bahwa beras SPHP yang kualitasnya buruk bisa dikembalikan. Namun, Ombudsman menilai mekanisme pengembalian beras SPHP cenderung rumit bagi konsumen.
Selain itu, Ombudsman juga mengkritik penyaluran beras SPHP yang tidak masif. Realisasi penyaluran SPHP saat ini baru sebanyak 302 ribu ton atau 20 persen dari target sebesar 1,5 juta ton tahun ini.
Yeka merinci realisasi SPHP dari Januari sampai 7 Februari 2025 sebanyak 180 ribu ton.
Sedangkan realisasi dari 8 Juli 2025 hingga 1 September 2025 sebanyak 122 ribu ton. Artinya rata-rata penyaluran SPHP hanya 2.392 ton per hari pada periode tersebut.
Dengan kata lain, kemampuan mengguyur pasar baru mencapai 2,75 persen dari kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.
“Kebutuhan konsumsi kita sekitar 26 juta ton per bulan. Kalau 26 juta ton dibagi 30 hari jatuhnya sekitar 86.700 ton,” katanya.
“Jadi kemampuan program pemerintah selama ini dalam mengguyur pasar baru 2,75 persen. Nah dampaknya ya harga (beras) masih tinggi,” katanya.
Zulhas Soal Beras Oplosan: Nyampur Tidak Apa-apa
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan RI Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan praktik mencampur beras atau yang dikenal dengan pengoplosan, telah terjadi sejak lama dan lumrah. Hal itu disampaikan Zulhas dalam Rapat Konsolidasi Program Prioritas Pangan, yang digelar di Gedung Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis (21/8).
“Saya bilang nyampur [beras] itu tidak apa-apa, yang tidak boleh itu bohong. Nyampur beras kan biasa. Seperti beras ketan dicampur biar pulen, biasa, boleh dicampur. Dari dulu memang begitu, yang tidak boleh itu bohongnya,” kata Zulhas.
Pernyataan Zulhas ini keluar di saat kasus beras oplosan yang diungkap pemerintah. Beberapa waktu lalu, pemerintah mengungkap ada sekitar 212 merek beras premium oplosan.
Sejumlah sampel menunjukkan patahan beras bahkan mencapai 59 persen. Padahal, standar patahan beras premium adalah maksimal 15 persen.
Lebih lanjut, Zulhas mengatakan kegiatan mengoplos beras sah-sah saja untuk dilakukan. Namun, ia menegaskan bahwa para pedagang ataupun distributor dilarang membohongi konsumen atau masyarakat terkait kriteria beras patah atau broken rice untuk beras premium, yang maksimal adalah 15 persen.
“Misalnya, bohong itu beras broken 15 [persen], rupanya 30 [persen], itu nipu, itu banyak yang bohongnya. Rupanya beras-beras yang broken 50 [persen] itu dibilang premium. Jadi bohongnya itu yang ditangkap polisi sama satgas. Jadi bukan nyampurnya tidak boleh, melakukan yang nipunya itu,” kata Ketua Umum PAN tersebut.
Zulhas juga menyebut, masih terdapat kekhawatiran dari sejumlah pihak untuk mendistribusikan beras jenis SPHP di pasar-pasar, hal itu akibat kasus beras oplosan yang masih merajalela dan meresahkan masyarakat.
“Stok yang tinggal 1,3 juta ton ini dipercepat karena bulan September sampai Desember, produksi rendah dari konsumsi, maka perlu SPHP. Putusan presiden itu mulai bulan Juni, kemampuan packaging dan pendistribusiannya tadinya tidak masuk pasar, takut dioplos,” beber Zulhas.
Untuk itu, Zulhas menginstruksikan Badan Usaha Logistik (Bulog) untuk mempercepat proses packaging dari beras-beras SPHP agar dapat didistribusikan kepada masyarakat, melalui Koperasi Desa Merah Putih dan pasar-pasar tradisional di seluruh tanah air.
“Saya katakan masuk pasar, kalau Kopdes masuk Kopdes gampang, maka Kopdes penting. Maka sekarang masuk pasar-pasar tradisional yang baru mulai. Sekarang baru kemampuan 6 ribu ton. Kalau 10 ribu [ton] aja baru 300 ribu (penerima), saya bilang kurang. Harusnya 1 hari 30 ribu packaging itu disebar. Kerjasama dengan Pos dan Bapanas kan bisa,” pungkasnya. (Web Warouw)