Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi *
Tentu saja, gejala pemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal, harus ditolak dan dicegah. Tapi fakta juga menunjukkan, bahwa bangsa Cina dan India justru mampu menunggangi arus globalisasi. Di India umpamanya, telah timbul pusat teknologi informasi di Bangalore semacam Silicon Valey di Amerika Serikat. Di desa teknologi tersebut tumbuh perusahaan-perusahaan skala global yang melayani pesanan-pesanan software dari perusahaan-perusahaan multinasional dari di Amerika Serikat, Eropa-Barat dan Jepang.
Gejala semacam itu sudah nampak juga di Indonesia, misalnya pusat IT (Information Technology) yang dikembangkan di suatu desa pantai di Bali. Berbagai perusahaan IT kecil-kecilan di Indonesia juga telah melayani pasanan-pesanan dari Singapura dan Malaysia.
Gelombang Kesadaran Baru
Bukan hanya itu, ada kisah sukses di salah satu pantai India dimana dengan diberikannya fasilitas handphone dengan aplikasi multimedia di tangan para keluarga nelayan, maka para ibu-ibu nelayan bisa melakukan “future trading” sementara bapak-bapak nelayan masih berada di tengah laut ketika mau merapat mereka sudah tahu tangkapan apa saja yang didapat para nelayan, dan segera parta ibu mulai melakukan “future trading” sebagaimana di pasar modal saja.
Para tengkulak tidak lagi mendapat tempat karena data harga yang selalu “up-to-date” dapat diakses lewat handphone multimedia tadi. Dari Indonesia pun tidak kalah kreatif, ada yang membuka sekolah tari dengan aplikasi multimedia di internet, muridnya dari seluruh dunia. Dengan cara ini, kan justru budaya lokal jadi mengglobal. Maka, istilah “global village” nya Mac Luhan tadi menjadi sangat relevan.
Saya termasuk golongan yang optimistis. Bahwa globalisasi justru akan membuka kesadaran baru menuju dunia yang lebih baik. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tidak dikenal dunia lain karena dominasi paham tertentu yang menguasai alat-alat kekuasaan, kini tidak lagi relevan. Karena rakyat bisa langsung berhubungan tanpa halangan yang berarti.
Tapi tentu saja, tarik-menarik akan terjadi, namun yang membuat optimis adalah jumlah rakyat jelata dan tertindas di dunia ini jauh lebih banyak dari yang selama ini mengontrol kekuasaan. Maka, gelombang kesadaran baru ini akan sulit dibendung.
Michel Chossudovsky, dengan tegas, mengatakan bahwa yang menciptakan globalisasi kemiskinan itu adalah dua lembaga ekonomi internasional, yaitu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund- IMF) dan Bank Dunia (World Bank-WB). Sudah banyak laporan bagaimana kegagalan IMF dan Bank Dunia di negara-negara Amerika Latin.
Hernando de Soto juga membeberkan panjang lebar tentang resep yang sama sekali tidak mujarab dari kedua lembaga keuangan dunia tersebut. Sudah dibuktikan bahwa IMF dan WB sudah gagal di seluruh dunia.
Bangsa lain tidak mau lagi didikte oleh IMF dan WB. Bukankah posisi bangsa dan negara kita yang kini “tersudut” dalam percaturan global adalah karena kesalahan dan “kebodohan” kita sendiri. Maka sederet kebijakan ekonomi Pemerintahan JKW perlu kita sambut, agar kita tidak mengulangi kegagalan karena kebodohan kita sendiri, yang memilih sebagai anak manis terhadap IMF dan WB.
Anthony Giddens berpendapat bahwa pemikiran “Jalan Ketiga” (The Third Way) yang ditawarkannya timbul karena menyadari manfaat globalisasi, walaupun globalisasi yang terlalu cepat berjalan itu telah menimbulkan banyak masalah.
Tapi Globalisasi juga harus diposisikan sebagai kepastian yang tidak mungkin bisa dielakkan oleh bangsa manapun tak terkecuali Indonesia.
Persoalannya, tinggal bagaimana kita sebagai bangsa akan mensikapinya. Ketika sebuah bangsa mampu mensikapi dengan bijak dengan mengedepankan kepentingan nasionalnya, maka ia akan menikmati hikmah globalisasi, tidak hanya secara pasif yaitu ketika ia datang ke negerinya, tapi ia malah menumpangi globalisasi untuk mendapat keuntungan yang lebih besar lagi dari globalisasi yang sedang melanda bangsa lain.
Hal yang demikian sah-sah saja, dan tidaklah mungkin bisa dicegah dengan ukuran moral ataupun nurani. Bangsa manapun tidak patut menyalahkan sahabat yang mengulurkan tangan memberi bantuan, dan sangatlah keliru kalau dalam tata pergaulan internasional ada bangsa yang mempersepsikan bahwa bantuan yang diberikan itu tanpa terkait kepentingan tertentu didalamnya.
Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang memerankan sebuah revolusi sosial. Revolusi sosial ini secara pasti merasuki semua sudut kehidupan. Ia mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan, merombak struktur dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Diantara riuh rendah euphoria komentar tokoh-tokoh dunia tentang globalisasi, ada dua tokoh yang menjadi favorit saya, yaitu Noam Chomsky dan Umar Ibrahim Vadillo. Keduanya tergolong pemikir anarkis, namun pengalaman hidup saya menyimpulkan kedua tokoh ini adalah benar adanya “No Nonsense”.
Islam Indonesia mempunyai peranan sentral terhadap perubahan dunia, jika kesadaran relijius hakiki ini tidak saja dijadikan dasar gerakan, namun terlebih dari itu menjadi dasar pijakan beribadah dan tuntunan kehidupan sehari-hari.
Coup de Banque
Noam Chomsky, guru besar Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat pernah ditanya “Apa sebenarnya yang membuat anda menjadi begitu terkenal di berbagai belahan dunia ini?”. Noam Chomsky menjawab dengan enteng saja, “Sederhana. Karena saya tidak mengada-ada. Saya hanya menyampaikan perasaan, pikiran, dan harapan begitu banyak rakyat tertindas di seluruh dunia, dan tentu saja mereka merasakan apa yang saya sampaikan.”
Noam Chomsky juga menempatkan “copy right” (perlindungan hak cipta) dan “free trade” (perdagangan bebas) sesungguhnya dua buah istilah yang kontradiktif satu sama lain, yang ternyata menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan dunia ini. Dan karena itulah maka Noam Chomsky membolehkan siapapun menyebarkan karyanya dengan bebas.
Tokoh lain yang tidak kalah radikal nya adalah Umar Ibrahim Vadillo. Selain soal otokritik teologi Islam, diantaranya soal sholat yang sudah kehilangan Roh Islam nya, Vadillo mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan semua ini adalah sia-sia belaka. Menurutnya hanya ada dua kemungkinan untuk memperbaiki dunia ini.
Pertama harus sangat super kaya melebihi para sutradara yang duduk di New York dan kemudian merubah sistem kapitalisme global menjadi sistem yang adil dan berorientasi kerakyatan.
Atau cara kedua yaitu bergerilya seperti yang dilakukan oleh Jaringan WITO (World Islamic Trade Organization) dengan menggerakkan kekuatan rakyat dari negara ke negara untuk kembali kepada sistem ekonomi berbasis mata uang emas (komoditi riil lainnya). Sehingga sistem kapitalisme finansial global, yang memperdagangkan mata uang kertas dan berbagai bentuk turunannya sehingga menyebabkan “bubble economy” akan menjadi runtuh dengan sendirinya.
Bagaimanapun ketika kenyataannya sektor moneter menguasai 76% dari aktivitas di dunia ini, sisanya baru dibagi-bagi oleh berbagai sektor riil. Otomatis melahirkan ketimpangan sosial yang pada gilirannya menjadi sumber masalah dunia, seperti kemiskinan, lingkungan hidup, hak azasi, kekerasan, terorisme, dan lainnya.
Vadillo mengajak kita untuk melihat sejarah kolonial dan terbentuknya negara-bangsa (nation-state).
Ketika negara-bangsa disebut “merdeka’, sebetulnya sang kolonial meninggalkan dua (2) bom waktu, yaitu Bank Sentral yang tugasnya mencetak mata uang kertas, dan satu lagi adalah pemerintah yang tugasnya memaksa rakyat untuk menggunakan mata uang kertas tersebut.
Dua hal inilah yang menjadi alat kontrol sistem keuangan dunia hingga dewasa ini. Jadi sebetulnya rakyat belum benar-benar merdeka. Karena hal yang paling penting yaitu sistem keuangan masing-masing negara sesungguhnya masih dikontrol pihak lain, sama sekali bukan ditangan rakyat. Ini adalah esensi kedaulatan rakyat dan demokrasi yang sesungguhnya, yang harus dipertanyakan dan direbut kembali oleh rakyat.
Peran pemerintah yang paham terhadap sejarah ini akan mencerdaskan diri dengan meredefinisikan perannya untuk rakyat, sehingga tetap bertahan hidup (tetap berperan). Karena kalau tidak, pemerintah justru akan menjadi beban rakyat, dan kalau ini yang terjadi maka akan terjadi revolusi sosial dimana banyak pemikir menyebutnya dengan istilah “the death of government” sejalan paralel dengan proses “the death of money” dan “the death of inflation”.
Karena pada dasarnya, pemerintahan negara manapun kalau tidak sadar terhadap persoalan yang mendasar tersebut, niscaya akan diperalat oleh sistem keuangan global tersebut.
Akhir-akhir ini kita saksikan bagaimana pucuk gunung es “sektor ekonomi moneter dunia” sedang rontok dan menghantam seluruh penjuru dunia. Padahal yang terjadi saat ini baru gejala permulaan, dan akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya untuk merombak sistem secara mendasar.
Sebagaimana kita bisa pelajari dari sejarah, krisis keuangan berbasis uang kertas ini terus berulang secara berkala, dan sejauh penanganan krisis masih pada pengobatan gejala-gejalanya, bukan pada akar masalah dari model yang telah nyata-nyata gagal, maka jangan diharapkan dunia akan selamat dalam waktu yang relatif singkat. Malahan sebaliknya, kehancuran akan sulit dihindari.
ersyukur kepada teknologi informasi yang bisa merupakan sarana yang dapat mengkudeta fungsi perbankan atau istilahnya “coup de banque”. Bukankah yang sebenarnya fungsi perbankan amat sederhana, hanya mengadministrasi pencatatan plus dan minus saja dengan sedikit variasi perhitungan. Tapi mengapa menjadi “raja” yang mengatur dan menentukan nasib sektor-sektor lain.
Dengan kata lain, dipastikan ada yang salah dalam sruktur global yang demikian itu.
Kita bisa bayangkan, betapa sistem per bankan sebenarnya hanya menjadi beban ekonomi, misalnya keberadaan jaringan ATM yang investasinya mahal di seluruh dunia hanya mengurusi uang kertas. Padahal kini ada handphone yang isinya pulsa, dimana pulsa adalah juga uang. Sehingga kita bisa melakukan pembayaran dengan pulsa tersebut. Tidak berlebihan kiranya, kalau kita simpulkan bahwa dunia sedang menuju “Cashless society” atau “Paperless society”
*Penulis adalah Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat ABRI (2000) dan anggota DPR-RI-Fraksi ABRI (1995-1997)