Rabu, 16 Juli 2025

Menyelamatkan Dunia Dengan Pancasila Dan Nasakom (Bagian 4-Selesai) Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi (*)

Dalam tuntutan jaman hari ini, “machine age” secara pasti bergeser kearah “system age”, ketika masyarakat mekanisnik bergeser menuju masyarakat organik, ketika aliran reduksionis segera akan digantikan oleh aliran holistik, Indonesia penuh dengan harapan masa depan yang gemilang. Indonesia bisa sebagai “victor” sebab Bangsa Indonesia sudah memiliki Pancasila Pakeming Ngaurip yang paradigmanya Holistik Organik sesuai tuntutan “System Age”.
Pancasila Pakeming Ngaurip
 
Pancasila yang pertama kali dikenalkan oleh penggalinya yaitu Bung Karno pada tanggl 1 Juni 1945 dan kemudian secara formal dimuat dalam Pembukaan UUD-45 sesungguhnya juga ilmu yang berasal dari paham ke Ilahian. Karenanya ia bukan hanya Dasar Negara, tapi ia juga pakem atau aturan Dasar bagi kehidupan manusia (Pekeming Ngaurip). Karena Pancasila berasal dari paham ke Illahian atau ketahuidan yang sudah lama berkembang dibumi Nusantara, maka datangnya juga dari sang Pencipta, karenanya maka Pancasila pasti akan diterima atau cocok dengan agama apapun. Untuk itu kita perlu mendalami sila demi sila.  
 
Sila Pertama: Ketuhanan. Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Hal ini sama dan sebangun dengan pemahaman yang dijelaskan dalam Al Qur’an, dimana asal kejadian manusia berangkat dari Sirrullah (Kehendak ALLAH). Disisi lain faktor yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain adalah persoalan adanya ROH, Nur Muhamad , Rohul Kudus, atau “Menungso Sejati” yang terkadang pula disebut Rosullulloh atau “Guru Sejati”.  
 
Sila Kedua: Kemanusiaan. Dalam kehidupan,  faktor kedua yang memegang peranan yang menentukan dalam merealisasikan kehendak atau keinginan Tuhan adalah manusia. Maka persoalan komponen jasad manusia, adalah penentu. Komponen jasad bisa berupa phisik kebendaan maupun yang non phisik seperti logika, instink, ilmu pengetahuan. Kehendak Allah sendiri tidak akan pernah menjelma kecuali melalui keberadaan manusia. Disanalah maka leluhur dari Jawa mengibaratkan bagai posisi antara keris dan “warongko” dalam posisi yang sejajar. Maka manusia dan Tuhan dalam kedudukan yang egaliter. Menjadi wajar kalau manusia ketika menyebut Tuhan cukuplah dengan sebutan Ia, Kamu, Mu atau Nya, bukan dengan sebutan Paduka, Yang Mulia, atau Beliau dan sejenisnya.  
 
Sila Ketiga: Persatuan. Makna Persatuan disini adalah menyatunya antara komponen jasad yang terbuat dari tanah liat yang diberi bentuk dengan Roh yang ditiupkan kedalam janin jabang bayi ketika masih berada dalam kandungan sang ibu, sehingga ia sempurna. Dua yang satu ini yang membentuk senyawa yang disebut manusia. Tubuh manusia tanpa roh tidak lagi disebut manusia.
 
Sebaliknya Roh tanpa tanpa jasad manusia, juga bukan manusia. Kesempurnaan jasad manusia adalah sejak ditiupkan Roh atau Nur Muhammad yang bertindak mewakili Allah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri, sampai keluarnya Roh itu dari tubuh / Jasad manusia. Peran manusia sebagai kholifah atau wakil Tuhan di dunia, sekaligus sebagai penampakan Tuhan akan menjadi Adam kembali, ketika persatuan antara Jasad dengan Manungso Sejati betul-betul tunggal, tidak terdistorsi oleh peran komponen apapun yang berasal dari jasad manusia, baik berupa nafsu, keinginan, logika, ataupun ilmu pengetahuan.  
 
Sila Keempat: Kerakyatan. Keberadaan manusia yang terdiri dari dua komponen yang menyatu tersebut sesungguhnya diarahkan untuk kepentingan seluruh organ manusia. Karenanya seluruh bagian tubuh harus terkodinir dan diatur dengan persamaan hak, disanalah maka konsep dasarnya bisa dengan permusyawaratan yaitu ketika seluruh tubuh manusia harus disinergikan secara keseluruhan (total) atau cukup diwakili (Perwakilan) oleh organ-organ tertentu yaitu ketika makan, rasa enak  hanya diwakili oleh unsur lidah, bernafas diwakili oleh komponen hidung, saluran pernafasan dan paru-paru namun proses selanjutnya melibatkan seluruh organ manusia tanpa kecuali. Disanalah maka peran dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yaitu oleh unsur kebenaran dan kejujuran menjadi kata kunci.  
 
Sila Kelima: Keadilan Sosial. Hal yang mendasar dalam proses kehidupan manusia adalah pentingnya keadilan sosial, yaitu manfaat dari kerja tubuh manusia baik oleh organ tertentu ataupun secara keseluruhan sesungguhnya  bermanfaat untuk semua organ manusia tanpa kecuali. Memang betul lidah yang mewakili enaknya rasa makanan, tapi manfaat yang diperoleh Lidah, bisa dinikmati oleh semua organ manusa secara keseluruhan. Sebagai satu kesatuan organis sesungguhnya secara keseluruhan organ manusia adalah rangkaian tertutup yang saling berinteraksi, tak peduli ujung kuku kaki maupun ujung rampbut rambut semua mendapat perlindungan keamanan dan mendapat bagian kesejahterakan sesuai porsi masing-masing.  
 
Dari gambaran ke Illahian yang berproses dalam tubuh manusia sebagaimana penjelasan diatas, maka menjadi wajar kalau Pendiri Republik ini khususnya Bung Karno menjadikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Persoalan yang kemudian timbul adalah perubahan obyek dan juga  subyek dari proses Pancasila, yang semula  ada pada tubuh Manusia diganti menjadi negara dan bangsa yang notabene bukan benda hidup atau mahluk yang “disempurnakan”. Disanalah kepincangan dirasakan sejak awal kemerdekaan, karena Pancasila dalam konteks bernegara belum dilengkapi dengan instrumen, bagaimana negara dan bangsa ini menjalankan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.  
 
Belum siapnya instrumen untuk menjalankan kelima sila Pancasila, disamping mengandung kelemahan tetapi juga membawa hikmah yang luar biasa besarnya, yaitu ketika generasi penerus segera menyiapkan perangkat atau instrumen berupa penjabaran sila-sila Pancasila kedalam batang tubuh UUD. Sehingga setiap penyelenggara negara siapapun dan dengan ideologi apapun Presiden pemenang Pemilu akan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai Landasan idiil dan UUD sebagai landasan Operasional bagi segenap penyelenggara negara dan juga segenap warga negara. Sudah barang tentu setiap generasi juga mempunyai hak untuk merevisi jabaran sila-sila Pancasila dalam batang tubuh UUD tersebut, sesuai dengan tuntutan jaman masing-masing. Sehingga Pancasila akan selalu aktual. Dan kunci semua itu letaknya pada kesetaraan perlakuan negara terhadap setiap anak bangsa, kelompok, golongan, etnis, agama, daerah dan juga budaya atau kearifan lokal. Dengan demikian  kedepan  negara tidak terlibat dalam ataupun membiarkan pendholiman antar manusia, kelompok, etnis, golongan dan juga agama apapun dan oleh siapapun. Dengan demikian Indonesia adalah milik semua dan manfaatnya dirasakan oleh segenap rakyat, Suku, golongan, agama, dan daerah yang ada di Indonesia tanpa kecuali.    
 
Kapitalisme Malas VS Kerja Kerja Kerja
 
Praktek penguasaan ekonomi melalui pasar uang dunia ini kemudian melahirkan model “Kapitalisme Malas”. Disebut “Kapitalisme Malas” karena dengan permainan “Uang Beranak Uang” (money makes money) di pasar uang  tanpa kegiatan ekonomi secara riil. Mereka hanya memperdagangkan uang dan kertas-kertas berharga dengan berbagai turunan dan ikutannya (derivatifnya). Dengan cara ini mereka tidak perlu repot-repot menghadapi masalah sosial sebagaimana dalam bisnis dibidang sektor riil, seperti repotnya perijinan, pemogokan buruh, dan lain-lainnya.
 
Hal inilah yang membuat perekonomian dunia dewasa ini terbelah menjadi 2 (Dua) yaitu sektor riil dan sektor moneter. Perkembangan sektor moneter begitu pesatnya, empat puluh kali bila dibandingkan sektor riil, sebagai contoh perdagangan Valuta saja tiap hari mencapai 2, 4 Tilyun USD, sementara keseluruhan  sektor riil hanya mencapa 4 Trilyun USD per hari. Artinya dari 1 (Satu) cabang saja dalam hal ini Valuta asing (Money Changer) sudah mencapai 54% (Empat Puluh Enam Persen), belum lagi dari penjualan saham, aneka Bonds, dan Surat-surat berharga lainnya. Model perokonomian yang demikian ini melahirkan gelembung ekonomi (Bubble Economy), akibat yang diperdagangkan adalah kertas, berbeda dalam sektor riil yang dikelola benar-benar ada barangnya.
 
Sejumlah ahli bahkan menyimpulkan bahwa sektor moneter dewasa ini menguasai 76% (Tujuh Puluh Enam Persen) kehidupan dunia, sisanya baru tersebar pada aspek kehidupan lainnya.   Dalam kaitan pengelolaan ekonomi dunia, melalui negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional mereka memberi bantuan dalam bentuk pinjaman kepada negara-negara berkembang.
 
Dalam kenyataannya model yang diterapkan harus mengakomodasikan kepentingan mereka dan harus sesuai dengan disiplin keilmuan yang  mereka kembangkan. Dalam kenyataannya upaya mereka dinegara-negara berkembang  pada umumnya gagal. Salah satu penyebab utamanya karena elit bangsa yang dibantunya korup. Mereka bersembunyi pada elit yang korup. Melalui elit yang korup mereka dengan mudah mengendalikan pengelolaan perekonomian negara-negara yang dibantunya. Maka lisensi tambang dan monopoli pasar pun mereka kuasa bersama kroni dalam negeri.  
 
Tata Dunia Baru dan Restrukturisasi
 
Kalau kita perhatikan dunia sekarang dihebohkan dengan krisis ekonomi secara bergantian, serta perang dunia ketiga dalam bentuk “currency war”. China bermaksud menggeser peran US dollar sebagai mata uang yang diakui dunia.
 
Artinya apa? Bentuk-bentuk mata uang adalah kesepakatan adanya negara-negara dan merupakan diplomasi formal antar negara, yang merupakan bentuk formal perantara tukar menukar komoditi antar negara. Keberadaan negara diatur melalui eksistensi mata uangnya dan untuk itu dibuat aturan main pertukaran barang antara negara melalui diplomasi mata uang. Kesepakatan ini kini menjadi sumber pertikaian yang dianggap sebagai potensi perang dunia III. Apakah negara-negara sudah tidak mengakui adanya sistem yang menjadi kesepakatan antar negara yang ternyata mendominasi mayoritas bangsa-bangsa di dunia selama ini? Lalu apa yang harus kita perbuat dalam menyikapi hal tersebut? Apakah diam saja dan sibuk urusan “tetek-bengek” di dalam negeri yang tidak kunjung usai? Mengapa negara kaya raya ini belum menghadirkan manfaat bagi rakyatnya?
 
Sementara Thailand yang tidak punya tambang, tidak sekaya Indonesia, bisa bangkit dan menjadi “tradehub agribisnis” dunia? Mengapa Malaysia yang hanya sebesar satu provinsi nya Indonesia berhasil menggeser posisi Eropa sebagai investor papan atas di Indonesia, dan kini menjadi pintu masuk pariwisata Asia khususnya Asia Tenggara.  
Padahal yang dibutuhkan bagi satu bangsa sebesar Indonesia hanya ada dua solusi yang terpadu saja, yaitu: revolusi kebudayaan dan perombakan sistem kenegaraan yang dikawal oleh militer yang berpihak pada rakyat. Ini adalah proses yang dibutuhkan sebagai prasyaratnya untuk melakukan corporate restructuring (restrukturisasi) negeri ini. Kisah sukses dalam hal Redesign Country Manajement model tersebut adalah Thailand dan Malaysia.
 
Pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa negara yang sudah memiliki segalanya, memiliki rakyat dalam jumlah besar, memiliki hukum, bisa memberikan lisensi sumber daya alam, semuanya ada termasuk aturan main pun ada, tetapi dalam prakteknya mengapa bisa kalah dengan perusahaan multinational corporation yang kini berlomba untuk mengorganisir rakyat melalui mekanisme pasar.  
 
People Cybernomics: NASAKOM Kekinian
 
Indonesia memiliki potensi untuk membentuk model ekonomi baru, yaitu people cybernomics. Suatu sistem baru untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat secara konkret. Apalah artinya kedaulatan rakyat ditangan rakyat, kalau rakyat tanpa mempunyai kedaulatan ekonomi. Dimana rakyat secara komunal terorganisir dalam bentuk semacam korporasi melalui aplikasi telematika. Konsep ini mempertemukan antara kapitalisme dan sosialisme dalam korporasi kerakyatan walaupun tidak harus berbentuk badan hukum secara rigid.  
 
Jadi ke depan, rakyat (komunal)  akan berjaringan. Ini menjadi model ekonomi baru yang berbasis kerakyatan yang diperlengkapi dengan aplikasi teknologi dan sistem seperti halnya multinational corporation. Karena negara lah yang bisa memfasilitasi hal ini, maka negara yang harus mengubah sistem ekonominya dengan kembali ke uang mas, atau komoditi lainnya dan mengadopsi fenomena tersebut. Yang pasti kepemimpinan nasional di seluruh dunia tidak bisa lepas dari skenario global ini.
Terpilihnya Joko Widodo dari kalangan rakyat dengan motto “KERJA KERJA KERJA” sudah tepat waktunya. Kemampuan Pemimpin menerawang  fenomena global yang sudah dan sedang bergerak ke sana menjadi faktor penentu nasib bangsa manapun di seluruh dunia supaya rakyatnya tidak terus disengsarakan oleh kebodohan dan juga keserakahan sang Pemimpin.  
 
Dari perspektif persyaratan “corporate restructuring”, kalau ingin NKRI tetap utuh maka Indonesia wajib melakukannya segera. Kalau ini tidak, maka yang terjadi saya rasa adalah skenario kedua yakni adanya perpecahan seperti Aceh, Papua, Riau, Kaltim yang ingin berdiri sendiri-sendiri karena tidak merasakan manfaat berIndonesia. Yang pasti akan segera disusul oleh daerah lainnya. NKRI mreteli dengan sendirinya.  
 
Pertanyaan para ekonom klasik: Lantas modal uang dari mana agar Indonesia bisa membiayai rencana “Corporate Restructuring” tersebut? Jawaban saya: Uang itu hanya sarana. Contohnya Thailand yang tidak punya tambang dan sumberdaya sebanyak kita terbukti bisa bangkit dari keterpurukan dan melunasi hutang-hutangnya (mengusir IMF) hanya dalam waktu 6 bulan. Berarti ada cara. Malaysia kini maju dengan pesatnya. Berarti ada caranya. Itu hanya bagian sebuah model.
 
China misalnya mengambil satu model yang awalnya tidak menganut hukum “supply and demand” sebagaimana sistem kapitalisme.  Yang penting dia mengatur bagaimana rakyatnya semua bekerja dari jam tujuh pago sampai jam lima sore. China pun terbukti bisa memproduksi barang apa pun mulai dari peniti sampai satelit dengan tidak ikut model mekanisme pasar. Rakyatnya lebih dari 1,4 miliar  makan semua. Kesehatan ditanggung negara. Pendidikan semua gratis semua anak sekolah, semua kerja. Kalau China menerapkan sistem kompetisi bebas, seperti negara-negara barat, rakyat China bisa mati bunuh-bunuhan hanya untuk sekedar cari makan. China  mengeruk devisa hampir 3 trilyun dolar AS. Jadi jangan tanya soal uang. Uang itu hanya alat. Itu kan hanya soal modelling saja.
 
Bangsa yang cerdas tidak perlu alergi dengan istilah. Trauma-trauma terhadap istilah perlu dimaknai ulang. “Bad memory” bawah sadar perlu didetoksifikasi supaya pikiran bangsa kembali cemerlang. Kalau dunia pada akhirnya mengakui KONSEP BUNG KARNO tentang NASAKOM (Nasional-Agama-Komunis) yang kalau dijelaskan secara gamblang sebagai berikut: “Dalam tantangan the end of nation-state dan the death of government, maka nasionalisme (NAS) hanya bisa bertahan apabila didasari oleh filsafat Agama (A) yang perwujudannya seperti makna Pancasila Pakeming Ngaurip sebagaimana diuraikan di atas dalam, yang dioperasikan dalam  bentuk kongkrit perwujudan rakyat terorganisir  dalam jaringan (KOM) yang istilah kerennya “People Cybernomics : sebuah realitas yang sedang diwujudkan oleh seluruh dunia melalui dorongan revolusi telematika dan seluruh komponen pendukungnya”.
 
Lantas mengapa Bangsa Indonesia sebagai pemilik Bung Karno malah sibuk alergi dengan istilah NASAKOM tersebut. Kalau meminjam istilah Filsuf Pakistan, Muhammad Iqbal, “Komunisme adalah Islam minus God“. Itu cocok untuk Pakistan yang sudah mendeklarasikan sebagai Negara Islam Pakistan (Thanks to Mas Adi Sasono mantan Menteri Koperasi dan UKM era Presiden BJ Habibi yang telah mengingatkan saya tentang istilah ini).
 
Saya jadi ingat komentar Gus Dur “minyak zaitun dikasih merk minyak babi jadi haram, minyak babi dikasih merk minyak zaitun jadi halal”.  Sementara justru kita sudah punya istilah sendiri yang tepat hasil kreasi Bapak Bangsa kita yang diakui dunia.
 
Ayo Stop menjadi Bangsa Bodoh alias O’on. Saya yakin Bung Karno sedang tersenyum membaca tulisan saya ini. Melalui tulisan ini saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh Jenderal  yang dalam sebulan ini menghujat saya sebagai Jenderal PKI, TNI kesusupan Kader Komunis sampai Bintang Dua, dan terkhusus senior saya, Mayjen TNI (Purn) Budi Sudjana yang telah membuat saya terpaksa menjelaskan semua ini.   Kepada yang mulia Presiden Joko Widodo ijinkan saya menyampaikanaspirasi……lanjutkan……!!! Lebih cepat lebih baik……. Kerja! Kerja! Kerja!  Gitu saja kok repot. Wis Rapopo! (Selesai)
 
*Penulis adalah Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat ABRI (2000) dan anggota DPR-RI-Fraksi ABRI (1995-1997)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru