Salah satu persoalan yang penting untuk segera secepatnya bisa diatasi oleh Presiden Jokowi pada pemerintahan 2019-2023 kedepan adalah soal Papua. Dan salah satu hambatannya adalah persoalan keamanan dan pelanggaran HAM yang berlarut-larut. Ambassador Freddy Numberi, sesepuh masyarakat Papua menyorotinya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh : Ambassador Freddy Numberi
BAPAK Proklamator Indonesia, Bung Karno mengatakan: “Bangsa Indonesia di masa depan harus bersatu dalam realitas yang berbeda, baik ras, suku dan agama, justru akan menumbuhkan gairah nasionalisme atas nama bangsa dan negara”. (Sulaiman Effendi, 2014 :171)
Setiap peristiwa dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Nusantara, sesungguhnya berakar pada rakyat yang memegang kendali kedaulatan di negeri tercinta ini untuk menuntut keadilan sebagai Bangsa Indonesia. Mengenai keadilan ini, harus dilihat sebagai hal yang biasa. Bahkan, para pendiri negara ini sejak awal sudah mengingatkan, kalau nasionalisme Indonesia itu harus ditopang keadilan dan kemanusiaan. Dari pikiran ini, sangat jelas keadilan dan kemanusiaan merupakan pondasi dari tumbuh suburnya nasionalisme.
Khususnya Wilayah Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) di saat masyarakatnya menuntut keadilan, kedamaian dan kesejahteraan kadang diabaikan dan tak jarang pula diberi stigma separatis. Keadilan ekonomi, politik, sosial dan budaya merupakan hak dasar manusia (human rights) secara universal, begitu pula dengan haknya Orang Asli Papua (OAP) sebagai warga negara Indonesia, tetapi tidak terpenuhi oleh negara secara adil dan bermartabat serta diakui sebagai salah satu kedaulatan Rakyat Indonesia.
Kewajiban dalam memenuhi setiap hak asasi warga negara adalah dalil kehadiran sebuah negara. Apabila negara tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam melindungi hak-hak warganya, maka negara telah kehilangan makna eksistensinya. Jangan menyalahkan masyarakatnya jika mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan melakukan protes.

Respons pemerintah melalui aparat keamanan dengan melakukan tindakan represif/kekerasan kadang-kadang keluar dari konteks Aturan Pelibatan (Rule of Engagement) di masa damai sesuai standar konvensi-konvensi internasional/PBB, dimana Indonesia sebagai salah satu negara anggota juga telah meratifikasi dalam bentuk undang-undang.
Di masa damai dalam menghadapi masyarakat sipil bila tidak tepat, dapat menjadikan pelanggaran HAM seperti beberapa kasus di Indonesia, antara lain: Semanggi Berdarah, Wamena, Wasior, Biak, Deiyai dan saat ini adalah Nduga Berdarah.
NKRI sedang menjadi bulan-bulanan akibat peristiwa konflik di Kabupaten Nduga, yang terus membara. Kita terperangkap dalam gerakan Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) nan tak kunjung padam. Kita turut berduka atas meninggalnya aparat keamanan (TNI, POLRI), pekerja infrastruktur maupun sejumlah pengungsi yang keluar dari kabupaten Nduga akibat kekurangan gizi dan kelaparan. Sangat menyedihkan!.
Dari data yang ada, diketahui bahwa Nduga terus bergejolak sejak 2018 hingga Juli 2019, ada 37 kasus penembakan yang melibatkan KKSB (Kompas, 22 Juli 2019).
Masyarakat yang keluar dari Nduga harus ditangani secara baik dan bijak tanpa ada embel-embel curiga sebagai bagian dari KKSB ataupun separatis. Penanganan yang baik dan tuntas serta terukur terhadap pengungsi maupun KKSB ini, akan menaikkan leverage Indonesia di mata Internasional.
Penanganan yang keliru dan mengabaikan masyarakat justru menjadi kontraproduktif dalam penyelesaian masalah dan mengganggu citra Indonesia di dunia internasional. Penulis berpengalaman sebagai duta besar dan menemukan kenyataan tidak mudah untuk menjelaskan persoalan dalam negeri ke dunia internasional, kalau ada keburaman di dalam negeri. Lebih dari itu, persoalan dalam negeri juga bisa menjadi beban tersendiri Presiden, karena bukan mustahil akan menghadapi pertanyaan dari para negara sahabat.
Di satu sisi, ada kenyataan dimana perkembangan teknologi informasi menyebabkan apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, dengan mudah diakses oleh masyarakat internasional. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Papua dan wilayah lain akan sangat mudah terekspos ke dunia luar. Untuk mengatasi hal ini, salah satu cara yang dapat ditempuh dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan.
Dengan pendekatan seperti ini dengan sendirinya memperbaiki citra Indonesia di mata internasional dan sekaligus menetralisir berbagai isu negatif yang mungkin saja ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Sejauh informasi yang dimiliki penulis, pemerintah tidak pernah memiliki rencana, keinginan atau sejenisnya untuk menghabisi orang Papua atau yang dikenal sebagai genocide di dunia internasional. Tetapi, harus diakui terjadinya insiden atau benturan yang menyebabkan korban jiwa, baik di kalangan masyarakat maupun aparat.
Penulis memiliki keyakinan, dengan pendekatan yang tepat dan terjadinya peningkatan kesejahteraan di Wilayah Tanah Papua, dengan sendirinya akan mengurangi atau menghilangkan aspirasi disintegrasi. Kalau ada kesejahteraan, kedamaian dan keadilan, tentu akan mengeliminir keinginan untuk merdeka di Papua.
Situasi seperti ini memiliki pengalaman empiris. Misalnya, Provinsi Bolzano di Italia. Provinsi ini merupakan wilayah otonom di Italia. Masyarakat di wilayah ini merasa diabaikan dan mereka tertinggal di banding provinsi lain. Akibatnya, masyarakat meminta untuk referendum. Setelah melalui pembahasan di Uni Eropa, akhirnya diperoleh solusi untuk memberikan peluang seluas-luasnya kepada Provinsi Bolzano untuk mengurus sendiri wilayah dan mengelola sendiri berbagai peluang ekonomi selama 10 tahun. Kalau dalam waktu 10 tahun tidak ada perubahan, maka opsi referendum menjadi pilihan.
Setelah 10 tahun berlalu, ketika ada kemungkinan referendum, ternyata masyarakat tidak lagi menghendaki referendum karena kesejahteraan secara nyata dirasakan masyarakat. Untuk itu, kalau masyarakat diberikan peluang dan kesejahteraan benar-benar bisa dicapai, maka berbagai keinginan untuk disintegrasi itu akan hilang dengan sendirinya.
Di bagian akhir tulisan ini, pembangunan di Wilayah Tanah Papua hendaknya tidak mengabaikan pendekatan budaya. Wilayah Tanah Papua secara kultural memiliki tujuh wilayah adat, yakni Wilayah Adat Tabi/Mamta (87 suku), Saireri (37 suku), Bomberai (19 suku), Doberai (52 suku), Ha Anim (29 Suku), Meepago (11 suku) dan Wilayah Adat Lapago (19 suku). Ketujuh wilayah adat ini memiliki karakteristik sendiri, membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Dari tujuh wilayah adat ini, Meepago dan Lapago merupakan wilayah adat yang berada di pedalaman Papua, yakni delapan kabupaten di Meepago dan tujuh kabupaten di Lapago. Kedua wilayah ini yang selalu terjadi konflik, termasuk Nduga yang berada di wilayah adat Lapago. Untuk itu, dengan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan permasalah wilayah di kawasan ini akan menghasilkan solusi yang terbaik bagi semua pihak. Semoga!