Oleh : M. Hatta Taliwang*
Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasar pemahaman tersebut, partai sebagai bagian dari infrastruktur politik -bersama dengan suprastruktur politik,– harus mengacu kepada struktur politik yang ada. Dengan kata lain, struktur politik negara menentukan infra dan suprastruktur politik. Maka, partai politik merupakan instrumen penting dan strategis dalam pembangunan politik.
Pembangunan politik sendiri terdiri dari tiga hal, (i) perbaikan struktur politik yaitu menyempurnakan konstitusi, (ii) perbaikan kualitas proses politik dengan meningkatkan kualitas pemilihan umum dan partai politik dan (iii) pembangunan budaya politik dengan meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
Dalam tataran praktis, partai,–melalui kadernya di DPR dan jabatan politik/publik di pemerintahan,–memiliki kesempatan untuk menyempurnakan konstitusi dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Namun kenyataannya, saat ini fungsi partai sebagai mesin politik masyarakat tidak berjalan sebagai mana mestinya. Partai menjadikan liberalisme sebagai basis ideologi. Liberalisme telah membentuk watak partai menjadi transaksionis yang tidak mempedulikan rekrutmen atau manajemen kader. Kekuatan pemilik modal akhirnya masuk sebagai kekuatan yang mendominasi partai, menjungkirbalikkan demokrasi di tubuh partai dan pada gilirannya juga menghancurkan demokrasi di level suprastruktur politik.
Rekrutmen politik dan manajemen kader untuk pemilihan anggota legislatif dijerat dalam pola transaksional sehingga membuat partai tidak mampu memberikan jaminan terhadap kualitas anggota legislatif yang terpilih.
Dampak derivatif lain dari pola demokrasi transaksional yang dibangun oleh partai adalah hilangnya sistem kaderisasi dan manajemen kader. Sistem kader berubah menjadi perlombaan jual-beli suara. Pemilik modal besar akan terpilih dalam sistem ini. Lenyapnya manajemen kader telah membuat harkat dan martabat partai menjadi hina karena segala hal dikalkulasi berdasarkan nilai-nilai hedonisme dan borjuasi yang menyingkirkan kader idealis dan idealisme partai.
Lebih jauh, hal ini telah menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap partai. Hilangnya kepercayaan (distrust) akan diikuti oleh disobedience, malfunction birokrasi, dan berujung pada state failure.
Kader partai kehilangan harapan dalam memperjuangkan idealisme dan karirnya karena pada akhirnya pemilik modal lah yang akan membentuk aturan main sistem dan menentukan atau bahkan menjungkalkan jenjang karir kader.
Dana Partai
Sistem liberal membuat persaingan menjadi laizes fair, unlimited, dan unpredictable. Berapa biaya yang harus disiapkan calon legislatif tidak dapat diprediksi karena rivalitas sepenuhnya menggunakan sistem pasar dalam model komoditas kartel.
Akibatnya, hanya yang memiliki modal terkuatlah yang menang. Ini disebut dengan pesta kriminal kartel suara. KPU dan/atau KPUD tidak bisa diandalkan karena hanya berorientasi pada tabulasi suara, sementara tabulasinya merupakan hasil dari kartel. Sistem kartel yang ganas,– secara hukum dimaknai dalam pasal “sistemik dan massif” dalam pemilu, pilpres, dan pilkada.
Pemilik modal yang menguasai partai berpotensi kuat menjadi makelar atau mafia kebijakan. Karena ketergantungan yang tinggi partai terhadap pemilik modal, maka terciptalah relasi yang tidak seimbang. Pemilik modal menjadikan partai hanya sebagai komoditi politik.
Fenomena calon independen bisa dimaknai sebagai ancaman serius terhadap eksistensi partai sebagai sebuah lembaga. Fenomena itu muncul bukan semata karena lunturnya kepercayaan masyarakat kepada partai, namun juga bisa dilihat sebagai superiornya para pemilik modal. Calon independen akan datang langsung kepada pemilik modal karena memahami realitas politik bahwa pemilik modal adalah pemilik partai.
Jalan Keluar
Substansi permasalahan ada pada masalah pendanaan, penyimpangan sumber dana, ketidakadilan dana, distribusi kekayaan, dan distribusi kekuasaan yang diserahkan kepada pemilik modal atau korporasi telah membuat partai menjadi kacau. Dengan kata lain, demokrasi diserahkan pada pasar dan penghilangan peran negara hingga ke titik nol. Agak sulit membayangkan terjadinya perbaikan sepanjang substansi permasalahan dana ini tidak segera dibenahi.
Oleh karena itu negara perlu membiaya partai agar bisa meniadakan hegemoni atau dominasi pemilik modal di internal partai. Hal ini akan memastikan terjadinya demokrasi di tubuh partai.
Pendanaan oleh negara juga akan menjamin jenjang karir kader. Setiap kader terbaik partai memiliki peluang terhadap masa depan karir di partai. Menjadi ketua umum, dicalonkan menjadi presiden, atau jabatan politik lainnya meski memiliki keterbatasan dana pribadi.
Dengan demikian, keuangan partai bisa diaudit negara melalui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menguatkan konsep pelaporan dana partai ke Kementerian Dalam Negeri. Otomatis ini akan mendorong prinsip keterbukaan.
Kontrol masyarakat kepada partai semakin menguat karena biaya partai berasal dari APBN atau pajak yang diambil dari rakyat. Pada posisi seperti ini, masyarakat sebagai pembayar pajak akan bertindak sebagai pemilik atau pemodal kapital terbesar bagi partai berhak menentukan arah partai. Kontrol masyarakat yang berangkat dari kesadaran politik ini akan mendorong partai untuk lebih bertanggungjawab kepada masyarakat.
Partai tidak perlu lagi mengakali APBN/APBD dalam mendanai kegiatannya. Selama ini, lebih dari 40% dana APBN/APBD dikorupsi. Oleh sebab itu, lebih baik negara memberikan 2% dari dana APBN/APBD untuk partai tapi negara dan masyarakat bisa melakukan kontrol dengan ketat.
Dana yang bersumber dari perorangan atau perusahaan akan diaudit dan dibatasi besaran maksimalnya. Iuran dan pembentukan koperasi anggota agar terdapat dana taktis yang bisa digunakan dan diaudit. Ingat, dalam konteks koperasi, dana sosial berdiri diatas kekuatan modal. Sebelum partai membentuk koperasi, maka yang harus diperhatikan adalah menentukan atau memilih mahzab ekonomi yang menempatkan koperasi sebagai sistem perekonomian yang utama.
Konsep ini akan memperbaiki sistem kaderisasi dan manajemen kader karena tidak ada lagi pola transaksi dalam tubuh partai di setiap promosi jabatan dalam tubuh partai atau jabatan politik. Pemilik modal tidak bisa semena-mena membeli partai dan mengangkangi kader terbaik partai.
Hal ini akan memperkuat konsepsi Trias Politica, dimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif dibiayai sepenuhnya oleh negara. Selama ini hanya eksekutif dan yudikatif yang dibiayai negara.
Tentu, negara membiayai partai harus dilengkapi dengan instrumen peraturan yang mencakup klasifikasi atau kriteria partai penerima dana, besaran alokasi, serta mekanisme pembiayaan. Peraturan tersebut sekaligus memberi limitasi (batasan) dan demarkasi (penegasan) terhadap negara -pemerintah– untuk tidak menjadikan pembiayaan tersebut sebagai alat untuk mengkooptasi partai-partai.
Kesimpulan
Memperbaiki sistem demokrasi harus dimulai dari perbaikan sistem kepartaian. Melalui kadernya di DPR, partai memiliki kewenangan yang besar untuk mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, membuat undang-undang. Tak hanya itu, bersama dengan presiden menentukan Panglima TNI, Kapolri, duta besar, Hakim Agung, anggota KPK, anggota BPK, dan masih banyak lagi urusan strategis lainnya.
Sulit diterima nalar, sebuah institusi dengan seperangkat kewenangan yang melahirkan pengaruh besar kepada pemerintah dalam menjalankan negara, dikelola dengan manajemen sederhana dengan kualitas pengabdian dan pelayanan yang buruk serta kadar tanggungjawab yang kurang. Sumber bara api kejahatan di negara ini adalah terletak pada partai dengan sistem kepartaian yang amburadul.
Setelah pemilihan umum berlalu dan partai telah mengantongi mandat yang besar dari segenap rakyat, saat itu pula lah nasib 240 juta rakyat ditentukan oleh segelintir ketua umum partai. Segelintir ketua umum partai itu membangun oligarki dalam bentuk sekretariat gabungan dan/atau koalisi. Siapa yang mampu menjamin bahwa sistem oligarki atau persekongkolan semacam ini akan melahirkan kebaikan bagi rakyat, bangsa, dan negara?
Selain itu, bila partai masih menerapkan sistem yang saat ini berjalan, maka masih banyak kader partai berstatus “karyawan politik” di DPR yang akan terjerat kasus korupsi. Padahal, “tugas” tersebut bukan kemauan pribadi kader semata, melainkan “tugas partai” untuk “menggoreng” APBN/APBD. Dengan tugas berat yang diemban partai dalam mengelola kehidupan bernegara, jangan bebani partai dengan membiarkannya mencari dana untuk membiayai dirinya sendiri. Bila itu terjadi, maka korupsi akan tetap menjadi pilihan pembiayaan partai. Karena itu negara harus hadir dan ikut mengatur keuangan partai. Kalau negara sudah membiayai partai namun partai tetap melakukan korupsi, maka negara harus membubarkan partai.
Oleh sebab itulah, revolusi dalam sistem kepartaian menjadi mendesak untuk dilakukan. Partai harus menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat untuk konglomerat. Partai yang sehat dalam sistem kenegaraan yang sehat akan membawa negara ini dalam kemajuan.
*Penulis adalah Direktur dari Institute Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) dan pernah menjadi anggota DPR-RI dari PAN 1999-2004