Oleh : Agus Pranata
Jarang sekali kita menyaksikan sebuah kejahatan dipublikasi, dipuja-puji, dirayakan dengan pesta kerbau, lasimnya pesta bandit—mafioso. Seminggu yang lalu Kamis, 13 Mei 2014, pesta serupa digelar Pemda Batanghari, Jambi.
Sebuah pesta digelar untuk merayakan akhir konflik agraria. Dikatakan kasus ini sudah “tutup buku” setelah PT. Asiatic Persada mengkompensasi lahan 2.000 Hektar untuk Suku Anak Dalam (SAD).
Sudah bisa ditakar kalau penguasa bakal tak menghiraukan hujan kritik yang datang dari publik. Para petinggi pemerintah daerah memilih hadir di pesta itu untuk memberi tepuk tangan.
Sungguh tidak “etis” bagi pemerintah merayakan sebuah pesta ditengah pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung selama 28 tahun. Sejak tahun 1986 tercatat sudah lebih dari 3.000 Kepaka Keluarga SAD menjadi korban. Mereka mengalami kekerasan fisik, perampasan ruang hidup, serta kriminalisasi. Samasekali tidak ada penghormatan pemerintah terhadap martabat kemanusiaan mereka dengan menginjak-injak UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bukankah pemerintah wajib memenuhi hak konstitusional mereka seperti hak untuk hidup layak, mendapatkan rasa aman dan hak kesejahteraan, dan bukan sebaliknya,–represi.
Nampaknya tidak ada usaha keras dari pemerintah untuk mencegah terjadinya praktek militeristik sebagaimana UU Nomor 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS). Data berikut ini menggambarkan siklus kekerasan terus berlangsung hingga tahun 2013. Pada tahun 1986-1990 terjadi perampasan tanah adat SAD 113 seluas 3.550 Ha. Kemudian tahun 1995-2002 terjadi perampasan ladang Kelompok Tani Persada seluas 5.100 Ha. Dilanjutkan tahun 2004-2008 dilakukan perampasan ladang SAD Bukit Terawang seluas 600 Ha. Dilanjutkan tahun 2010-2011 dilakukan penggusuran kampung Danau Minang, Sungai Buaian, Jembatan Besi dan Sei Beruang seluas + 1.000 Ha.
Apakah masih ada kepekaan sosial (sensibility) dari pemerintah dengan mengadakan pesta ditengah puluhan petani dan SAD masih berjuang dibalik jeruji penjara? Semestinya pemerintah berduka karena tidak dijalankannya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut pasal karet: Pasal 21 dan 47 UU Nomor 18/2004 tentang Perkebunan.
Semuanya nampak jelas bahwa semangat penguasa dalam penangan konflik agraria bertolak belakang dengan prinsip kemanusiaan, keadilan dan kedamaian.
Persekongkolan Busuk
Sudah lama kita mencium aroma busuk korpotokrasi (persekongkolan) di tubuh Pemerintah dengan PT. Asiatic Persada dalam pemberian lahan kompensasi 2000 Hektar untuk SAD. Mereka setali tiga uang,– menerbitkan surat maklumat pengusuran, lalu menawarkan lahan hidup sementara, dan mengubahnya menjadi lahan kompensasi (lahan kredit).
Dengan begitu Wilmar Group berhasil “cuci-tangan” dari kasus perambahan hutan konservasi dan lari dari tanggungjawab hukumnya untuk melakukan encalve 3.500 Hektar. Sudah terang ada upaya pemerintah menutup-nutupi kejahatan perusahaan. Hazel Croalmenyebut pejabat seperti itu sebagai penjahat kerah putih (white collar crime).
Sejak semula pemerintah bersalah dalam penerbitan ijin usaha perkebunan tersebut, dan membiarkan pelanggaran terus terjadi sehingga bertambah sengkarut. Beroperasi pertamakali tahun 1986, perusahaan sudah melanggar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Izin pelepasan kawasan hutan baru terbit tujuh tahun kemudian: tahun 1992.
Protes masyarakat juga diabaikan pemerintah sesudah melaporkan adanya over-laping lahan seluas 18.000 Hektar. Sebab ijin HGU PT. Asiatic Persada hanya seluas 20.000 Hektar, namun eksploitasinya mencapai 38.000 Hektar.
Di tahun 1994 dua anak perusahaan PT. Asiatic Persada yaitu PT. Jummer Tulen dan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) sudah melanggar UU 18/2014 tentang Perkebunan. Keduanya membuka perkebunan sawit secara ilegal dan diam-diam mengalihkan asetnya.
Ironisnya, aparatus hukum tak mampu menjerat perusahaan yang merugian negara akibat perambahan kawasan hutan konservasi +1.500 Hektar yang melanggar UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Apakah perusahaan kebal hukum? Bisa jadi karena pemerintah yang meng-impunitas-nya. Disini kita menilai bahwa aparatus pemerintah bekerja bukan untuk melayani rakyat melainkan buat melayani tuan-tuan pemilik modal (Kapitalis).
Untuk membenarkan tindakan mereka di depan umum maka Undang-undang yang berbau Kapitalistik lah yang dihembuskan: UU Nomor 18/2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan lainnya.
Pemerintah menjadikan undang-undang yang kapitalistik di atas sebagai “tembok kertas” untuk menghalangi tuntutan rakyat. Sebab di dalam undang-undang tersebut prinsip kesetaraan (equality) samasekali tidak ada. Mereka mengamputasi undang-undang pokoknya, –yakni Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Kejahatan Negara
UU Pokok Agraria Nomor 5/1960 melarang negara melakukan praktek kapitalisasi atau komersialisasi atas tanah. Dalam pandangan UU Pokok Agraria, tanah tidak untuk diperdagangkan melainkan untuk pemenuhan kebutuhan sosial.
Dalam konteks ini pemerintah gagal memulihkan hak masyarakat adat dan martabat petani yang dirampas puluhan tahun. Gagal membangun pemerintahan bersih. Sebaliknya pemerintah berpesta atas pelanggaran Undang-undang.
Peny Green & Tony Ward menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang dan hak warga negara sebagai ‘Kejahatan Negara’ (State Crime: Governments, Violence & Corruption, 2004).
Selama ini rakyat banyak menitipkan harapan kepada Pemerintah dan Lembaga Adat Kabupaten Batanghari untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut. Penyelesaian lewat hukum adat dan hukum positif, kenyataannya jauh panggang dari api, penuh dengan manipulasi.
Jika masih ada perasaan tanggungjawab (sense of responsibility) dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini dengan benar maka kita memberikan solusi jangka pendek yang bersifat regulatif tanpa perlu melanggar Undang-undang.
Belajar pada kasus ini pemerintah bisa melakukan tindakan regulatif dengan mencegah kejahatan perusahaan (corporate crime). Ini adalah langkah untuk menggeser medan mediasi konflik pada upaya pembelaan rakyat dan pencegahan kerugian negara.
Sebelumnya pemerintah pusat bereaksi setelah ada surat rekomendasi Peninjauan Ulang Ijin HGU PT. Asiatic Persada. Langkah moderat ini semestinya ditindak lanjuti dengan moratorium perkebunan. Namun langkah ini gugur.
Pengalaman yang menarik dibuktikan oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor, Ia mencabut ijin perusahaan asal Inggris, Churchill Mining. Dengan begitu maka Pemerintah perlu memaksimalkan kekuasaannya tanpa perlu takut dengan “pagar hukum”.
Menurut Kriminolog, Maurice Puch, jika hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan tidak memiliki keberartian, tindakan buruk korporasi yang melakukan aktifitas ilegal tidak akan berubah. Tindakan regulatif ini sangat terbatas pada aktifitas ilegal perusahaan, namun ini merupakan solusi yang maksimal ditengah tembok undang-undang yang kapitalistik. Dalam jangka panjang dibutuhkan perjuangan transformatif untuk merubah tata-kelola agraria (reforma agraria).
8.000 Utang Konflik
Karena itu, semua undang-undang yang kapitalistik yang menghambat terwujudnya reforma agraria mesti dicabut. Kita membutuhkan Undang-undang baru yang menjamin demokratisasi sumberdaya agraria dan partisipasi rakyat.
Selain itu, dibutuhkan badan otoritas yang dapat mengadili konflik agraria. Saat ini saja ada + 8.000 utang konflik agraria di BPN, dan +19.000 Desa yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, yang menunggu penyelesaian.
Badan otoritas reforma agraria ini bertugas melakukan penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan tanah, serta pembangunan pertanian modern. Badan ini harus menjamin transfer sumberdaya negara ke tangan rakyat secara demokratis.
Perjuangan transformatif tersebut hanya dapat dicapai dengan perjuangan politik. Kita perlu bertanya apakah rakyat butuh perubahan? Jika ya, maka partisipasi politik rakyat dibutuhkan untuk menjatuhkan pemerintah pro-pemodal dan mengusung pemerintahan baru pro-reforma agraria! Songsong Pemilu 2014 dengan semangat perubahan!
Penulis adalah Anggota Serikat Tani Nasional (STN)