Oleh: Toga Tambunan *
DI JALAN raya utama kota Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, ketika lintas kita menemukan mesjid besar, Mesjid Raya Lima Puluh berdampingan gereja Huria Kristen Batak Protestan yang cukup besar. Saya kemarin melihatnya ketika dari Medan menuju Kisaran.
Jarak bangunan mesjid – bangunan gereja itu hanya sekitar 70-an meter, tanah terbuka tanpa di intermesso sesuatu pohon atau bangunan, kecuali pagar. Pagar itu pun bukan tembok, hanya sebaris besi. Tampaknya sekadar batas halaman.
Ibu Iti Octavia, bupati Lebak Banten, pelarang warga Kristen beribadah Natal, semestinya belajar dari bupati Batu Bara, dan masyarakat setempat.
Begitu juga sekelompok penduduk di Maja, kecamatan Cilebut, Bogor yang melarang warga Kristen beribadah Natal, patut berguru ke warga Batu Bara.
Warga Kristen yang mau menyelenggarakan acara ibadah Natal itu, di dua lokasi itu dilarang ibadah di dalam rumah jemaatnya. Warga Kristen tersebut terpaksa di rumah jemaat, berhubung bangunan gereja tidak ada, atau mungkin selama ini tidak diberi izin mendirikan gereja.
Mesjid Raya Lima Puluh berdampingan Gereja HKBP di kota Lima Puluh ini, tamparan keras bagi para warga berpendirian intoleran.
Kondisi kohesif, kerukunan bangsa syarat organisatoris pertama mengejar ketertinggalan pembangunan sumber daya bangsa & negara R.I. dengan sendirinya sekaligus menolak dan menghapuskan intoleransi.
Terutama pemimpin bangsa dan pemerintah, lebih daripada warga, wajib sanggup membaca cermat kehidupan kebersamaan untuk maju sehingga akan dapat terrealisasi pembangunan simultan berbagai agenda perubahan kesejahteraan sosial yang sedang dilaksanakan beruntun.
Kemerdekaan RI terjadi di zaman persaingan imperialisme dengan sosialisme. Kedua sistem itu menghapuskan feodalisme. Feodalisme itu perintangi, kemajuan. Feodalisme masih membudayakan pengkotak-kotakan yang membolehkan karakter intolerasi, ewuh pakewuh, non-egaliter atau disebut secara menyeluruh budaya patrimonialistik.
Seseorang di level pemimpin, apalagi ditingkat pemimpin bangsa semacam ketua partai politik, selayaknya membaca kehendak zaman menanggalkan budaya feodalisme, ataupun sisa-sisanya. NKRI sudah meninggalkan sistim feodalis menjadi negara kesatuan berdemokrasi.
Membaca tepat transisi ke seutuhnya berdemokrasi wajiblah tuntas melepas sistim feodal, tuntutan rancangan pembangunan kebangsaan yang kohesif, budaya romantisme realistik penyongsong patron akal budi obyektif, mensyaratkan norma proporsional atas kinerja, serta memupus patron klien yang berkaitan ewuh pakewuh, turunan budaya patrimonialistik itu.
Di lingkungan feodalisme posisi perempuan sangat rendah terhadap laki-laki. Terutama di strata atas feodal, yang menular ke masyarakat bawah, warga yang malang, lelaki dan perempuan terhisap yang sesungguhnya cenderung hidup setara karena kerja produktif terhisap secara bersama.
Ibu Megawati, mantan Presisen RI ke-5, dalam pidatonya saat ultah PDIP ke-50, 10 Jan. 2023, memuji para patriotik perempuan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Beliau menunjukkan keharusan kesetaraan perempuan terhadap lelaki demi kebutuhan memajukan zaman dengan wajar harus memupus budaya feodalisme. Nampaknya memberi sinyal untuk Puan Maharani, putrinya sendiri.
Apakah pandangan ibu Megawati itu berlandaskan pendirian feminisme yang digaungkan kaum hak azasi manusia borjuis Eropah, seperti kaum politisi etik Belanda yang berpengaruh kuat atas ibu Kartini?
Kaum pembela hak asasi perempuan dewasa ini umumnya bertolak dari kesetaraan yang dibangkitkan oleh pengertian Hawa berasal dari rusuk Adam yang diaktualisasikan keliru.
Berhubungan Hawa berasal dari rusuk, jakni sedikit bagian organ tubuh Adam mencerminkan derajatnya perempuan inferior terhadap lelaki. Perihal genetik demikian mahkota strata feodalisme di sektor konteks gender, memunculkan kesetaraan gender berupa perjuangan oleh feminisme borjuasi Eropah.
Padahal terjemahan Hawa dibentuk dari tulang rusuk Adam itu, salah. Terjemahan rusuk itu dalam kitab suci bahasa Indonesia, disadur dari bahasa Inggris. Sedang dari bahasa aslinya Ibrani atau Yunani, diksi itu seharusnya diterjemahkan samping atau sisi tubuh, ruang samping tubuh Adam bukannya rusuk. Memang diksi aslinya itu hanya sesekali dapat disebut (metafora) rusuk dalam Panteuch /Taurat Jahudi dengan yang disebut teks Masorah atau dalam bahasa Yunani dinamai Vulgata.
Terjemahan salah dalam bahasa Inggris menyebabkan kesalahan interaksi gender dalam kesadaran manusia, hampir di seluruh dunia. Tidak kecuali di Indonesia.
Sejatinya Allah membentuk Hawa dari (ruang) sisi keseluruhan tubuh Adam. Dengan demikian sejak mulanya Hawa dibentuk setara dengan Adam. Hal itu terbukti demikian pada teks ayat-ayat berikutnya.
Ibu Megawati menggaung pujian untuk para patriotik perempuan itu, mungkin masih dalam kerangka budaya patrimonialistik atau kaidah feminisme, produk budaya borjuasi Eropah.
Budaya patrimonialistik itu berdampak menahan kondisi statusguo sisa-sisa feodalisme, menjegal keterbukaan meraih kerinduan zaman realistik yang sementara ini sedang kita gumuli keras.
Budaya patrimonialistik itu pula menjuruskan demokrasi yang terdapat dalam PDIP. Ditentukan peran absolut seolah bukan insidentil budaya pilihan oleh ibu Megawati satu-satunya penentu capres PDIP.
Hukum perkembangan kehidupan masyarakat itu obyektif meminggirkan subyektivisme kelompok ataupun perorangan, mengenyahkan intoleransi, untuk menancapkan egaliter mayoritas masyarakat produktif, sebagaimana bung Karno menyatakannya dalam lima sila Pancasila 1 Juni 1945, memanggil kita lebih pandai bijaksana, meretas kebodohan.
Kisaran, 19 Januari 2023
* Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik