YOGYAKARTA- Permukiman murah beralas Sultan Ground (SG) menjadi perhatian Sri Sultan HB X menyusul tingginya harga tanah dan keterbatasan lahan.
Harga sewa rumah dan kos kamar hampir 40 persen dari penghasilan. Ketika orang luar Jogja bisa beli, orang Jogja sendiri malah tak punya rumah.
Inventarisasi lahan SG yang kosong dan layak huni sesuai peruntukan tata ruang ditujukan mengatasi kemiskinan ekstrem. Terlebih kawasan kampung padat KK yang umumnya mendiami tak jauh dari bantaran sungai.
Menurut R. Yuli Kisworo, perumahan gotong royong berbasis komunitas warga miskin dapat menerapkan desain kampung susun dan kampung deret.
“KK gendong atau panambahan 3 hingga 4 KK dalam satu rumah yang menganut etos harmoni dan guyub kata Ngarso Dalem hendaknya menjadi prioritas program Pemprov DIY,” kata pegiat ARKOM, perkumpulan arsitektur komunitas di Yogya beberapa waktu lalu.
Terbatasnya akses permukiman layak, aman dan terjangkau bagi warga berpenghasilan rendah menambah beban kota saat persebaran penduduk miskin tak diikuti tata ruang berkeadilan dan partisipatif. ARKOM menggagas perumahan gotong royong sebagai terapan “magersari gaya baru” mewujudkan transformasi budaya bermukim kampung bantaran kali.
Selama ini harapan akan keamanan bermukim bukanlah impian kosong bagi masyarakat berpenghasilan rendah seiring keresahan Sri Sultan HB X menanggapi lonjakan mahalnya harga tanah.
Warga mengorganisasi diri melalui Paguyuban Kalijawi dalam 22 kelompok di kawasan pinggir kali Winongo dan Gajahwong dengan membentuk Koperasi Perempuan.
Ainun Murwani, pengurus Paguyuban, mengakui rata-rata rumah tinggal anggota memiliki luasan kurang dari 36 meter persegi dan kadang harus berbagi dengan 2 atau 3 KK di dalamnya.
“Ada 120 KK gendong tercatat dalam Paguyuban Kalijawi dan tentu saja jumlahnya jauh lebih banyak lagi di kalangan keluarga miskin lainnya yang belum bergabung”, kata Ainun.
Ditegaskan Yuli Kisworo bahwa model perumahan gotong royong berbasis pemanfaatan tanah SG tidak bersifat perorangan melainkan kelompok atau gabungan para penerima manfaat secara kolektif. Tabungan komunitas yang dikelola oleh badan hukum berbentuk koperasi menjadi salah satu sumber pembiayaan kelompok dalam penataan permukiman yang partisipatif.
Perumahan gotong royong pasti kolaboratif melibatkan multipihak. Selain unsur pemerintah, juga terdapat unsur komunitas, privat atau swasta, dan kalangan universitas.
“Model ini jadi terobosan kontekstual menjawab kebutuhan penataan kawasan mukim mirip translok namun tetap mengindahkan keberlanjutan sosial ekonomi warga”, pungkasnya. (Hari Subagyo)