Keseriusan Pemerintahan Presiden RI, Joko Widodo untuk mengadakan dialog damai yang inklusif semakin mendesak untuk segera dilakukan, sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan semua persoalan Papua. Amon Beroperay, SH, seorang aktivis HAM dan Advokat menulis di FaktaNews.com tentang ‘Pentingnya Dialog Papua: Suatu Renungan’ dan disebar seorang tokoh Papua, Freddy Numberi di jaringan Tokoh Indonesia Timur. Bergelora.com memuat ulang untuk pembaca. (Redaksi)
Oleh: Amon Beroperay, SH
PROSES perdamaian di Aceh dapat dirujuk sebagi pembelajaran atau resep untuk dapat dipertimbangkan dalam proses dialog Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), yaitu:
Pertama, pentingnya dialog inklusif sesuai dengan ketentuan maupun hukum yang berlaku. Perdamaian tidak dapat dinegosiasikan semata-mata di antara teman dan di antara institusi hukum yang ada. Organisasi ilegal dan orang-orang yang diasingkan harus disertakan dalam proses tersebut. Bahkan solusi sempurna pun tidak akan berhasil kecuali jika dinegosiasikan dalam proses yang diakui oleh semua pihak.
Kedua, kebutuhan akan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan di Papua yang baik dan bersih (good and clean governance) serta koheren dan praktis.
Ketiga, menciptakan nilai-nilai mekanisme, termasuk pemantauan internasional bila diperlukan, agar dapat memastikan pelaksanaan penyelesaian yang dinegosiasikan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan (accountable).
Keempat, pentingnya pihak luar yang dapat dipercaya sebagai mediator (penengah) dalam menyelesaikan “sengketa” yang ada.
Kelima, kegunaan dalam menyesuaikan persyaratan kesepakatan setelah secara demokratis memilih perwakilan masyarakat Papua sesuai 7 wilayah budaya yang ada serta diikutsertakan dalam dialog. Inilah resep untuk kepemilikan (sense of belonging) dan kepatuhan (obedience) masyarakat terhadap masalah maupun “sengketa” yang ada disesuaikan dengan situasi terkini di Papua.
Keenam, kebutuhan akan perubahan pendekatan dalam sistem politik nasional untuk mewujudkan kesepakatan bersama dalam semangat demokrasi yang berazaskan Pancasila harus tercermin bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Ada tiga aspek pendekatan Aceh, yang tidak bisa diterapkan di Papua. Dalam dua yang pertama, seseorang dapat menggunakan pelajaran yang dipetik dari proses konsultasi Papua pada tahun 2000-2001 terkait dengan penyusunan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua.
Aspek-1, Gerakan perlawanan di Papua kurang terorganisir daripada perlawanan di Aceh. Oleh karena itu, mekanisme khusus harus dibangun untuk komunikasi konstruktif antara negosiator Papua dan konstituen mereka. Mekanisme ini juga bisa memecahkan beberapa masalah yang dihadapi proses perdamaian seperti Aceh. Konsultasi khusus dan komite khusus dapat digunakan sebagai lapisan kedua perundingan, seperti yang dilakukan juga pada konsultasi otonomi khusus tahun 2000-2001 di Papua.
Aspek-2, Karena beragamnya perspektif dalam gerakan perlawanan Papua, representasi Papua oleh satu tim tidak realistis. Tidak seperti di Aceh, sebagian besar oknum pejabat dan pemimpin Papua cenderung apatis terhadap gerakan perlawanan. Dengan demikian, lembaga resmi seperti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bisa digunakan dalam proses dialog Papua. Pada saat yang sama, tidak realistis bila tidak mengikutkan perwakilan dari elemen “kelompok separatis”. Karena pejabat Papua harus menjauhkan diri dari unsur-unsur “separatisme”, dimana mereka tidak dapat memobilisasi atau mengendalikan “kelompok separatis” tersebut.
Dengan demikian dialog di Papua harus melibatkan setidaknya dua aktor payung Papua, yaitu:
a. Majelis Rakyat Papua, sebagai organisasi hukum dan representasi kultural yang memiliki akses mudah dan langsung ke masyarakat Papua biasa; dan
b. Organisasi payung “kelompok separatis”, yang juga bisa memasukkan unsur-unsur yang paling ekstrem (fanatik), termasuk oknum yang dinobatkan sebagai “pemimpin kelompok separatis” yang diasingkan.
Aspek-3, Mengingat, tingkat perkembangan ekonomi di Papua yang rendah, dan karena banyak masalah dalam pelaksanaan kesepakatan akan berbenturan dengan kenyataan ekonomi, maka diperlukan keterlibatan investasi dalam membahas modalitas untuk pelaksanaan kesepakatan.
Papua membutuhkan bantuan pembangunan dalam semua aspek kehidupan untuk mencapai perdamaian yang adil, bermartabat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang asli Papua secara permanen.