Gizi buruk di perkampungan Asmat, Papua telah menggerakkan relawan untuk ikut turun tangan mengatasi berbagai masalah kesehatan di Asmat. Salah satunya adalah Baguna (Badan Penanggulangan Bencana) DPP PDI Perjuangan yang dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning P AAK, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Petrus Hari Hariyanto S.I.Kom, Tenaga Ahli di DPR RI melaporkan kerja Baguna kepada Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Petrus Hari Hariyanto S.I.Kom
KABUPATEN Asmat yang terkenal dengan masyarakat Asmatnya, adalah sebuah keindahan. Di sana lahir seni ukir tingkat tinggi, dengan karya Patung Asmat-nya. Menjadi destinasi wisatawan yang indah, yakni Taman Nasional Lorenz, di Distrik Swa Erma. Atau wisata budaya yang terkenal dengan Pesta Budaya Asmat, di Distrik Agats. Serta kehidupan Suku Asmat yang ada di 12 rumpun di 19 Distrik. Atau pengalaman berwisata Adventure dan Rumah di atas Pohon di Distrik Suator.
Sejak isu kematian Balita yang mencapai angka 62 orang di Asmat secara beruntun diangkat oleh media massa, membuat perhatian masyarakat luas tertuju ke sana. Dan terbukalah kondisi sebenarnya, di balik keindahan ternyatatersembunyi kehidupan masyarakat yang memilukan. Adalah Ribka Tjiptaning sibuk menyiapkan Baguna (Badan Penanggulangan Bencana) DPP PDI Perjuangan untuk dikirim ke Kabupaten Asmat yang sudah dinyatakan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) wabah campak.

“Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memerintahkan kami untuk untuk melakukan misi kemanusian ke daerah yang sedang dilanda wabah campak dan gizi buruk itu,” ujarnya ketika menyampaikan pembekalan Tim Baguna DPP PDI Perjuangan yang terdiri dokter dan perawat.
Pada Hari Rabu tanggal 14 Januari 2018, di Markas Besar mereka di Lenteng Agung, Tim Baguna yang berjumalah 9 orang dilepas keberangkatannya oleh pimpinan mereka, Ribka Tjiptaning. Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana itu memberi semangat kepada anggota tim.
“Kalian harus solid. Jangan ada diantara kalian merasa menjadi bos diantara lainnya. Bergotong-royonglah, dan laksanakan perintah Ketua Umum agar mampu membawa missi “menangis dan tertawa bersama rakyat di Asmat,” ucapnya dengan tegas.
Salah satu anggota tim, Martama mengatakan tim sampai di Timika pada tanggal 25 januari 2018.”Kami tidak bisa melanjutkan penerbangan ke Bandara Ewer, Kabupaten Asmat, karena tidak ada pesawat yang kosong. Baru tanggal 26 kami berhasil mencapai Bandara tersebut,” ujar perempuan bertubuh subur itu.

Rombongan Baguna yang dipimpin Dewi Kencana itu, setibanya di Bandara Ewer harus melanjutkan ke Ibukota Kabupaten, Agats, dengan menggunakan speed boat. “Kami harus mengarungi sungai selama satu jam untuk sampai di Agats, tempat Posko Utama KLB (Kejadian Luar Biasa) yang didirikan oleh Pemerintah Kabupaten Asmat,” ujar Martama.
Setelah diterima oleh Bupati Asmat, Baguna langsung membuat perencanaan program yang harus dilakukan di sana. Tim dibagi dua, satu dikoordinir oleh Martama untuk Distrik Atsj, sedangkan ke Distrik Fayid dipimpin Dewi Kencana. Dari 23 distrik, tim pertama ini hanya fokus dua distrik karena daerahnya yang luas dan medan sangat sulit.
Dari 23 distrik di Kabupaten Asmat, hampir semuanya terdiri dari rawa dan bersungai-sungai. “Mereka hidup dan bertempat tinggal di atas air payau. Bila surut mereka baru bisa melihat daratan yang berlumpur, dan bila pasang semua daratan tenggelam,” ujar Martama dengan nada terheran-heran.
Rumah mereka adalah rumah panggung, agar terhindar dari air. Rumah terbuat dari bamboo, kayu dan atapnya dari jerami. Sebagian masyarakat tinggal dalam rumah adat yang mampu menampung 200 sampai 300 orang. Bagi mereka yang sudah berkeluarga dan lumayan mapan, mereka tinggal di rumah terpisah. Hampir tidak ditemukan Polisi lalu-lintas di sana , karena tidak ada jalan daratan, kecuali di Ibukota Kabupaten di Agats.

Jalan daratan hanya berupa jalan panggung, terbuat dari papan. Hanya ada di sekitar perkampungan. Untuk pergi ke perkampungan lain, mereka harus menyusuri sungai dengan sampan, atau spead boat bagi yang mampu menyewa. “Seringkali jalan panggung itu rusak, hilang beberapa papannya. Ada sebagian berubah menjadi kayu bakar tak kala sebagian dari mereka malas mencari kayu bakar di hutan,” ujar Alexander DS aktivis Baguna yang ikut dikirim ke Asmat pada rombongan pertama.
“Ketika harga BBM mencapai di atas Rp 50 ribu, sebulan sekali mereka pergi berbelanja ke ibukota. Itupun kalau kapal fery datang atau kapal dari Surabaya tiba di sana. Mereka bisa berbelanja sembako. Kini setelah Presiden Jokowi menetapkan satu harga BBM secara nasional, mereka boleh bernafas lega karena ongkos angkutan spead boat turun cukup signifikan, walau tetap terasa mahal,” ungkap Martama, aktivis Baguna yang sudah berpengalaman mengadakan pengobatan gratis massal ini.
Selain berbelanja Sembago, ke Ibu Kota Kabupaten untuk menjual ikan dan sagu. “Hanya itu yang bisa dijual, karena mata pencaharian mereka mencari ikan dan mencari sagu. Tanpa ada daratan mereka tidak bisa menanam sayur dan dan tanaman lainnya. Tidak banyak yang mempunyai kemampuan membuat kerajinan tangan. Kalau ada pun produksinya skala kecil sekali. Saat Baguna ke sana belum menjumpai Suku Asmat yang mampu membuat patung kayu dengan ukiran indah yang terkenal itu.
Hasil hutan mereka selain kayu dan sagu, ada satu lagi yang sangat bernilai yakni Kayu Gaharu. Tumbuhan surga, ada orang yang menyebut begitu untuk kayu yang sangat mahal ini. Kayu Gaharu merupakan sejenis kayu berwarna kehitaman yang mengandung resin khas (resin adalah kandungan dalam getah pohon). Resin tersebut ternyata dihasilkan dari mikroba berjenis fusarium sp, yang membuat harganya tinggi. Pohon Gaharu mampu tumbuh sampai puluhan tahun dan berdiameter rata-rata 40 hingga 60 cm.
“Harganya mahal, tapi sayang mereka hanya menjadi orang upahan dari pendatang, untuk mencari kayu itu. Masyarakat di sana tidak tahu cara menjual kepada siapa sehingga bisa memperoleh penghasilan dari menjual bukan hanya upah harian, Tetaplah mereka menjadi miskin.” ujar Alexander DS.
Bisa dibayangkan sebuah masyarakat yang tidak mampu mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, karena mereka tidak bisa produksi. Kalaupun ada harganya mahal, dan mereka tak mampu. Rata-rata anak-anak mereka bertelanjang. “Kalaupun ada keluarga yang berpakain, mereka bergantian memakainya. Hari ini kakaknya, dan besuk dipakai adiknya,” ujar Martama lagi dengan nada sendu.
Ada lagi yang membuat kita mengelus dada, saat tidak turun hujan mereka meminum air rawa. Air payau itu langsung diminum tanpa dimasak dahulu. Tak ada sumur resapan, atau sumber air bersih, selain air hujan. Air mineral ukuran gelas harganya Rp5 ribu, sedangkan ukuran 600 ml bisa mencapai Rp 15 Ribu. Mengolah sagu pun menjadi kendala ketika tidak ada air hujan. Akhirnya mengolah sagu dengan air ludah mereka.
“Cara seperti ini membuat masyarakat di sana sering mengalami radang pencernaan dan cacingan, serta diare. “Gizi buruk yang terjadi merupakan perpaduan kurangnya konsumsi kalori dan protein karena kemiskinan, juga karena pengetahuan mereka tentang pengolahan makanan dan minuman yang sangat buruk. Bahkan untuk anak-anak diperparah dengan cacingan, karena tanpa alas kaki dan bermain di lumpur, karena tidak punya ruang bermain di daratan.” ungkap dokter Eddy Faizar yang ikut dalam rombongan itu.
Tehnologi mengolah makanan mereka juga sangat sederhana sekali. Mengolah sagu dan membakar ikan hasil tangkapan mereka. Cara masaknya juga tidak higienies. Makanan yang dimasak dengan rupa-rupa jenis hanya bisa di dapat di Ibukota Kabupaten. “Penjualnya adalah pendatang dari Makasar. Untuk membelinya butuh biaya naik speed boat yang mahal. Dari distrik yang paling dekat dengan Agats, satu orang bisa dikenai biaya naik spead boat sebesar Rp 300 ribu. Yang terjauh bisa satu orang dikenai biaya sampai satu juta.
“Itu sekarang, ketika Jokowi sudah menurunkan harga BBM. Bisa dibayangkan mahalnya waktu harga BBM di atas Rp 50 ribu,” ujar Steven Simanungkalit.
Sebuah masyarakat yang sedikit sekali bersentuhan dengan peradaban masyarakat luar. Selama di dua distrik itu, Baguna tak pernah menemukan masyarakat asli di sana mempunyai televisi dan media cetak. Apalagi media yang berbasis tehnologi internal, tak ada sama sekali di sana. Komunikasi dengan internet pun, hanya ada di Ibukota Kabupaten.
“Hand phone saya mati selama ada di distrik,” ujar Alexander.
Walau sekolah ada, tapi terpusat di Ibukota Kapubaten. Sangat kekurangn guru dan prasarana sekolah. Ditambah budaya mereka bila orang tua mereka bekerja selalu membawa hampir semua anaknya mencari ikan dan pergi ke hutan mencari sagu. “Budaya mereka tidak mengenal pembatasan jumlah anak. Rata-rata satu keluarga mempunyai anak paling sedikit 3 dan bisa di atas delapan anak. Suami mereka melarang istri KB. Kalau ada yang KB, sang istri sembunyi-sembunyi dari sang suami,” ujar Marcelia aktivis Baguna yang juga relawan sosial yang merawat orang gila di jalanan.
Pelayanan Kesehatan
Setiap Distrik mempunyai satu Puskesmas. Hanya ada empat dokter di 23 Puskesmas yang ada di sana. Rumah sakit hanya terdapat satu, dan terletak di Ibukota Kabupaten. Minimnya prasarana kesehatan dan tenaga kesehatan, menyebabkan minimnya pelayanan kesehatan di sana. Apalagi soal tindakan preventi dan promotif. “Masyarakat di sana sangat tidak mengerti kesehatan. Itulah salah satu faktor utama merebaknya penyakit campak dan gizi buruk,” ungkap dr. Steven.
“Bagaimana mau imunisasi, setiap mereka bekerja, hampir semua anaknya dibawa. Baik ke sungai dan laut mencari ikan, atau ke hutan untuk mencari sagu dan Kayu Gaharu. Ketika siang hari, petugas kesehatan dari kabupaten tidak menemukan anak untuk di imunisasi,” ujar Martama.
Bila Puskesmas merujuk ke RSUD Agats, sangat terkendala dengan biaya perjalanan. Puskesmas memang mempunyai ambulance air, tetapi biaya dibebankan kepada pasien. BBM di sana walau sudah turun harganya tetapi langka. Tidak setiap saat tersedia, harus menunggu beberapa waktu untuk mendapat kiriman.
“Ketika Tim Baguna merujuk seorang pasien Ke RSUD di sebuah Puskesmas, uang beli BBM dibebankan Baguna. Lumayan mahal untuk menempuh dua jam perjalan ke RSUD di Ibukota Kabupaten,” ujar Martama.
Selain kendala sarana angkutan, jumlah dokter yang minim menyebabkan Puskesmas tidak melakukan jemput bola. Puskesmas hanya menunggu pasien datang berobat ke Puskesmas.
“Akhirnya masyarakat lebih percaya kepada pengobatan alternatif. Bila sakit kepala mereka melukai kepalanya agar darah kotor penyebab sakit kepala keluar,” ungkap Martama.
Selain membantu Puskesmas yang tidak ada dokternya, Baguna langsung mendatangi tempat kediaman pasien untuk melakukan pengobatan langsung. Untuk yang sakit campak bisa diobati, Baguna langsung mengobatinya. Bagi yang parah dokter-dokter Baguna mengambil inisiatif merujuk ke RSUD. Bukan hanya campak, penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) mendominasi di sana.
Selain menyusuri satu persatu ke rumah-rumah untuk menemukan gizi buruk, para dokter Baguna meminta setiap bertemu dengan ibu yang mengendong anaknya untuk bisa memeriksanya.
“Ketika digendong dengan kain sang bayi tidak ketahuan kalau dia mengalami gizi buruk.Setelah gendongan dilepas, dan sang bayi diletakan di tempat tidur, kami sering tercegang karena bayi itu kurus sekali. Hanya kulit yang membalut tulangnya,” ujar dokter Steven yang sedang menyelesaikan S2-nya itu.
Dan yang tidak kalah pentingnya, memberi penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
“Kami memberi pengertian agar masyarakat memasak air yang akan diminumnya. Selain sering terkena infeksi, rata-rata anak-anak mengalami cacingan karena bermain di lumpur rawa. Kita juga mengajari mereka memasak makanan dengan benar. Tentu saja kita memberi obat cacing secara massal. Dan hal seperti ini akan kita rekomendasikan agar setiap enam bulan sekali anak-anak diberi obat cacing,” ujar dr. Steven Simanungkalit.
Selain memberi biskuit bergizi, Baguna juga membagikan bubur kacang hijau ke tiap rumah adat yang rata-rata dihuni oleh 200 sampai dengan 300 orang. Pemberian biskuit untuk ibu hamil, biskuit untuk anak sekolah, dan MP ASI (Makanan Pendaping Air Susu Ibu.
“Pemberian biskuit ini juga akan kami rekomendasikan ke Baguna Pusat agar dikirim berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama melalui Baguna DPC PDI Perjuangan Asmat.,” ujar Dewi Kencana.
Apa yang dilakukan Baguna ini memang belum mampu menyelesaikan problem yang ada. Paling tidak, Baguna mampu memetakan masalah di sana. Persoalannya bukan hanya kesehatan dan gizi buruk semata. Ketertinggalan di semua bidang, mungkin kesimpulan yang tepat untuk menganalisa masalah di sana. Dalam kapasitasnya, Baguna hanya ingin fokus di kesehatan, bukan hanya pelayanan kesehatan saja, tapi juga mendorong perubahan cara berpikir masyarakat tentang menjaga kesehatan.
Dalam Konfrensi Pers yang diadakan oleh Fraksi PDI Perjuangan di DPR, tanggal 15 Februari 2018, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana, dr. Ribka Tjiptaning P AAK menyatakan kepada wartawan bahwa Kemenskes harus mempunyai komitmen tinggi menyelesaikan persoalan masyarakat Asmat. Sesuai Tupoksinya, Menteri Kesehatan harus membuat terobosan dengan mengirim dokter dan membangun sarana kesehatan lebih layak lagi.
“Jangan Hanya dalam KLB ini mereka mengirim dokter. Harus jangka panjang,” tegasnya.
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri juga sudah menginstrusikan kepada Baguna untuk melakukan program jangka Panjang.
“Baguna harus juga melakukan pemeliaharaan kesehatan anak, setiap enam bulan sekali memberi obat cacing kepada mereka. Harus memberikan penyuluhan bagaimana masyarakat untuk selalu memasak air yang akan diminum. Memberi penyuluhan masyarakat di sana untuk mengolah makanan dengan bersih dan sehat.Mendorong perubahan pola perilaku anak-anak agar selalu memakai alas kaki. Baguna harus berkelanjutan mengirimkan bantuan biskuit untuk ibu Hamil, biskuti untuk anak sekolah, dan MP ASI(Makanan Pendamping Air Susu Ibu) melalui Baguna Wilayah dan Cabang di sana,” pungkas Ribka.
Tugas Baguna DPP PDI Perjuangan gelombang pertama telah usai, dan gelombang kedua sudah diberangkatkan ke Asmat pada tanggal 24 Februari 2018 yang lalu. Kita tunggu hasil kerja dan evaluasi kerja mereka.