JAKARTA- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi daerah hadir dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini untuk memberikan keterangan kepada MK mengenai permohonan uji materi yang diajukan Pemerintah dan DPRD Jawa Timur sesuai nomor perkara 11/PUU-XIV/2016. Ini merupakan Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (4/4)
DPD yang melalui Parlindungan Purba Ketua Komite II dan Nono Sampono anggota Komite I DPD hadir dan memberikan keterangan kepada MK dan berharap MK dapat mempertimbangkan apa yang diajukan oleh Pemohon.
“Salah satu alasanya adalah legal standing pemohon jelas yaitu Gubernur dan DPRD Jawa Timur, kemudian persoalan sangat substansial yaitu kenginan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai Undang-Undang.” Ujar Nono Sampono.
Senada dengan pernyataan tersebut Parlindungan Purba menghargai sikap dari MK yang tidak segan-segan untuk mengundang DPD dalam menyatakan sikap terhadap permasalahan daerah.
“Kami menghargai sekali MK yang melihat bahwa ini adalah ranah dan kewenangan DPD, dan ke depan akan terus mengundang DPD untuk dimintai pendapat dan keterangan mengenai persoalan-persoalan yang diajukan ke MK yang berkaitan dengan daerah,” tukasnya.
Salah satu hakim MK Patrialis Akbar menyatakan bahwa DPD mempunyai kewenangan yang besar dalam mewakili kepentingan daerah, oleh karena itu dalam sidang-sidang MK yang berkaitan dengan daerah MK akan mengundang DPD.
“Kewenangan DPD kepada daerah itu besar, bahkan permasalahan bisa langsung dibawa dari daerah ke pusat, oleh karena itu kami perlu ketegasan DPD dalam menjalankan kewenangannya, salah satunya saat ini,” tegas Patrialis usai mendengarkan keterangan dari DPD.
Pada Sidang tersebut Pemohon yaitu Pemerintah Jawa Timur merasa dirugikan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) huruf b, Paal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU Panas Bumi yang berisikan bahwa kewenangan pemanfaatan tidak langsung panas bumi meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, Kawasan hutan konservasi, dan wilayah laut berada pada Pemerintah Pusat. Pemohon juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan yang memuat pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan daerah Kabupaten/Kota, yang di dalamnya menyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota hanya sebatas menerbitkan izin pemanfaatan langsung panas bumi. Dengan alasan-alasan tersebut pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Inti dari persoalan ini adalah keinginan daerah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengelola dan memaksimalkan potensi sumber daya yang dimiliki. Namun semenjak berlakunya ketentuan a quo pengelolaan panas bumi hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat, sehingga menurut pemohon ini bertentangan dengan prinsip otonomi yang diberikan kepada daerah. (Enrico N. Abdielli)