Kamis, 17 Juli 2025

Muhasabah Kebangsaan: Merawat Jejak Sejarah, Menjaga Jatidiri

Kota Tua Langzhong, China (Ist)

Oleh: Al-Zastrouw

Selain menjaga tradisi dan budaya para leluhur, Pemerintah China juga merawat berbagai bentuk peninggalan sejarah seperti yang terlihat di kota tua Langzhong ini. Sehingga rakyat China bisa mengenali jati dirinya, bisa mengetahui kebesaran para leluhurnya. Dengan cara ini maka tumbuh rasa percaya diri di kalangan anak muda dan mereka bangga menjadi bangsa China. Untuk itu Bergelora.com menurunkan tulisan lengkap budayawan Gus Durian, Al-Zastrouw dalam kunjungannya ke Langzhong, China. (Redaksi)

Pada hari ke 5 festival Nanchong, 5 juni 2017,  kontingen Indonesia  berkesempatan melakukan jalan2 ke kota tua Langzhong. Kota ini terletak di bagian timur laut Sichuan dan berada di bagian tengah lintasan sungai Jialing.

Langzong dikenal sebagai salah satu dari empat kota tua di China, tiga yg lain adalah kota tua Pingyau, Lijiang dan Huizou. Kota yang memiliki sejarah 2300 tahun ini merupakan tempat pertama kali ditetapkan tahun baru China.

Sebagai bukti sejarah, di sini terdapat menara teropong  bintang yg dibangun unt mengenang ahli penanggalan China,  Luo Xia Hung yg hidup pada masa dinasti Han (202 SM-9 M). Hung merupakan ahli astronomi yg berperan besar dalam ilmu astronomi dan penanggalan China.

Langzhong merupakan ibu kota imperium Ba kuno (476-221 SM). Pada masa kerajaan Huiwen dari dinasti Qim (221-207 SM) di sini dibangun sistem administrasi dan tata negara. Sejak saat itu kota ini menjadi acuan dalam penerapan tata negara dan sistem administrasi.

Kota ini memiliki keragaman budaya. Di sini berkembang falsafah Feng Sui, sejarah tiga kerajaan besar China, dimulainya festival musim semi, cikal bakal terbentuknya imperium kuno dan tumbuhnya berbagai macam agama dan keyakinan.

Suasana kota sangat nyaman dan tentram. Di sini ada kuil Zang Fei yg juga dikenal sebagai kuil Huan Hou. Kuil ini memiliki sejarah 1700 tahun dan menjadi saksi sejarah tiga kerajaan besar. Oleh Zanfei kuil ini pernah dijadikan benteng unt menjaga Langzhong selama tujuh tahun. Banyak korban saat membangun kota gersebut dan setelah dia meninggal dijadikan monumen unt mengingat perjuangannya.

Di sini juga ada kuil Kong Hu Chu (Wenmiao),  kuil bersejarah dan menjadi situs budaya. Kuil ini sdh ada sejak dinasti Qin, tempat guru agung Kong Hu Chu disemayamkan. Di tempat ini setiap tahun diselenggarakan upacara agung unt mengenang pemikir dan pnedidik Kong Hu Chu.

Kota Tua Langzhong, China (Ist)

Penulis berjalan kaki memasuki llorong jalan yg bersih dan asri. Sampai di suatu tempat menulis melihat bangunan tua yg indah dan rapi. Itulah paviliun Tengwang, suatu komplek  para pangeran. Paviliun ini dibangun atas permintaan pangeran Tengwang, putra ke 22 kerajaan Goazu, Li Yuan dari dinasti Tang. Bangunannya khas gaya Tang. Bangunan ini merupakan tempat berkumpul para pesohor, ilmuwan, penulis untuk ngobrol dan berdiskusi mengenai berbagai karya akademik, musik dan seni.

Dari tepian sungai Jialing terlihat bukit yg berada tepat di seberang kota tua. Di puncak bukit itu terlihat bangunan pagoda. Bangunan ini disebut  kisah 13 menara pagoda putih. Pagoda ini dibangun pada masa akhir dinasti Ming  ( 1271-1368 M). Jika naik ke atas bukit dan berdiri di halaman Pagoda, maka keindahan panorama kota tua Langzong akan terlihat secara menyeluruh.

Suasana kota ini benar2 nyaman. Kami bebas berjalan tanpa diganggu oleh pedagang asongan atau ditawari aneka souvenir. Di sepanjang jalan memang penuh kios pedagang, namun tak ada yg berisik menawarkan dagangannya. Semua dagangan dipajang begitu saja, jika ada yg tertarik unt.membeli baru penjualnya melayani. Dengan demikian para turis bisa menikmati suasana scr nyaman tanpa gangguan.

Di suatu gang yg letaknya sedikit di luar komplek kota tua penulis melihat bangunan tua yg besar dan antik dengan halaman yg luas. Di tepian halaman itu berdiri bangunan dengan beberapa kamar. Di pintu gerbang ada sekelompok orang berkopyah putih sedang berbincang. Penulis mendekati org2 tsb dan masuk ke area bangunan. Ternyata bangunan itu adalah masjid.

Sampai di dalam ada seorang anak muda usia 30an tahun memakai kopyah putih, penulis mengucapkan salam. Pemuda tersebut kaget, dengan sorot mata berbinar dia langsung menjawab salam. Kami saling berkenalan. Rupanya  dia adalah imam di masjid tersebut.

Wajah pemuda tersebut makin ceria ketika tahu kami dari Indonesia. Dia menyambut kami dengan akrab dan hangat. Kami berbicara dlm bahasa Arab karena dia sama sekali tdk bisa bhs Inggris. Sayanga bahasa Arabnya hanya satu dua, sehingga penulis tdk bisa menggali informasi bh dalam mengenai sejarah masjid tersebut. Sedangkan penterjemah kami sedang keling bersama rombongan yang dipimpin pak Samodra, presiden UNIMA Indonesia. Penulis memang sengaja  memisahkan diri dari rombongan agar bisa lebih leluasa menjelajah.

Meski dg kosa kata terbatas dan agak terbata bata, penulis berhasil mengorek informasi bahwa di komplek kota tua itu ada sekitar 500an ummat muslim. Tdk ada madrasah di sana karena pemerintah melarang mendirikan pendidikan agama. Pengajaran agama Islam hanya dilakukan di Masjid.

Penulis benar2 kagum dg kemitmen meislaman mereka. Dalam situasi yg minim fasilitas dan di tengah kepungan arus materialisme yg kuat mereka bisa bertahan dalam keimanan.

Penulis merasa beruntung karena dalam perjalanan menjelajah lorong2 kota tua ini ditemani oleh mas Sapta,  salah seorang pegawai BCA. Salah satu perusahaan yg menjadi sponsor UNIMA Indonesia dalam mengikuti event ini. Kebetulan mas Sapta mempunyai hoby fotografi, sehingga perjalanan kami di kota tua bisa diabadikan lewat gambar2 yang menarik. Meski masih mengaku sbg fotografer amatir namun hasil jepretan mas Sapta tdk kalah dg yg profesional

Penulis merasa, kedatangan UNIMA Indonesia ke China kali ini tdk sekedar mengikuti festival International Puppet Art Week, tapi juga merupakan perjalanan budaya (rihlah staqafah/cultural jurney) yang penuh makna dan memiliki arti penting bagi kehidupan berbangsa. Kerena ada pelajaran penting yg bisa diperoleh dari pejalanan ini

Tetus terang penulis kagum pada pemerintah dan masyarakat China. Mereka tdk saja menjaga tradisi dan budaya para leluhur, tetapi juga merawat berbagai bentuk peninggalan sejarah seperti yg terlihat di kota tua Langzhong ini.

Dengan merawat bukti sejarah  masyarakat China bisa melihat dan mengenali jati dirinya, bisa mengetahui kebesaran para leluhurnya. Dengan cara ini maka tumbuh rasa percaya diri di kalangan anak muda dan mereka bangga menjadi bangsa China.

Rasa bangga dan percaya diri ini terlihat dari penggunaan huruf dan bahasa China. Meski kota tua Langzhong adalah komplek wisata internasional namun hampir tidak ada yg bisa bahasa Inggris dan semua informasi menggunakan huruf China. Seolah olah mereka ingin mengatakan bahwa inilah kami, bangsa China. Anda berada di wilayah kami, maka anda harus menggunakan budaya kami. Inilah bentuk rasa percaya diri dan kebanggan mereka pada tradisi dan budaya. Itu tercipta krn mereka faham atas sejarah dirinya.

Apa yg terjadi menunjukkan bahwa globalisasi tdk serta merta menggerus dan melindas lokalitas. Jika masyarakat memiliki daya tahan yang kuat dalam memelihara tradisi dan budaya, memili kesadaran dan pemahaman sejarah diri yg dalam maka globalisasi justru menjadi sarana mengaktulisasikan tradisi dan budaya yg ada dalam menyarakat tersebut dalam konteks global. Pendeknya, globalisasi merupakan kesemlatan unt mengglobalkan yg lokal seperti yg dilakukan oleh China.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk melakukan hal ini. Karena Indonesia memiliki berbagai macam budaya lokal yg eksltik, unik dan menarik bagi masyarakat global baik yg berupa nilai2, kearifan lokal maupun beragam karya seni budaya.

Unt bisa mengglobalkan lokalitas tradisi dan budaya Nusantara diperlukan kepercayaan diri bangsa Indonesia dan hal ini hanya bisa terwujud jika bangsa Indonesia memahami sejarahnya dan mengenali sejarahnya.

Agar Indonesia tidak sesat jalan dalam menghadapi arus glonalisasi dan agat bangsa Infonesia memiliki kepercayaan dan kebanggaan diri maka satu2nya jalan adalah menggali dan memperkenalkan budaya dan trafisi sendiri dan memahami sejarahnya sendiri.

Ini artinya setiap upaya penghancuran tradisi dan budaya lokal serta pengjilangan jejak sejarah harus dicegah dan dilawan karena hal itu berarti penghancuran spirit dan martabat suatu bangsa.

Nanchong, 6 juli 2017

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru