JAKARTA – Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui sedang berada dalam tekanan luar biasa dalam menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG), bahkan muncul ancaman keselamatan jiwa bagi tim pelaksana. Tekanan ini muncul akibat masalah ketersediaan pangan hingga intimidasi dari calon pendaftar mitra dapur.
Pengakuan ini disampaikan oleh Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, Tigor Pangaribuan, saat menghadiri diskusi Food Business Opportunity yang digelar oleh BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025). Tigor mengungkapkan tekanan yang dihadapi sangat di luar prakiraan, terutama menyangkut ketersediaan pasokan.
“Kami semua tengah dalam under pressure, tekanan yang sangat di luar prakiraan ya. Dari 1,1 miliar (porsi makanan) yang sudah di-deliver, 9.200 itu ada masalah (keracunan) dalam kesediaan pangan. Itu menjadi sangat tertekan,” jelas Tigor.
Selain masalah logistik, BGN juga menghadapi tantangan serius dari para pendaftar Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)—sebutan bagi mitra dapur program MBG—yang berusaha lolos seleksi. Padahal, kuota telah melebihi batas penerima manfaat di suatu wilayah.
Tigor menyebut para pendaftar “nakal” ini berusaha bersiasat agar bisa terdaftar sebagai mitra dapur resmi. Ketika BGN memberlakukan aturan tegas dan membatasi jumlah dapur, ancaman pun muncul.
“Saat kami bilang, bapak tidak bisa lebih dari 10 dapur, ancaman ke kami bisa berupa ancaman nyawa, bisa segala macam. Jangan berpikir ini hal yang mudah ya,” terang Tigor.
Ia menekankan perlunya aturan yang keras dan tegas dalam penyaringan calon mitra. “Negara kita itu memang perlu dibuat peraturan yang keras dan tegas. Karena kalau tidak, orang tidak peduli ketika di waktu pengajuan SPPG tidak bisa masuk, jangan lanjut pembangunan dapur,” katanya.
Tigor sendiri mengaku tidak bisa berlama-lama di acara HIPMI hari ini karena harus segera beranjak ke Nanggroe Aceh Darussalam guna memberikan sosialisasi tata kelola kepada SPPG di sana.
Di tengah tantangan tersebut, BPP HIPMI menunjukkan dukungan serius dengan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan BGN. HIPMI akan bertindak sebagai mitra strategis, mengonsolidasikan dan mengembangkan jaringan dapur SPPG. Ketua Satgas Pangan BPP HIPMI, Alvin Kennedy, mengungkapkan bahwa para pengusaha di bawah payung HIPMI sudah lebih awal terlibat sebagai mitra SPPG BGN.
“Tujuan kami adalah mengkonsolidasikan dapur-dapur dari pengurus HIPMI yang sudah ada, dan tentunya mengembangkan lagi dapur-dapur baru ke depannya,” jelas Alvin.
Ia menyebut, yang terdata dan terkonsolidasi sudah mencapai 200 dapur SPPG. Namun, dengan pengurus HIPMI yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, Alvin memperkirakan jumlah riilnya lebih dari 300 dapur.
Keracunan Massal Hantam Reputasi MBG
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai perhatian lebih dari publik dalam beberapa pekan belakangan. Program yang awalnya diharapkan meningkatkan gizi anak sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui tersebut telah memicu kekhawatiran baru karena maraknya kasus keracunan. Reputasi MBG dipertaruhkan.
Sekitar tiga bulan setelah dilantik atau tepatnya pada 6 Januari 2025, Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran mulai menjalankan program MBG sebagai bagian dari janji politiknya. Program ini diharapkan menjawab sedikitnya tiga aspek penting sekaligus, yaitu pemenuhan gizi, mendorong perekonomian nasional, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada medio Agustus 2025 lalu, Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan efek berganda dari penyelenggaraan program MBG. Sekitar 6.000 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah didirikan dengan kolaborasi pengusaha lokal, organisasi masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat, tanpa menambah beban pada APBN 2025. Investasi yang terserap dari masyarakat untuk membangun infrastruktur dapur diperkirakan mencapai Rp 12 triliun.
Nada percepatan penyelenggaraan program pun terdengar dengan 19.000 dapur lain yang telah terbangun dan akan segera beroperasi. Nilai investasi tembus Rp 18 triliun. Secara keseluruhan, perputaran ekonomi dari program ini berpotensi mencapai Rp 50 triliun.
“Setiap satu rupiah yang diinvestasikan mampu menciptakan peredaran uang hingga lima kali lipat,” kata Ketua BGN, Dadan Hindayana di Jakarta.
Realisasi serapan anggaran dan penerima manfaat program makan bergizi gratis (MBG). (Sumber: Kemenkeu)
Hingga tanggal 26 September 2025, lebih dari 1,1 miliar porsi makanan bergizi telah tersaji bagi masyarakat Indonesia.
Menjangkau 28 juta anak sekolah, 920.000 lebih balita, 153.000 lebih ibu hamil, 313.0000 lebih ibu menyusui. Totalnya hampir menyentuh 30 juta orang hanya dalam 9 bulan pelaksanaan, lebih cepat dari negara mana pun di belahan bumi ini, seperti klaim Presiden Prabowo.
Dalam ekosistem MBG, tercatat ada 9.406 SPPG telah beroperasi aktif di berbagai wilayah. Melalui jaringan SPPG inilah, 337.060 lapangan kerja baru tercipta mulai dari petani, peternak, hingga tenaga penyaji makanan.
Percepatan ini tak lepas dari arahan presiden yang meminta program MBG dapat menjangkau hingga 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Padahal target awal hanya 17,5 juta penerima dengan 5.000 dapur pada tahun ini. Misi yang tadinya dirancang untuk jangka menengah, kini berubah semakin ambisius. Tak pelak, timbul kesan seperti terburu-buru yang sayangnya sarat akan masalah.

Kasus Keracunan
Kasus keracunan MBG yang belakangan menyita perhatian publik sebenarnya telah terjadi sejak awal program ini dimulai, seperti yang dialami puluhan korban di Sukoharjo, Jawa Tengah pada Januari, dan Cianjur, Jawa Barat pada April. Jumlah kasus keracunan terus menggulung paralel dengan percepatan program.
Menurut laporan BGN, terdapat sebanyak 6.517 siswa terdampak kasus keracunan MBG di 75 titik di seluruh Indonesia selama periode Januari-September 2025. Secara rinci, kasus di wilayah 1 (Pulau Sumatra) sebanyak 1.307 siswa terdampak, wilayah 2 (Pulau Jawa) ada 4.207 siswa terdampak, dan wilayah 3 (Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) terdapat 1.003 siswa terdampak.
Keracunan tak cuma menimpa para siswa di sekolah tetapi juga penerima manfaat lain. Salah satunya Siti Nuraeni (25), warga Kampung Cigombong, Desa Neglasari, Kecamatan Cipongkor, Bandung Barat, seorang ibu menyusui yang mengaku merasakan pusing mual dan lemas setelah menyantap MBG pada Rabu (24/9/2025).

BGN mengakui telah lalai atas maraknya kasus keracunan massal yang disusul penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) di sejumlah daerah. Namun, BGN juga menyalahkan kelalaian SPPG dalam menjalankan standar operasional prosedur (SOP) di SPPG baru. Ini dapat tercermin bahwa hanya ada 34 dapur pengelola MBG yang telah memiliki Sertifikasi Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) dari ribuan dapur pengelola yang beroperasi setelah sembilan bulan program efektif berjalan.
Tapi kali ini pemerintah merespons dengan serius. Presiden Prabowo langsung memberi perintah penanganan dan pembenahan, usai pulang dari lawatan ke luar negeri di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Sabtu sore, 27 September 2025. Arahan presiden ditindaklanjuti pada hari selanjutnya lewat rapat koordinasi tingkat menteri.
Poin utama yang dihasilkan dalam rapat itu adalah keselamatan anak jadi prioritas, evaluasi menyeluruh terhadap BGN, dan menutup SPPG bermasalah.

Selain itu, mewajibkan SPPG untuk segera mengantongi tiga sertifikasi, antara lain Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), serta Sertifikat Halal.
Guru Besar Pangan dan Gizi IPB, Ali Khomsan, menilai kasus keracunan massal pada program MBG di sejumlah wilayah tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, ada tiga faktor utama yang kerap menjadi penyebab keracunan makanan massal. Pertama, makanan yang tidak diproses secara matang. Kedua, kualitas air yang digunakan dalam pengolahan makanan. Ketiga, makanan basi yang disajikan kepada penerima manfaat.
Meski demikian, ia menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh untuk memastikan penyebab spesifik dari kasus-kasus keracunan yang kini hampir serentak terjadi di berbagai daerah.
“Kalau tidak ada evaluasi, kita tidak akan tahu mana penyebab utama dari tiga faktor tersebut,” kata dia.
Prof. Ali menekankan pentingnya langkah tegas pemerintah menghentikan sementara dapur MBG di wilayah yang bermasalah. Hal ini bukan hanya untuk kepentingan keamanan pangan, tetapi juga mengurangi risiko trauma psikologis bagi anak-anak.
“Korban keracunan MBG sebagian akan mengalami trauma. Jika trauma itu berlangsung lama, bisa terjadi penolakan terhadap makanan MBG. Akhirnya, meski program tetap berjalan, makanannya tidak dikonsumsi,” imbuhnya.
Ia mengingatkan bahwa trauma dan penolakan publik dapat menimbulkan kerugian besar. Anggaran besar yang telah dikeluarkan menjadi percuma karena penerima manfaat menolak untuk mengonsumsi makanan. Karena itu, evaluasi dan perbaikan dinilai sangat mendesak agar program MBG bisa kembali diterima masyarakat sebagai upaya meningkatkan gizi anak-anak Indonesia.
Ganggu Belajar Mengajar
Di sisi lain, Sekolah Dasar Muhammadiyah Terpadu (SDMT) Ponorogo mundur dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Senin (29/9/2025), bukan karena ada keracunan, namun karena distribusi kerap telat. Padahal, sekolah sempat memiliki program makan siang sendiri dan beralih ke MBG sebagai dukungan terhadap program pemerintah.
Menurut Kepala Sekolah SDMT Ponorogo, Jainal Abidin, program MBG telah masuk ke sekolah pada 11 September. Tapi belum lama berjalan, distribusi MBG kerap telat dan mengganggu situasi belajar-mengaja. Padahal, sebelumnya siswa selalu makan siang dengan jam yang teratur, mulai jam pukul 12.30 WIB sampai 13.00 WIB.
“Kegiatan belajar mengajar kami itu sudah terprogram, dengan sering terlambatnya MBG maka jam belajar menjadi kacau,” ungkap Jainal.
Puncaknya pada Kamis (25/9) pekan lalu, di mana seharusnya MBG datang pukul 11.30 WIB, namun MBG justru baru sampai di sekolah pukul 14.38 WIB. Sebagian besar siswa sudah pulang, hanya beberapa siswa yang masih disekolah karena menunggu dijemput dan mengikuti kegiatan ekstra.
Kini pihak sekolah pun kembali menerapkan makan siang yang dikelola mandiri oleh sekolah kepada 908 siswa SDMT. “Sementara kembali ke dapur sendiri, sambil menunggu perkembangan dari SPPG,” tukas Jainal.
Selain pendistribusian MBG yang sering terlambat, pihak sekolah juga banyak menerima keluhan dari wali murid kalau mereka waswas dengan banyaknya siswa didaerah lain yang keracunan MBG. Menu yang kurang cocok, seperti mie dan burger juga menjadi alasan SDMT memilih untuk menghentikan sementara MBG.
Problematika di SPPG
Sebelum MBG tersaji untuk anak-anak, SPPG mengaku kerap menemukan kendala saat menjalankan operasional. SPPG Taman Sari milik Yayasan Kemala Bhayangkari Polda Bangka Belitung, misalnya, mengeluhkan kesulitan mendapatkan bahan makanan di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung.
Kepala SPPG Taman Sari Polda Bangka Belitung Hafiz Tri Adyta, mengatakan kesulitan mendapatkan bahan makanan disebabkan oleh kurangnya pasokan bahan pokok yang ada di pasar tradisional maupun distributor lokal. Bahan makanan semakin sulit diperoleh ketika lebih banyak dapur SPPG baru lain beroperasi, sehingga membuat kebutuhan bahan makin tinggi.
“Kita mendapatkan bahan baku dari UMKM lokal kalau di pasar kita agak kesulitan karena keterbatasan pasokan,” Kata Hafiz.
Selain bahan makanan, koki bersertifikasi di SPPG yang diusulkan BGN juga memunculkan polemik. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago menyampaikan sertifikasi bukan satu-satunya acuan untuk menjamin kesehatan menu MBG. Menurutnya, yang terpenting dari koki MBG yaitu harus mempunyai pengalaman bekerja di katering berskala besar.
“Saya kira yang paling penting adalah dia bekerja, dia paham dan tahu atau koki yang pernah bekerja di katering. Tapi katering besar lho ya, bukan katering kecil,” kata Irma.
Alih-alih menjamin kualitas makanan, lanjut Irma, sertifikasi bagi koki MBG justru menimbulkan praktik jual beli sertifikat. “Kita banyak lihat selama ini, sertifikasi-sertifikasi ini justru malah jadi bancakan. Nah ini yang saya terus terang gak respect,” katanya. (Web Warouw)