Rabu, 8 Oktober 2025

Mungkinkah Perang Dunia III?

Rakyat Iran mengantar penguburan Jenderal Suleimani beberapa waktu lalu. (Ist)

Aksi teror Amerika Serikat terhadap Iran dengan melakukan pembunuhan Jenderal Suleimani dan beberapa pejabat militernya di Irak, telah disambut dengan serangan rudal Iran pada basis militer Amerika Serikat yang menewaskan 60 tentara Amerika. Indria Hadi, koresponden Bergelora.com menyorotinya dari Belanda. (Redaksi)

Oleh: Indria Hadi

MENGENAI hubungan Arab dan Iran. Ada apa sebenarnya? Sejak Iran dikuasai oleh para Mullah, negeri ini punya narasi kuat untuk membangun kejayaan Persia Raya. Ini bukan hanya soal politik tetapi bertaut dengan keyakinan orang Iran bahwa mereka bangsa spesial dibandingkan bangsa Arab atau lainnya.

Karenanya kalau terkesan Iran berteman dengan China dan Rusia, itu bukan berarti Iran dibawah kendali kedua negara itu. Bagi China dan Rusia, sikap mereka terhadap Iran lebih kepada sikap pragmatis. Atas dasar ekonomi semata. Makanya konsesus soal geopolitik dan geostrategis selalu dihindari Iran dari China dan Rusia. Iran ingin bebas secara politik.

Posisi Iran terhadap Arab, bukan hanya sekedar soal Syiah- Sunny. Pada prinsipnya Syiah di Iran, lebih banyak kesamaannya dari pada perbedannya dengan Sunny di Arab. Lantas apa sesungguhnya? Itu tadi, Iran punya ambisi mempersatukan Timur Tengah dan Asia Tengah dalam dimensi Persia Raya. Karena itu, hal ini disikapi dengan penuh kekawatiran oleh bangsa Arab. Kalau sampai Arab harus tetap bergantung kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Barat, itu tak lain cara Arab untuk mendapatkan jaminan keamanan terhadap ancaman Iran. Bukan ancaman dari Isrel. Karena justru Arab dan Israel punya kekawatiran sama soal Iran. Nah kekawatiran Arab inilah yang dimanfaatkan oleh AS dan sekutunya untuk memainkan kartu geostrategisnya di Timur Tengah.

Sebelum perang sipil di Suriah terjadi, posisi Rusia dan China tidak signifikan di Timur Tengah. Sikap Rusia dan China terkesan hati-hati dan menjaga jarak dengan Iran, untuk sekedar tidak mau bersinggungan dengan kepentingan AS di Timur Tengah.

Politik Iran di Timur Tengah dalam menghadapi Barat dan sekutunya, lebih banyak mengandalkan proxy nya, yaitu Hizbullah. Di forum international, semua tahu bahwa Iran selalu oposisi pada setiap upaya perdamaian Palestina yang diajukan oleh AS. Iran menolak PLO yang didukung AS dan Arab. Iran berada dibalik perseteruan antara Al Fatah dan Hamas. Jelas kekuatan Hamas ada karena Iran. Target Iran adalah mengusir Israel dari tanah Palestina, sama dengan targetnya terhadap dinasti Saud yang harus digulingkan.

Namun konstelasi geopolitik di Timur Tengah dari waktu ke waktu terus berubah sejak China dan Rusia mulai mengambil peran lebih besar khususnya ketika terjadi perang sipil di Suriah. Kalau boleh dikatakan, perang sipil yang diciptakan oleh AS dan sekutunya di Suriah dengan tujuan menggulingkan Presiden Bashar,–menjadi lompatan jauh Iran untuk mencapai mimpinya. Mengapa? 

Konflik Suriah mengharuskan Rusia masuk secara penuh berhadapan dengan AS dan sekutunya. Perang sipil di Suriah dipicu oleh rencana Arab dan Qatar yang hendak membangun pipa gas ke Turki, yang ditolak oleh Bashar dan pada waktu bersamaan Bashar menyetujui rencana Iran dan Rusia membangun Pipa minyak Iran melalui Irak dan Suriah hingga ke Laut Mediterania.

Jadi perang di Suriah bukan soal Sunny-Syiah tetapi soal perebutan geostrategis jalur logistik Migas. Kalau Rusia all out bersama Iran dalam mendukung Bashar dan begitu juga Arab bersama sekutunya ingin menjatuhkan Bashar, itu wajar saja. Mengapa ?

Bagi Rusia pipa gas Nord Stream 2 dan Turk Stream berhubungan dengan jaminan distribusi Gas ke Eropa, yang merupakan 80% perdagangan Gas Rusia, dan sumber pemasukan devisa terbesar bagi Rusia. Sementara Arab dan Qatar juga ingin membangun pipa gas melintasi Suriah karena jalur melewati Yaman tidak efisien.

Dukungan dana Arab kepada kelompok Oposisi di Suriah salah satunya  ISIS, tidak sedikit. Miliaran dollar digelontorkan untuk memerangi Bashar. Akhirnya Perang sipil terjadi Suriah, jelas dimenangkan oleh Bashar,– tentu menjadi kemenangan Rusia dan Iran.

Arab kemudian kembali melirik ke Yaman sebaga jalur logistik. Namun Iran tidak tinggal diam. Secara tidak langsung Iran sudah masuk ke Yaman melalui dukungan kepada kelompok Houthi  yang punya pasukan mencapai sekitar 75 ribu. Itu sebabnya Arab dan Qatar bersama-sama menyerang Yaman dengan tujuan menghabisi kelompok Houthi yang Syiah. Maka, Iran tidak tinggal diam. Iran mempersenjatai Houthi menghadapi serangan dari Arab.  Sampai kini perang terus berlangsung.

Tidak sampai disitu saja. Untuk menyudutkan AS dan sekutunya, Iran bergerak lebih berani dengan menguasai seluruh wilayah Selat Hormuz. Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur pengiriman minyak keluar Teluk Persia. Dalam sehari, menurut U.S. Energy Information Administration, ada 15 tanker yang membawa 16.5 hingga 17 juta barel minyak bumi melewati Selat Hormuz. Jumlah itu menyumbang 90 persen eskpor minyak dari negara-negara pengeskpor di pesisir Teluk Persia, dan hampir 40 persennya dari seluruh konsumsi minyak dunia. Begitu pentingnya selat yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab ini. Manuver Iran ini bukan hanya gertak sambal. Tetapi Iran meletakan puluhan Rudah mengarah ke Selat Hormuz dan menyediakan puluhan kapal patroli cepat dilengkapi rudal.

AS berusaha membangun koalisi di UNCLOS untuk menghukum Iran atas penguasaan selat Hormuz. Karena Iran mengklaim garis dasar lurus di sepanjang pantainya yang berbatasan dengan Selat tersebut, dan 12 mil laut teritorial yang meliputi sepertiga utara Selat dan jalur laut yang ditunjuk secara khusus.

Iran juga mengklaim tiga pulau di sebelah barat Selat dan laut teritorial 12 mil laut di sekitarnya yang meliputi sebagian besar perairan yang bisa dilayari. Pada bagian tersempitnya, Selat Hormuz hanya selebar 21 mil laut. Pada titik ini, kapal dan pesawat yang menggunakan Selat tersebut harus melewati laut teritorial yang diklaim Iran atau Oman.

Tetapi baik AS maupun Iran belum meratifikasi UNCLOS. Artinya bagi Iran, AS tidak ada hak mempertanyakan teritorial sesuai UNCLOS. Iran tidak melanggar UNCLOS, karena Iran hanya mengklaim 12 mil dari pantai. Satu-satunya cara bagi AS menghadapi Iran adalah dengan memberikan sanksi ekonomi diperluas. Namun ini dimanfaatkan oleh China dengan menguasai produksi MIGAS dari Iran. Semakin lama Iran di embargo ekonominya, semakin bebas China mendapatkan sumber Migas Iran.  Bukan itu saja, sumber daya mineral Iran yang sangat kaya akan Logam Tanah Jarang, kini sudah ditambang oleh Perusahaan China yang bermitra dengan Iran.

Nah, dengan situasi tersebut diatas, apakah mungkin konflik Iran- AS akan meluas menjadi perang dunia ketiga ? Kalau Iran tetap ngotot mengusir AS dari Irak sebagai balasan atasan pembunuhanan Soleimani, dan AS tetap ngotot mengusir Iran dari Suriah, dan Selat Hormuz, maka dunia akan terlibat, bukan untuk ikut berperang tetapi memberikan tekanan politik terhadap Iran dan AS. Terutama China dan Rusia, akan lebih keras terhadap  AS. Mengapa?

Karena ancamannya sangat besar bagi ekonomi Rusia bila pipa gas di Suriah digagalkan oleh AS. China akan kena dampak ekonomi sangat besar bila selat hormuz jadi medan perang. Karena 40 % pasokan minyak China dari selat ini.

Bukan hanya China, termasuk Eropa dan Indonesia akan menderita rugi. 40% impor minyak kita menggunakan selat hormuz ini. Apa jadinya bila 40% itu gagal suplay. Kita bisa menghadapi kelangkaan BBM. Harga BBM akan melambung. Anda bisa bayangkan kalau BBM langka. Siapapun presiden tidak akan bisa bertahan lebih dari tiga bulan. Chaos akan terjadi meluas dan bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh kelompok khilafah untuk merebut kekuasaan. Itu sebabnya sehari terbunuhnya Soleimani, Ibu Retno, Menlu RI langsung menemui Dubes AS dan Iran agar segera menghentikan konflik dan selesaikan secara diplomasi.

Namun penyelesaian konflik di Iran – AS hanya efektif bila China menggunakan kartu geopolitiknya. Karena China punya hubungan erat dengan Arab, dengan investasi yang tidak sedikit. China juga punya hubungan ekonomi sangat erat dengan Iran.

Sudah saatnya China mengambil peran agar,  baik Iran maupun Arab duduk bersama dalam semangat yang sama untuk stabilitas Timur Tengah. Agar AS jangan lagi menggunakan kartu geopolitiknya dengan senjata tetapi lewat kerjasama ekonomi seperti yang dilakukan oleh China. Dan AS harus mau berubah.

China sendiri sudah seharusnya melunak dalam perundingan perdagangan dengan AS, khususnya soal perang mata uang agar AS punya nafas melakukan recovery economy. Cara kekerasan lewat militer sudah seharusnya ditinggalkan. Iran harus menutup mimpi Persia Raya nya. Apalagi era 4 G dan kini 5 G, dimana dunia sudah borderless. Penguasaan bukan lagi pada territorial tetapi teknologi.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru