Senin, 13 Januari 2025

Muslim Berkepribadian & Muslim Radikal

Oleh: Ubaidillah Achmad*

Sehubungan dengan judul di atas, penulis petik dari penjelasan secara tersirat dari teks kitab minhajul abidin. Berikut ini teks kitab Minhajul Abidin, yang menjadi kajian tema pembahasan ini: Fa’lam annal’uluma allathi thalabaha fardlun filjumlah tsalasatun, ilmu at tauhid wa ilmu sirri a’ni bihi ma yata’allaqu bilqalb wa masa’ihi wa ilmu syari’ah. Artinya, ketahuilah, sesungguhnya beberapa ilmu yang dapat dikatagorikan fardlu, adalah ada tiga, yang di antaranya: ilmu tauhid, ilmu sir yang secara spesifik terkait dengan hati, dan ilmu syariah. Secara spesifik dari penjelasan ketiga ilmu ini, telah dijelaskan oleh Syekh Imam Abu Hamid Al Ghazzali.

Dari teks ini, saya akan mengkaji melalui beberapa pertanyaan berikut: mengapa ketiga ilmu tersebut menjadi pilar ilmu dalam ilmu keislaman? Bagaimana penjelasan dari ketiga pilar tersebut perspektif Syekh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazzali? Bagaimana relevansinya dengan kontek keberagamaan yang semakin menunjukkan polaritas model keberagamaan di tengah masyarakat Indonesia?

Ketiga pilar ilmu ini menjadi penting dalam ilmu keislaman, karena filosofi atau hal mendasar dalam ilmu keislaman, adalah membentuk keyakinan. Sebagai sebuah ajaran, Islam dibentuk dari tiga hal: Iman, Islam, dan Ihsan. Ketikanya, harus dilakukan tanpa keraguan dan pertanyaan lagi, karena sifat dari ketiga ajaran tersebut sudah menjadi sebuah prinsip. Sehubungan dengan ketiga ajaran ini, Nabi Muhammad dan penerus para Nabi (waratsatul anbiya’) hanya menawarkan ketiga ajaran ini, apakah bisa diterima oleh individu dan masyarakat? Jika individu dan masyarakat menerimanya, maka dengan penuh keyakinan akan bersama sama menjadi umat Islam.

Sebaliknya, jika individu dan masyarakat menolaknya, maka sesuai dengan prinsip QS. Al Kafirun [109]: 1 – 6. Karenanya, pada zaman Nabi tidak pernah mengajarkan, agar umat Islam membela Islam dengan melakukan gerakan menolak kehadiran atau keberadaan mereka yang bukan Islam. Jika terjadi konflik keberagamaan pada zaman Nabi, karena visi Islam yang menekankan pada ketuhanan dan kemanusiaan berbenturan dengan fasisme politik dan kehendak penguasaan permodalan yang mencekam masyarakat luas. Pilihan Nabi Muhammad dan Umat Islam pada visi kemanusiaan inilah yang memancing para penguasa dan pemodal untuk melakukan perlawanan kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang terdiri dari masyarakat lemah dan mereka yang mencintai kebenaran.

Yang perlu ditekankan pada kejian ini, adalah arti penting keilmuan pada ajaran Islam. Dalam menyampaikan ketiga ajaran Islam (Iman, Islam, dan Ihsan), Nabi Muhammad menggunakan cahaya kenabian yang langsung memantul dari cahaya Allah yang telah memancar kuat pada Utusan-Nya dan juga memancar kuat melalui para Utusan-Nya, maka ajaran Islam dengan mudah dapat diterima oleh individu dan masyarakat pada zamannya hingga menjadi kesatuan umat, yang dikenal dengan sebutan sebagai Umat Islam.

Berbeda dengan zaman Nabi Muhammad yang sudah dikuatkan dengan cahaya kenabiannya yang sangat terang dan indah, pada zaman Ulama selain menggunakan pantulan-pantulan cahaya kenabian yang terang dan indah, juga memerlukan ilmu penjelas yang memadukan potensi pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan. Selain itu, di zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sulit mengajarkan ajaran agama hanya melalui doktrinasi tanpa mengurai rahasia potensi kenabian, kesadaran, dan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

Hal ini yang menjadi alasan, mengapa Syekh Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Al Ghazzali menjelaskan kepada umat Islam, bagaimana supaya umat Islam tidak hanya memahami dari sisi doktrinasi tentang agama Islam, namun juga bagaimana bisa membentuk keseimbangan diri dalam keberagamaan, sehingga tidak beragama hanya dari sisi pemahaman, namun di sisi yang lain justru merusak keyakinan sendiri. jika beragama yang hanya dari satu sisi keyakinan pada salah satu objek keyakinan, maka akan mematikan sumber potensi yang lain yang akan masuk menguatkan keyakinan. Karena alasan ini, Syekh Hujjatul Islam, Imam Al Ghazzali menawarkan potensi keislaman yang akan membentuk keseimbangan keberagamaan umat Islam di tengah munculnya gerakan radikalisasi agama seperti sekarang ini.

Zaman sekarang ini, berbeda dengan zaman penguasa pra abad pertengahan. Para penguasa abad pertengah bersikap fasis dan melakukan kekerasan sesuai dengan kebijakan langsung sistem kekuasaan yang dibangunnya versus masyarakat.  Sekarang ini, banyak penguasa telah memainkan politik dan fasisme melalui bahasa agama, sehingga telah banyak melahirkan konflik politik dalam keberagamaan masyarakat. Umat beragama telah menjadi lahan subur para kehendak kuasa dalam sistem kekuasaan yang akan menjadi impiannya.

Yang menjadi persoalan, adalah sikap tokoh agama yang mengikut arus kehendak kuasa dan menjadikan agama sebagai arus perlawanan terhadap kelompok kehendak kuasa yang berseberangan dengan tokoh agama. Fenomena ini yang melahirkan kompromi politik yang berintegrasi antara tokoh agama dan kehendak kuasa. Tokoh agama berbicara atas nama tauhid untuk menggulingkan satu system masyarakat, sementara di sisi yang lain mengabaikan kesadaran diri melalui potensi hati dan tidak menjalankan ajaran agama sesuai dengan yang dipahaminya. Fenomena ini yang disebut dengan ajaran ketuhanan yang telah mengabaikan potensi atau kesadaran diri secara manusiawi yang musti harus saling menghargai dan menjaga aspek kemanusiaan.       

Tiga Pilar Muslim Yang Berkepribadian

Pilar ilmu yang wajib dipelajari perspektif Syekh Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazzali, sebagaimana disebutkan di atas, berupa:  pertama, ilmu tauhid. Ilmu tauhid ini merupakan ilmu yang telah dikatagorikan di antara dasar dasar ilmu agama. Dari pandangan Syekh Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid ini dapat dipahami, bahwa jika seseorang mengabaikan ilmu tauhid, maka sama artinya beragama yang tidak memiliki bangunan dasar keberagamaan. Beragama yang tanpa bangunan dasar agama tentu akan mudah mengalami roboh hanya karena diterpa oleh angin kecil. Kondisi psikis beragama tanpa bertauhid, juga akan mudah terombang ambing oleh dua kekuatan yang selalu mengisi sejarah dunia: kehendak kuasa dan kuasa kapital. Kedua kekuatan ini akan selalu memanfaatkan keberagamaan individu dalam masyarakat.

Dalam penjelasan teks kitab minhajul abiding dijelaskan, bahwa Ilmu tauhid memiliki makna yang menegaskan, bahwa wujud keberadaan manusia itu selalu berada dalam kuasa Allah yang Maha Mengetahui, Menguasai, Berkehendak, Hidup, Berbicara, Mendengarkan, dan Mengetahui. Keberadaan Allah bersifat Esa. Sifat ini menunjukkan makna yang menegasikan keberadaan keberadaan yang lain atau menegasikan hal hal yang menyamai-Nya. Selain sifat ini, keberadaan Allah Jalla Jalaluhu, juga bersifatan dengan memiliki sifat yang sempurna (bisifatil kamal), yang bersih dari sifat kekurangan dan sifat Allah ini tidak akan berkurang atau hilang dengan kemunculan hal hal yang baru. Sehubungan dengan penjelasan ini, keberadaan Allah selalu ditegaskan, telah mendahului semua alam ciptaan-Nya yang dianggap sebagai alam raya dan semua alam ciptaan yang bersifat baru.

Dalam kajian ilmu tauhid ini, secara bersamaan yang juga wajib diketahui, berupa (model) sikap pengakuan terhadap risalah kenabian Nabi Muhammad. Keberadaan Nabi Muhammad telah diuraikan dalam kitab minhajul abidin, sebagai hamba Allah, utusan Allah, memiliki sifat menyampaikan keterangan dan kebenaran sesuai dengan model perkataan yang benar, yang jujur, menyampaikan semua yang bersumber dari Allah, dan menyampaikan hal hal yang terkait dengan urusan akhirat. Sehubungan dengan kewajiban pengetahuan dasar ini, adalah mengetahui Nabi Muhammad dan sunnahnya dan menghindari hal hal atau sikap yang mengada-ngadakan perkara yang belum disampaikan Nabi Muhammad.

Pilar ilmu yang kedua ini, adalah ilmu yang terkait dengan perbuatan hati, berupa ilmu mengagungkan Allah, ilmu yang mengajarkan sikap ihklas, menata niyat secara baik, menjaga kesalamatan amal atau perbuatan manusia dari penyakit hati. Dalam uraian atau penjelasan sebelumnya, telah ditegaskan hal hal yang termasuk perbuatan hati. Potensi yang menggerakkan atau memutar balikkan perbuatan hati ini dapat berupa potensi yang positif dan potensi negatif.

Potensi positif ini, yang akan menguatkan hati pada gerak yang selalu condong, pasrah, dan tunduk kepada Allah. Sebaliknya, potensi negatif akan melemahkan hati pada gerak yang selalu condong, pasrah, dan tunduk kepada Allah. Perbuatan hati ini merupakan kunci ibadah dzahir supaya bisa sampai kepada Allah. Dalam perspektif psikologis, gerak hati, adalah sikap baik secara vertikal dan secara horizontal. Sikap hati secara vertical dan horizontal telah banyak dibahas dalam tafsir dan kajian ilmu keislaman. Gerak hati ini merupakan sumber kesadaran, bahwa hidup sangat memerlukan relasi dengan Allah dan memerlukan relasi dengan sesama umat manusia.

Pilar kedua dari ilmu yang wajib diketahui, dapat dipahami dari perspektif psikologi kepribadian sebagai kunci untuk membuka kesadaran relasi suci kosmologis antara Allah, manusia, dan kesemestaan. Artinya, setiap manusia berkewajiban untuk meng-Esa-kan Allah (tauhid), juga harus menggerakkan kesadaran dan rasa kepasrahan dan kecondongan kepada Allah serta menaruh empati dan simpati kepada sesam umat manusia dan unsur kesemestaan.   

Pilar ilmu yang ketiga, adalah ilmu yang terkait dengan ilmu syariah. Ilmu syariah mengajarkan tata cara ibadah yang wajib kita laksanakan. Misalnya, terkait dengan thaharah, shalat, puasa. Ilmu tentang thaharah, shalat, puasa merupakan ilmu yang wajib diketahui dan diamalkan. Sehubungan dengan mengkaji ketiga bidang ini termasuk akan langsung terkait dengan amal sendiri yang lebih ringan dilakukan. Adapun terkait dengan haji, zakat, jihad, setiap manusia wajib mempelajarinya. Sedangkan terkait dengan haji, zakat, jihad, jika di antara umat yang sudah terkenai hukum syariah tidak mampu, maka tidak wajib melaksanakannya.

Sebelum mengakhiri pembahasan terkait dengan tiga pilar ini, Syekh Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazzali, mengajukan pertanyaan tentang ilmu tauhid yang seolah-olah bermula dari ungkapan pembaca kitab minhajul abidin (fa in qulta) yang bertanya kepada diri sendiri, seperti: apakah ada kewajiban bagiku belajar ilmu tauhid dan menetapkan argumentasi keislaman dan sunnah dengan tujuan untuk mematahkan argumen agama orang kafir dan memathkan orang yang suka membuat hal-hal baru? Model buah pena Syekh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazzali ini merupakan cara: bagaimana membentuk persepsi pembaca mampu menginternalisasikan isi kitab minhajul abidin dengan gerak ide pembaca. 

Dalam menjawab persoalan di atas, Sykeh Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Al Ghazzali menegaskan, bahwa belajar ilmu tauhid dalam konteks untuk membangun hujjah atau mematahkan argumentasi yang merusak prinsip ketauhidan, adalah fardlu kifayah. Teks ini dapat dipahami, yang dimaksud fardlu kifayah di sini, adalah adanya upaya belajar ilmu tersebut menjadi gugur setelah ada orang lain yang mempelajarinya, namun jika belum ada yang mempelajarinya, maka harus ada yang mempelajarinya. Jika tidak ada salah satu masyarakat yang mengkajinya, maka penduduk masyarakat terkena dosanya.

Jadi, istilah “engkau” dalam teks kitab menjadi tidak wajib belajar mempelajari ilmu “berdebat” seperti dimaksud diatas, namun dianggap cukup untuk memperbaiki  pola keyakinan terhadap dasar-dasar agama. Selain itu, juga tidak harus mengetahui cabang ilmu tauhid, unsur-unsur ilmu tauhid, dan menjelaskan masalah-masalah ilmu tauhid. Istilah “engkau” dalam teks kitab menunjuk pembaca dan interpreter serta umat Islam yang sudah terbebani hukum. Imam Al Ghazzali tidak bermaksud memunculkan istilah  “engkau” hanya pada pembaca kitab saja. 

Namun demikian, jika subjek yang konsern pada kajian teks kitab ini, telah merasakan ada kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang membahayakan bagi keyakinan karena ketidakjelasan pemahaman terhadap ilmu tauhid (dasar dasar ilmu agama), maka bagi subjek yang merasakan kekhawatiran boleh mendiskusikannya atau mengkaji lebih detail hingga menemukan pemahaman dan keyakinan yang baik. Meskipun demikian, diskursu tentang ilmu tauhid (dasar dasar ilmu agama) boleh dilakukan dengan sebatas pembahasan yang mungkin untuk secukupnya saja.

Muslim Yang Radikal

Bagaimana menjawab fenomena radikalisasi agama?  Radikalisasi agama terjadi karena adanya pemahaman terhadap ajaran agama yanag sepihak. Hal ini diperparah dengan model penjelasan dari seseorang yang kurang memahami agama, namun mendapatkan kepercayaan dari mereka yang masih pemula dalam pembelajaran agama. Sehubungan dengan dua fenomena ini, akan mengalami puncak radikalisasi agama ketika bertemu dengan kepentingan kaum pembajak kepentingan melalui model keberagamaan, yang di antaranya: mereka yang berada dalam nafsu kehendak kuasa dan nafsu kuasa kapital.

Sehubungan dengan bahaya radikalisasi agama, maka perlu model pembelajaran yang memadukan ketiga pilar ilmu tersebut bersama para guru yang memiliki akhlak mulia, baik secara vertical maupun secara horizontal. Hal ini sesuai dengan kandungan teks kewahyuan dan sunnah Nabi Muhammad, yaitu mengkaji ilmu yang memadukan relasi antara Allah, manusia, dan kesemestaan.

Selain itu, Islam harus dipahami sebagai agama suci yang mengajarkan ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, dan persamaan. Ajaran ini merupakan instrumen pembebasan dan pencerahan kepada masyarakat. Karenanya, para penyeru prinsip kebenaran dari ajaran agama Islam lebih baik memfokuskan diri pada ajaran suci ini, sehingga tidak terforsir pada kehendak kuasa dan kuasa kapital. 

*Penulis buku Suluk Kiai Cebolek, Islam Geger Kendeng, dan khadim Majlis Kongkow As Suffah Sidorejo Pamotan Rembang.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru