Selasa, 21 Oktober 2025

Nah..! BPJS Kesehatan Bantah Tak Tanggung Semua Biaya 8 Penyakit Katastropik

Direktur BPJS Kesehatan, Dr Fahmi Idris (Ist)

JAKARTA- Sehubungan dengan beredarnya informasi bahwa BPJS Kesehatan tak lagi menanggung semua biaya 8 penyakit katastropik seperti jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalassemia, leukimia, dan hemofilia, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat pun angkat bicara.

“Kamis lalu (23/11), BPJS Kesehatan diminta paparan tentang perkembangan pengelolaan JKN-KIS. Lalu dalam paparan tersebut ditampilkan sebagai gambaran di Jepang, Korea, Jerman, dan negara-negara lainnya yang menerapkan cost sharing. Pada saat itu kami memberikan referensi akademik. Jadi jangan salah paham duluan ya,” katanya dalam rilisnya kepada Bergelora.com di Jakarta Senin (27/11).

Menurut Nopi, saat era Askes dulu, pemerintah memberikan dana subsidi bagi penyakit-penyakit katastropik. Pemberian dana tersebut dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013.

“Sejak PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan pada 2014 lalu sampai sekarang, belum ada regulasi tentang subsidi pemerintah untuk penyakit katastropik. Padahal dulu ada subsidi. Saat ini hal tersebut tengah diusulkan untuk revisi Perpres,” jelas Nopi.

Ia pun menegaskan bahwa sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tetap menjamin ke-8 penyakit tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah.

“Jadi masyarakat tak perlu khawatir. Selama peserta JKN-KIS mengikuti prosedur dan ketentuan, maka kami akan jamin biayanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ungkapnya.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, sebagai badan hukum publik yang berada di bawah naungan Presiden langsung, Nopi juga mengatakan bahwa pihaknya tunduk dan patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan nantinya oleh pemerintah.

“Dalam mengambil kebijakan, pemerintah pasti memperhatikan kebutuhan masyarakat dan kondisi di lapangan. Yang jelas prioritas kami saat ini adalah memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKN-KIS,” ungkapnya.

Belum Diaudit

Sebelumnya dilaporkan rencana BPJS Kesehatan melepaskan tanggung jawab pada 8 penyakit menimbulkan reaksi. Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) justru menegaskan bahwa alasan BPJS mengatakan karena defisit, tidak pernah bisa membuktikan, karena tidak ada audit terhadap BPJS.

“BPJS Kesehatan bilang defisit. Emang kita tahu kemana saja aliran dana BPJS? Karena tidak pernah ada audit. Terus minta alokasi tambahan APBN. Kemudian minta kenaikan iuran peserta. Sekarang mereka lepas tanggung jawab pada penyakit-penyakit mematikan. Ini sangat menyakitkan. Tapi yah, semua orang kan dukung BPJS. Selamat menikmati!” tegas Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (27/11).

Hal yang sama ditegaskan anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati, turut angkat bicara terkait rencana BPJS Kesehatan yang akan menghapus tanggungan pendanaan terhadap penyakit-penyakit tertentu yang tidak menular.

Sedikitnya ada delapan jenis penyakit yang pendanaannya tidak ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan dibebankan kepada pasien, yaitu penyakit jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.

“Tapi BPJS Kesehatan sendiri kemudian juga transparan dalam hal keuangannya. Transparan ketika membuat rencana kerja anggaran tahunannya dan transparan di dalam membuat perjanjian-perjanjian, baik dengan pelayanan kesehatan maupun pelayanan obat,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/11/).

Untuk itu, pihaknya meminta agar BPJS Kesehatan memikirkan dan mempertimbangkan tekait rencana tersebut. Disamping itu, BPJS Kesehatan harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan sebelum memutukan kebijakan tersebut.

“Saya setuju kalau Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) mengatakan tidak akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan selama BPJS Kesehatan belum memperbaiki sistem administrasi, operasionalisasi, dan lainnya,” ucapnya.

Mengacu pada UUD 1945, kata Okky, negara memang hadir di dalam kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai kemudian masyarakat diminta membayar dan menanggung biaya sendiri terhadap penyakit tertentu tersebut. Beragam persoalan terkait layanan pasien program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS mengemuka di sejumlah daerah.

“Artinya, kalau masyarakat harus membayar sendiri, negara tidak hadir untuk menyejahterakan rakyatnya,” ujarnya.

Merugi Terus?

Sebelumnya diberitakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berencana melibatkan peserta untuk ikut mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik).

Rencana cost sharing ini akan berlaku bagi peserta dari golongan mampu atau peserta mandiri.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, setidaknya ada 8 penyakit katastropik yang akan dipilih untuk dibiayai dengan skema cost sharing. Yakni penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalasemia, leukimia, dan hemofilia.

Menurut data BPJS, sepanjang Januari-September 2017 ada 10,80 juta kasus dari 8 penyakit katastropik yang menguras biaya BPJS Kesehatan hingga Rp12,29 triliun.

Jumlah itu setara dengan 19,68 persen dari total biaya pelayanan kesehatan yang BPJS Kesehatan hingga September 2017. Penyakit jantung menempati porsi terbanyak dengan 7,08 juta kasus dan klaim mencapai Rp6,51 triliun.

Namun, Fahmi masih belum merinci porsi pendanaan perawatan (cost sharing) yang akan dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, hingga kini BPJS Kesehatan masih menghitung rincian beban yang akan dibagi bersama peserta jaminan kesehatan nasional (JKN).

Jenis penyakit yang banyak menyedot ini tak berbeda dibanding dengan tahun 2015. Delapan penyakit katastropik saat itu adalah penyakit jantung, gagal ginjal kronik, kanker, leukemia, stroke, thalasemia, sirosis hepatis, dan hemofilia.

Bedanya, saat itu persentase dana yang disedot 8 penyakit ini mencapai 23,90 persen dari total pembiayaan BPJS.

Selama ini, BPJS Kesehatan kerap defisit. Penyebabnya, angka beban jaminan kesehatan yang selalu lebih besar dari pendapatan iuran BPJS Kesehatan.

Pada 2014, defisit mencapai Rp3,3 triliun. Setahun kemudian, defisit itu naik menjadi Rp5,76 triliun. Tahun lalu baru surplus Rp508 miliar. Walau surplus, tapi secara kumulatif, belum bisa menutup kerugian tahun sebelumnya.

Sampai pertengahan tahun ini, BPJS Kesehatan mampu mengumpulkan iuran sebanyak Rp35,6 triliun. Tapi pengeluarannya Rp41,5 triliun. Artinya, ada defisit Rp5,8 triliun.

Selama ini, keluhan BPJS adalah masalah iuran. April lalu, Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan, beserta denda keterlambatan. Tapi September lalu, kenaikkan iuran itu belum mampu menolong kas BPJS Kesehatan.

Masalahnya, iuran premi tak sesuai. Misalnya Penerima Bantuan Iuran (PBI) seharusnya Rp36 ribu. Tetapi iuran yang dibayarkan pemerintah itu hanya Rp23 ribu per bulan. Peserta kelas 2 alias Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) seharusnya Rp68 ribu, hanya membayar Rp51 ribu. Peserta kelas 3, preminya Rp53 ribu, tapi selama ini iurannya hanya Rp25.500.

Selama ini, selisih penerimaan dengan klaim ini ditutup dengan suntikan dari pemerintah. Karena ada Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS bahwa pendapatan berasal dari iuran, dan dari bantuan pemerintah. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru