AMBARAWA – Malam merambat, saat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tiba di tempat pameran lukisan setelah meresmikan patung dr Tjipto Mangoenkoesoemo di Ambarawa. Dengan menumpang dokar, Menteri Tjahjo diantar panitia ke tempat pameran, Sabtu (3) malam pekan kemarin.
Di sana, Menteri Tjahjo sempat melihat lukisan Presiden Jokowi yang dilukis hitam putih. Dengan serius, ia melihat lukisan Jokowi yang sedang pegang wayang. Satu persatu lukisan yang dipamerkan ia lihat. Usai berkeliling melihat semua lukisan yang dipamerkan, puluhan wartawan lokal yang terus membuntuti langsung merubungnya.
Berbagai pertanyaan diajukan, mulai dari soal peresmian patung hingga masalah operasi tangkap tangan kepala daerah yang marak akhir-akhir ini dan soal Memorandum of Understanding (MoU) antara Itjen Kemendagri dengan aparat penegak hukum yang berujung polemik.
Menjawab pertanyaan soal OTT (Operasi Tangkap Tangan), Tjahjo mengatakan, ia merasa sedih begitu mendengar kabar ada kepala daerah yang kena garuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana pun, kepala daerah itu adalah mitra Kementerian Dalam Negeri. Tentu, ia merasa terpukul, ketika dapat laporan ada kepala daerah yang kena jerat komisi anti rasuah. Dan, yang membuatnya kian sedih, beberapa kepala daerah itu hendak maju lagi dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini.
“Saya selalu setiap ada OTT saya sedih prihatin. Apapun mereka adalah bagian dari saya, mitra saya,” kata Tjahjo.
Padahal, sudah banyak yang mengingatkan, agar pemangku kebijakan itu, khusus kepala daerah hati-hati mengelola keuangan negara. Dan harus hati-hati pula, menjalankan roda pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki harus dijalankan dengan baik, sesuai aturan. Mulai dari Presiden, ia sebagai Mendagri, tak bosan-bosan mengingat, agar pemangku kebijakan memahami area rawan korupsi. Menteri lain pun demikian. Kapolri dan pimpinan KPK juga sering mengingatkan itu.
“Kami terus mengingatkan mulai Bapak Presiden, Kementerian, KPK, Kapolri, Jaksa Agung, Menkopolhukam mengingatkan, hindari area rawan korupsi,” katanya.
Harusnya kasus-kasus yang terjadi, terutama yang terjerat lewat OTT, dijadikan pelajaran berharga. Tapi seperti, masih saja ada yang kena. Artinya, masih ada yang tak mau belajar pada pengalaman yang telah terjadi. Tugas kepala daerah itu, kerja dan kerja untuk rakyat. Setiap kewenangan yang dimiliki, adalah amanah. Kekuasaan yang diraih merupakan mandat dari rakyat. Karena itu gunakan itu untuk mensejahterakan rakyat. Sekali menyalahgunakan, bukan saja itu mempermalukan diri sendiri, tapi juga membuat malu warga yang yang telah memilihnya.
“Karena mereka kepala daerah, dipilih oleh rakyat harus amanah. Kerja, kerja, kerja. Jangan menyalahgunakan (kekuasaan). Yang malu ya masyarakat yang memilih, daerahnya juga. Termasuk saya. Sistemnya sudah bagus. KPK sudah pro aktif, Kejaksaan, kepolisian pro aktif, tapi tetap saja,” kata Tjahjo.
Sementara menanggapi MoU yang jadi polemik, Tjahjo menegaskan, tujuannya untuk memastikan, agar diskresi kebijakan tak dikriminalisasi. Sederhana, agar pelanggaran yang seharusnya bersifat administrasi diseret ke ranah pidana. Tapi, bukan berarti kemudian MoU ini untuk memutihkan kasus pelanggaran. Dengan tegas Tjahjo mengatakan, tidak seperti itu tujuan dari MoU.
“MoU itu hanya jangan sampai diskresi kebijakan mulai saya sampai seluruh para pejabat maupun ASN harus diklarifikasi dulu. Misal ada temuan, ada klarifikasi dulu, apakah ini menyangkut administrasi atau tidak,” katanya.
Tapi kalau kemudian, seorang pejabat pemerintahan itu diduga menerima suap, gratifikasi atau memeras, apalagi kena OTT, meski yang bersangkutan telah mengembalikan uang ‘haram’ itu, proses hukum jalan terus. Perjanjian kerjasama antara Itjen dengan penegak hukum, arahnya untuk mengklarifikasi setiap aduan dari masyarakat terkait dugaan adanya indikasi pelanggaran. Jadi, setiap aduan yang masuk, akan dikaji oleh Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan aparat penegak hukum.
“Kalau OTT yang kena ya sudah, enggak bisa. Meski mengembalikan uang, tidak menghilangkan proses hukum. Jadi bukan MoU hanya sekedar untuk kita kalau ada laporan masyarakat baik lewat inspektorat daerah nanti diserahkan kepada kepolisian, kejaksaan, nanti dikaji. Tapi yang menyangkut menggunakan itu ya harus kembalikan tapi tetap diproses secara hukum. OTT apalagi,” tuturnya.
Indonesia, kata Tjahjo, adalah negara hukum. Semua mesti sesuai aturan hukum. Kalau misal ada laporan masyarakat yang menyangkut administrasi, maka akan dikaji dulu.
“Jadi MoU itu secara jernih bukan mau membebaskan orang yang korupsi. Tidak. Kalau sampai ada OTT ya salah sendiri mereka,” ujarnya.
Mereka Yang Terjerat
Kepada Bergelora.com sebelumnya dilaporkan beberapa kepala daerah yang terjerat dalam OTT adalah, Bupati Lampung Tengah, Mustafa yang tengah ‘mengurus’ DPRD setempat untuk menyetujui dana pinjaman dari PT SMI. OTT merampas dana sebesar Rp 1 Milyar. Penangkapan Mustafa menggagalkan dirinya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung dalam Pilkada 2018 ini.
Sebelumnya Gubernur Jambi Zumi Zola, tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi sejumlah proyek di Dinas PUPR Provinsi Jambi sebesar Rp 6 miliar dari beberapa kontraktor. Uang itu diduga yang diberikan sebagai ‘uang ketok palu’ kepada anggota DPRD Jambi.
Bupati Ngada Marianus Sae terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK sebagai tersangka penerima suap proyek jalan di Nusa Tenggara Timur senilai Rp 54 miliar. Marianus juga akan maju dalam Pilkada 2018 sebagai calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT).
KPK juga menetapkan Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra (ADP) dan ayahnya, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun (ASR), sebagai tersangka kasus dugaan penerima suap Rp 2,8 miliar terkait pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari 2017-2018. Uang suap yang diterima Adriatma Dwi Putra dari pihak swasta diduga disiapkan untuk modal kampanye ayahnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan Bupati Subang Imas Aryumningsih sebagai tersangka kasus suap terkait pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang. Total barang bukti uang yang disita pada kasus ini, yakni Rp 337.328.000 berserta dokumen bukti penyerahan uang. Diduga, Bupati dan dua penerima lainnya telah menerima suap yang total nilainya Rp 1,4 miliar. Adapun komitmen fee antara perantara suap dengan pengusaha sebesar Rp 4,5 miliar. Sementara komitmen fee antara Imas dengan perantara suap sebesar Rp 1,5 miliar. KPK menduga, Imas hendak menggunakan sebagian uang suap yang diterima sebagai ongkos kampanye untuk mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Subang. (Prijo Wasono/Web Warouw)