Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina *
KETIKA menyaksikan Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Gedung DPR RI/MPR RI pada 15 Agustus 2025, ada banyak persoalan penting dan strategis. Terlepas dari bagaimana implementasi dari semua tekad Presiden Prabowo dalam menahkodai Indonesia, setidaknya kalau pidato itu konsisten dengan tindakan dalam pengelolaan negara dan praktik pemerintahan, maka merupakan hal yang baik. Sebaliknya, semua itu hanya sekadar “omon-omon” kalau tidak ada satunya kata dan perbuatan.
Namun, terlepas dari berbagai isu penting dalam Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo, perhatian penulis sejenak fokus ketika Prabowo menyinggung dalam bentuk pertanyaan retoris mengenai posisi penting penggilingan padi. Namun, pernyataan ini hanya berupa pertanyaan tanpa jawaban dalam beberapa baris, meski cukup memberikan poin bahwa pernyataan itu pasti keluar dari pemahaman mendalam Presiden Prabowo mengenai arti penting penggilingan padi dalam rantai produksi kebutuhan makanan.
Penggalan pidato Prabowo ini menyatakan, “Saya ingin bertanya, apakah beras itu penting bagi negara atau tidak? Menguasai atau tidak hajat hidup orang banyak? Apakah penggilingan padi itu penting bagi negara? Apakah penggilingan padi itu hajat hidup orang banyak? Tapi ada sementara, tidak semua, saya harus fair, ada sementara pengusaha-pengusaha yang justru memanfaatkan kekuatan mereka, kekuatan modal mereka untuk dominasi dan manipulasi kehidupan rakyat”.
Kalau dicerna lebih dalam, pertanyaan ini sangat mendasar dan sangat sistemik karena menyentuh sendi Sistem Ekonomi Indonesia yang tercermin dalam pasal 33 UUD 1945.
Siapa dan bagaimana memastikan pemenuhan hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Negara atau swasta? Apa bentuk dari politik pangan sebagai derevasi pasal 33 UUD 1945. Apakah peraturan di dalamnya mencerminkan Sistem Ekonomi Indonesia yang meletakkan demokrasi ekonomi dan rakyat di garda terdepan? Ataukah telah meninggalkan dan bergeser dengan mendahulukan pasar/swasta untuk mengatur sistem pangan, seperti yang lazim ditemukan dalam sistem ekonomi liberal? Kalau ini yang terjadi sesungguhnya Indonesia telah menyimpang jauh dari konstitusi, sehingga butuh terobosan Presiden Prabowo untuk mengembalikan arah politik pangan sesuai dengan semangat konstitusi.
Pidato Prabowo ini, tentu tidak lepas dari pengungkapan skandal beras oplosan yang diikuti tindakan hukum dari pihak kepolisian untuk mengungkap pengusaha yang terlibat dalam praktik beras oplosan.
Skandal ini mengundang berbagai pandangan berbagai pihak baik pemerintah, politisi dan pengamat. Bahkan, Presiden Prabowo juga mengeluarkan pernyataan keras untuk menindak pengusaha yang terlibat skandal beras oplosan termasuk mempertimbangkan menyita penggilingan.
Sebenarnya, Presiden Prabowo tidak perlu mempertimbangkan untuk menyita, tetapi justru memang seharusnya mengembalikan urusan penggilingan padi yang langsung ditangani institusi negara, baik BUMD, Bulog atau instusi negara yang memang khusus untuk menangani penggilingan padi.
Tapi, yang jelas dari statemen Presiden Prabowo yang mengaitkan penggilingan padi dan pasal 33 UUD 1945, sangat jelas Prabowo memahami baik posisi strategis penggilingan dalam urusan beras nasional. Namun, sangat disayangkan karena hal itu hanya sebatas pidato atau paling banter ancaman kepada pengusaha penggilingan.
Apalagi, para pembantunya tidak menunjukkan solusi nyata untuk mengatasi masalah seperti beras oplosan ini tidak terulang. Bahkan, baik politisi dan aparat pemerintah mengambil posisi seperti layaknya pengamat ketimbang mentejermahkan sikap Presiden atau lebih meyakinkan Presiden Prabowo agar benar-benar menjadikan urusan penggilingan padi diselenggarakan institusi pemerintah karena hal itu juga akan melindungi petani dan konsumen, terutama perut rakyat.
Jadi, kalau para politisi di Senayan dan para pembantu Presiden Prabowo cukup bertepuk tangan dengan pidato Prabowo tanpa memikirkan follow up dari pernyataan Presiden Prabowo, maka sangat dikhawatirkan Presiden Prabowo hanya berpikir sendiri tanpa mendapatkan tawaran solusi dari pembantunya.
Penegakan hukum yang kasuistis tidak cukup untuk mengatasi persoalan yang mendasar bagi rakyat ini. Apalagi, kalau sekadar memandang sebelah mata mengenai posisi penting penggilingan padi menyediakan bahan makanan.
Sejarah Politik Penggilingan Padi
Pengaturan masalah penggilingan padi bukan hal baru, karena sejak zaman Belanda, persoalan penggilingan antara lain dengan Bedrijfs Reglementerings Ordonantie (BRO) 1934, kemudian sebagai peraturan pelaksanaan BR0 1934 ini dikeluarkan Bedrifs Reglementerings Vecordening Rijspellerijen 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 184).
Kemudian pada masa kemerdekaan, Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1952 tentang Kewajiban Penggilingan Padi dan Perdagangan Bahan Makanan yang mulai berlaku pada 5 Mei 1952. UU Darurat ini keluar hanya dua tahun setelah masa RIS (Republik Indonesia Serikat).
Pemerintah mengeluarkan UU Darurat Penggilingan ini tidak lepas dari posisi strategis penggilingan dalam persediaan bahan makanan. UU Darurat No 7 Tahun 1952 ini secara tegas mewajibkan penggilingan yang ditunjuk Menteri Perekonomian menggiling padi yang dapat dibeli Pemerintah dan melarang penggilingan bekerja untuk kepentingan sendiri baik untuk seluruh atau sebagiannya. Bahkan, penggilingan yang diizinkan untuk bekerja bagi kepentingan sendiri juga disertai kewajiban untuk menyediakan beras yang dibeli pemerintah.
Ketika UU Darurat ini dikeluarkan, Indonesia membutuhkan 7.000.000 ton beras, yakni 4.500.000 juta ton untuk Jawa dan Madura, kemudian 2.500.000 ton beras untuk luar Jawa. Namun, produksi beras yang tersedia hanya 6.350.000 ton beras, sehingga ada kekurangan 650.000 ton beras.
Berdasarkan berdasarkan UU Darurat ini kemudian muncul Surat Keputusan Menteri Perekonomian Nomor 7145/UBM tanggal 31 Mei 1952 yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan Menteri Perekonomian Nomor 2839/UBM tanggal 28 Pebruari 1953, yaitu tentang kewajiban Daya Kerja Penggilingan Padi.
Kemudian, pada tahun 1954, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 42 Tahun 1954 Tentang Pembatasan Perusahaan Penggilingan Padi dan Penyosohan Beras yang dikenal sebagai Peraturan Pembatasan Perusahaan Penggilingan Padi dan Penyosohan Beras sebagai pengganti “Bedrijfsre glementerings verordening Rijstpellerijen 1940” (Staatsblad 1940 No. 104).
Selanjutnya, muncul Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian Rakyat dan Menteri Perdagangan Nomor 15/P.M.P., Nomor 0083/Sk. th. 1962, Nomor 425/M/Perdag. tanggal 6 Pebruari 1962, yang memperkuat pelaksanaan PP Nomor 42 Tahun 1954.
Intinya, sejak adanya UU Darurat, urusan penggilingan padi berada dalam kontral penuh Pemerintah, sehingga tidak ada pihak swasta yang bebas untuk berusaha dalam jasa penggilingan ini. Kebijakan mengontrol penggilingan beras ini, sangat penting karena berkaitan langsung dengan ketersediaan beras sebagai cabang urusan yang vital bagi rakyat.
Namun, perubahan mendasar dalam penanganan penggilingan beras ini terjadi pada pada masa orde baru, ketika Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 65 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Penggilingan Padi, Huller dan Penyosohan Beras. Huller di sini adalah setiap perusahaan yang digerakkan dengan tenaga mesin dan ditujukan serta digunakan untuk mengerjakan padi/gabah menjadi beras pecah kulit.
Dalam PP ini, pemerintah mengizinkan usaha penggilingan padi dilakukan perusahaan perusahaan berbadan hukum (modal Indonesia) ataupun perusahaan pribadi/swasta asing. Sebab, dalam masa awal orde baru juga diizinkan masuknya penanaman modal asing (PMA).
Kelihatannya sejak saat itu swasta, baik Indonesia maupun asing bisa bebas berusaha dalam bidang penggilingan padi, dimana kebijakan ini tidak mendapat koreksi mendasar dalam era reformasi yang berlanjut sampai saat ini. Untuk itu, momentum terungkapnya skandal beras oplosan ini semestinya menjadi kesempatan untuk membenahi penggilingan yang sepenuh berada di bawah kontrol pemerintah.
Butuh Keberanian Prabowo
Nah, di sini membutuhkan keberanian Prabowo agar Pemerintah mengendalikan penggilingan sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.
Justru, sangat aneh kalau pidato tegas Presiden Prabowo itu hanya dijawab dengan penindakan hukum yang lebih merupakan penegakan hukum ketimbang pencegahan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar bagi petani dan konsumen.
Ketika Pemerintah, misalnya Bulog atau lembaga negara lain menguasai penggilingan, maka kewenangan ini bisa didelegasi kepada cabang Bulog yang tersebar di daerah ataupun bahkan bisa dikelola BUMD, yang secara khusus menangani penggilingan. Dengan demikian, petani bukan lagi menjual gabah tetapi menjual beras kepada pemerintah sesuai dengan harga yang dipatok pemerintah.
Hanya saja, sejauh ini tidak ada terobosan yang berarti karena pemerintah masih terpaku dengan penetapan harga gabah, sehingga ada kesempatan bagi pengusaha atau pihak lain dalam penggilingan yang justru bisa mengontrol stok dan harga beras. Hal ini, semestinya diputus jika benar-benar ada keberpihakan kepada kesejahteraan petani dan konsumen memperoleh beras yang layak.
Untuk itu, ketika Pemerintah tidak mengambil kebijakan radikal untuk menguasai penggilingan, maka kasus beras oplosan ini mungkin akan muncul dalam praktik yang berbeda tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Jadi, hanya dengan kendali atas penggilingan berada di tangan pemerintah, kasus seperti beras oplosan atau semacamnya ini tidak terulang di kemudian hari.
Selain itu, kontrol pemerintah terhadap penggilingan padi akan memungkinkan pemerintah memiliki data riil stok beras, sehingga kalaupun terpaksa ada kebutuhan impor benar-benar untuk menutupi kekurangan stok dalam negeri.
Pemerintah harus menghentikan penentuan harga gabah, tetapi mematok harga peras dari petani yang dibeli melalui penggilingan milik pemerintah. Dengan mengambil alih urusan penggilingan ini, Pemerintah melindungi para petani karena untuk bukan lagi menjual gabah, tetapi menjual beras! Lebih dari itu, Pemerintah secara tidak langsung mempersempit ruang bermain para pemain impor dan mafia beras.
Begitu juga dengan upaya untuk memperbaiki kualitas beras, Pemerintah bisa menangani sendiri revitalisasi mesin atau teknologi penggilingan, sehingga pengolahan padi menjadi beras memiliki kualitas yang baik dan bisa menghindari kerusakan beras selama proses penggilingan. Dengan demikian, serapan gabah petani yang terjadi selama ini bisa diubah dengan menyerap beras petani melalui penggilingan padi yang merupakan monopoli dan milik pemerintah.
Butuh UU Penggilingan Padi
Ketika Presiden Prabowo memandang penggilingan beras sebagai urusan strategis dalam pemenuhan bahan makanan, maka semestinya para pemangku politik, baik partai politik maupun para pembuat Undang-Undang memprioritaskan keberadaan UU Penggilingan Padi. Sebab, sejak Soekarno mengeluarkan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1952, praktis sejak saat itu tidak pernah ada lagi UU yang secara khusus mengatur hal yang sangat mendasar bagi perut rakyat ini.
Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, juga tidak mengatur secara spesifik mengenai penggilingan padi. Sebab, UU ini tampaknya hanya mengatur berbagai aspek terkait pangan, mulai dari ketersediaan, keterjangkauan, konsumsi, keamanan, hingga peredaran pangan. Tetapi, tidak merumuskan instruksi kepada instansi pemerintah tertentu untuk menyelenggarakan atau menangani langsung urusan yang vital dalam persoalan pangan, kecuali mengatur tentang kewenangan perizinan, pengawasan dan pembinaan.
Ketiadaan UU Penggilingan Padi ini mengundang pertanyaan serius mengenai pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kalau berbicara mengenai sistem ekonomi Indonesia, maka tidak mungkin lepas dari pasal 33 UUD 1945. Memang, Indonesia terkesan malu-malu untuk mengakui kalau sistem ekonomi Indonesia merupakan sosialis democrat. Pengingkaran terhadap ide ini menyebabkan ketidakjelasan arah ekonomi, yang berdampak pada tataran implementasi. Sistem ekonomi yang dianut semestinya menentukan arah politik pangan nasional, yang mencakup produksi hingga distribusi pangan.
Pengaturan penggilingan padi yang berada di bawah kontrol negara merupakan mata rantai penting dalam proses produksi dan distribusi beras. Bahkan, penggilingan padi yang berkualitas dapat mengurangi kehilangan hasil selama proses penggilingan, sehingga lebih banyak beras yang tersedia untuk dikonsumsi.
Partai Politik Tak Berguna
Hanya saja, sangat disayangkan, karena sebelum mencuatnya beras oplosan para politisi, termasuk dari partai politik yang mengaku nasionalis dan memihak petani sekalipun tidak sekalipun terlontar keinginan untuk menyentuh persoalan penggilingan beras. Padahal, penggilingan beras ini berkaitan langsung dengan perut rakyat dan nasib jutaan petani, yang oleh sistem diposisikan untuk menjual gabah kepada pihak lain, termasuk kepada tengkulak. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban untuk melindungi keringat petani dengan membeli beras dari petani, dan bukan gabah!
Jadi, sambil menanti—kalau ada–terobosan kebijakan Presiden Prabowo mengenai penggilingan padi, ada harapan besar, baik para pembantu Presiden maupun para wakil rakyat untuk melahirkan UU Penggilingan Padi. Sebab, pada masa silam, urusan penggilingan padi ini dianggap begitu penting sehingga masuk dalam kategori darurat sehingga lahir UU Darurat, bagaimana mungkin persoalan ini tidak dianggap sebagai urusan yang penting dari satu rezim ke rezim yang lain.
Partai Politik tidak cukup hanya pandai berorasi mengenai kepentingan petani, pangan dan kedauatan pangan, tetapi butuh Tindakan nyata melalui produk legislasi mengenai hal yang paling vital untuk melindungi petani dan pangan nasional. Untuk itu, para politisi semestinya tergerak memulai memikirkan dan bertindak untuk melahirkan UU Penggilingan Padi sebagai amanat pasal 33 UUD 1945, yang secara jelas dan tegas disampaikan Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan di hadapan MPR pada 15 Agustus 2025.
Keberadaan UU Penggilingan Padi ini akan memastikan jaminan hukum bagi penyelenggara penggilingan padi, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan beras yang sangat vital bagi Indonesia.
Namun, pengelola negara juga wajib memberikan perhatian terhadap pangan selain beras. Sebab, daerah-daerah di Indonesia secara historis memiliki pangan pokok yang beragam, misalnya seperti sagu, jagung, umbi-umbian. Sebab, bukan rahasia pengabaian terhadap pangan selain beras ini ikut mempengaruhi kebutuhan beras yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Pergeseran pola makan dari pangan lokal ke beras ini tidak lepas peran pemerintah pusat yang sadar atau tidak menyeragamkan beras sebagai makanan pokok. Hal ini berakibat langsung terhadap ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi.
—–
*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation dan Pemerhati Masalah Politik Ekonomi.