Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina *
PADA pekan terakhir Juli 2025, Presiden Prabowo menghentak ketika menurunkan resiprokal tarif (tarif timbal balik) Presiden AS, Donald Trump dari 32 persen menjadi 19 persen. Keberhasilan ini mendapat sambutan pro dan kontra. Sebab, negosiasi tarif ini membawa konsekuensi karena Amerika Serikat menyertakan syarat dalam kesepakatan tarif timbal balik dengan Indonesia.
Persyaratan dari Amerika itu berkaitan dengan sejumlah hal seperti, penghapusan hambatan tarif; menghapus hambatan non tarif bagi ekspor produk industri dan produk pertanian AS, menghapus hambatan perdagangan digital, menyeleraskan keamanan ekonomi, dan meningkatkan standar ketenagakerjaan. Beberapa syarat dari Amerika ini membawa pengaruh besar bagi ekonomi Indonesia karena produk industri, pertanian dan digital akan mengisi pasar Indonesia dengan harga yang kompetitif.
Namun, yang cukup mencuri perhatian dalam syarat keamanan ekonomi, ketika klausul akses terhadap mineral kritis Indonesia menjadi syarat dalam negosiasi tarif timbal balik ini. Padahal, mineral kritis ini merupakan mineral yang sangat penting untuk perekonomian Indonesia dan pertahanan keamanan negara yang memiliki potensi gangguan pasokan dan tidak memiliki pengganti yang layak.
Sebenarnya, dengan penghapusan tarif impor bagi produk AS sudah seimbang dengan penurunan tarif. Apalagi, ada kewajiban Indonesia untuk membeli pesawat Boeing, Migas dan produk pertanian. Untuk itu, sangat mengherankan ketika Indonesia menerima begitu saja klausul mineral kritis untuk menurunkan tarif.
Tim negosiasi tarif perlu menjelaskan hal ini, sebab berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia. Apalagi, kalau Presiden Prabowo hanya menyetujui tanpa memperoleh penjelasan rinci mengenai hal ini. Kalau ini yang terjadi maka Presiden Prabowo terperangkap dalam jebakan negosiasi tarif dimana membuka akses Amerika terhadap mineral kritis.
47 Mineral Kritis di Indonesia
Pada tahun 2023, Menteri ESDM mengeluarkan keputusan Nomor: 296.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis, dimana keputusan ini menetapkan 47 mineral kritis di Indonesia sesuai dengan kriteria bahwa mineral yang menjadi bahan baku dalam industri strategis nasional; mineral yang memiliki nilai manfaat untuk perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara; mineral yang memiliki risiko tinggi terhadap pasokan; dan mineral yang tidak memiliki pengganti yang layak.
Terlepas dari berbagai argumen pembenar yang terlontar dari para pejabat mengenai akses mineral kritis, tetapi tidak mengabaikan adanya fakta bahwa sumber daya alam begitu mudah dinegosiasikan dengan tarif impor. Mungkin dampak dari kebijakan ini tidak segera terasa tetapi generasi mendatang akan merasakan akibat ketika sumber daya alam strategis berada dalam genganggaman asing.
Semua mineral kritis dibutuhkan untuk menyokong industri strategis nasional, tetapi dengan negosiasi impor ini, maka semua mineral kritis berpotensi menyokong industri asing di luar negeri. Apalagi, Indonesia setuju untuk tidak mengenakan batasan impor terhadap mineral strategis.
Dengan situasi ini, sangat ironis, ketika tekad untuk melakukan hilirisasi produk hanya pepesan kosong, karena yang terjadi sumber daya alam Indonesia diambil untuk mendukung industri asing, yang mungkin saja produk akhirnya kembali dikirim ke Indonesia sebagai produk jadi atau setengah jadi.
Bila penguasaan eksploitasi mineral kritis ini dibarengi dengan keharusan untuk membangun smelter atau industri untuk mengurai atau mengolah bahan baku mineral kritis menjadi mineral tunggal, seperti lithium atau uranium dan sebagainya, maka ada industri ikutan dan know how yang hasilnya dapat dinikmati rakyat Indonesia melalui berbagai multiplier effect.
Sebaliknya, jika hanya mengangkut bahan baku mentah seperti yang terjadi selama ini, misalnya nikel di Maluku Utara, timah, tembaga di Pulau Wetar (yang pasti memiliki kandungan emas), Tembagapura dan sebagainya, maka mineral kritis yang terkandung diambil begitu saja tanpa ada kepedulian terhadap dampak eksploitasi yang bisa dianggap brutal ini.
Wake Up Call
Bila pada abad ke-16, harta Maluku dan Nusantara yang ada di atas tanah, seperti cengkih, pala, kayu manis dan sebagainya dikuras dan dibawa ke Eropa untuk dinikmati bangsa asing, maka praktik seperti ini masih terus berlangsung sampai dewasa ini, dengan mengeruk kekayaan alam bawah tanah tanpa memikirkan pembangunan industri turunan untuk menghasilkan produk akhir.
Semestinya tarif resiprokal Donald Trump ini merupakan wakeup call Indonesia dari tidur panjang selama ini. Hal ini sebenarnya memberikan kesadaran bahwa selama ini kekayaan alam dikuras habis negara asing.
Nah, apakah Indonesia masih memiliki kekuatan untuk menetapkan kewajiban pengolahan mineral, termasuk membangun industri turunan? Tidak banyak yang memahami alasan sebenarnya mengapa refinery minyak tidak dibangun Pertamina pada tahun 1970an, sebab alasan yang dikedepankan bahwa Indonesia belum mampu dan biaya mahal utnuk membangun satu refinery pada saat itu. Padahal, roadmap untuk membangun refinery sudah disiapkan Direktur Teknik Pertamina saat itu, termasuk lokasi refinery di Pulau Sambu.
Akibatnya, yang terjadi justru Singapura menjadi pemasok minyak ke Indonesia, sehingga kalau Singapura menutup keran minyak akan membawa dampak serius bagi ekonomi Indonesia. Hal ini tidak beda dengan jaringan internet, yang berada di luar kendali Indonesia yang ketika diputus sepihak makan akan mengembalikan kita ke era telepon rumah. Sangat disayangkan, karena para pemangku kekuasaan tidak pernah belajar dari kegagalan masa lalu.
Ketika kesepakatan ini diteken mungkin belum terasa implikasi bagi industri Indonesia di masa depan, tetapi perlahan tapi pasti kekayaan alam Indonesia bukan sepenuhnya dinikmati Indonesia, tetapi justru digunakan untuk menghidupkan industri negara lain. Untuk itu, mimpi untuk berdaulat secara ekonomi tidak berbanding lurus dengan tindakan atau langkah yang ditempuh pemerintah dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam.
Belum lagi beban lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Kekayaan alam dikeruk untuk dibawa ke luar negeri, di satu sisi masyarakat menjadi korban akibat kerusakan lingkungan tanpa membawa manfaat ekonomi yang signifikan.
Keputusan menjadikan sumber daya alam sebagai daya tawar diplomasi ekonomi bukan saja menunjukkan kelemahan negosiasi, tetapi mempertaruhkan nasib generasi mendatang. Sebab, ketika kesepakatan itu akan ditinjau kembali suatu waktu tidak semudah ketika para pimpinan membubuhkan tanda tangan perjanjian.
Belajarlah Dari Sejarah!
Rupanya para pengelola negara tidak pernah belajar dari sejarah masa lalu. Padahal, pengalaman Indonesia masa lalu lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran berharga ketika sumber daya alam menjadi alat diplomasi politik untuk mempertahankan eksistensi Indonesia dan masih ada terus berlanjut sampai saat ini.
Ketika Indonesia terancam perpecahan setelah penyerahkan kedaulatan pada 27 Desember 1949, kekuatan sumber daya alam Indonesia menjadi daya tawar untuk meredam intervensi dunia internasional terhadap persoalan Indonesia. Konfirmasi paling jelas mengenai masalah ini bisa diikuti dalam proses nasionalisasi perusahan minyak dari era Belanda.
Indonesia hanya mampu melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan minyak di Pangkalan Brandan yang hanya menyisakan puing-puing, yang merupakan cikal bakal dari PT Pertamina.
Tentu sangat menggelitik, mengapa bukan perusahaan minyak di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur yang dinasionalisasi karena lebih menjanjikan secara ekonomis dibandingkan Pangkalan Brandan yang berada dalam kerusakan parah akibat pemboman Belanda, Jepang, Sekutu dan para pejuang Indonesia sendiri agar tidak bisa dimanfaatkan lawan dalam perang. Padahal, misalnya kilang minyak di Plaju dan Sungai Gerong berhasil diduduki Laskar Rakyat, tetapi setelah melalui berbagai negosiasi dan pertimbangan akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan agar laskar rakyat mengembalikan kedua kilang itu kepada pemegang konsesi.
Semua ini tidak lepas dari adanya investasi negara besar Amerika terhadap perusahaan yang beroperasi di Sumatera dan Kalimantan, sehingga peluang nasionalisasi yang sangat mungkin itu adalah Pangkalan Brandan.
Bukan rahasia juga, untuk meredam intervensi asing, kaum kiri mengancam akan menyerang perusahaan asing yang masih beroperasi di Indonesia jika terus berusaha melakukan intervensi terhadap persoalan dalam negeri Indonesia. Situasi ini tidak sulit dibaca, sebab perusahaan asing diizinkan terus mengelola sumber minyak di Indonesia, tetapi dengan imbalan tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, terutama dalam menghadapi berbagai perlawanan daerah terhadap pemerintah pusat pada era 1950an.
Bahkan, kaum nasionalis Indonesia sekalipun seolah tidak berdaya ketika negara asing tetap bercokol di Indonesia, karena taruhan untuk melawan kepentingan asing ini sangat mahal bagi eksistensi Indonesia. Misalnya, berkaitan dengan ladang minyak di Sumatera Utara, Moh. Natsir sebagai Ketua Masyumi dalam sebuah rapat umum di Tanjung Pura (Sumatera Utara) pada tahun 1952 menegaskan Masyumi tidak menentang nasionalisasi ladang minyak BPM, tetapi harus dilakukan secara legal, jika terdapat organisasi yang memadai untuk melakukannya.
Mengenai nasionalisasi ladang minyak di Pangkalan Brandan, Masyumi bersikap bahwa sumur-sumur minyak harus dikembalikan ke BPM. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Masyumi menentang nasionalisasi. Sebab, banyak faktor yang berperan dalam nasionalisasi, seperti sumber daya keuangan, tenaga ahli, kapasitas organisasi, dan kompetensi. Indoneisa belum memiliki cukup sumber daya tersebut, dan organisasi juga belum sempurna. Jika ingin mengeksploitasi ladang minyak, Masyumi ingin mencari lokasi lain di Indonesia.
Natsir berpandangan nasionalisasi ladang minyak, harus dilakukan secara sah dan sesuai peraturan, dan kompensasi harus diberikan. Jika nasionalisasi tidak dilakukan secara sah, negara lain akan meminta pertanggungjawaban. Untuk itu, Masyumi mengambil posisi bahwa sumur-sumur minyak harus dikembalikan ke BPM.
Namun, Masyumi juga khawatir dituduh sebagai agen KMB (konferensi meja bundar).
Begitu juga, bahkan tokoh nasionalis juga ada yang memandang sumur-sumur minyak akan lebih baik dikembalikan ke BPM. Jadi, tak heran pihak yang mengadvokasi pengembalian sumur-sumur minyak kepada BPM segera dicap “pro-modal asing”.
Sementara pendukung nasionalisasi secara khusus menginginkan wilayah Pangkalan Brandan meskipun berada dalam keadaan hancur. Hal ini, tentu karena yang sangat mungkin diambil alih ketimbang perusahaan minyak yang berkembang pesat di Sumatera Tengah atau Sumatera Selatan.
Pada tahun 1956, Pemerintah telah menyatakan bahwa kabinet akan mempertimbangkan pemberian konsesi baru kepada perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia, seperti Royal Dutch Shell, BPM, NIAM (Nederlands-Indonesische Olie Maatschappij), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah dan Shell, dan American Standard Vacuum Company.
Sebelumnya, parlemen sementara RI memutuskan untuk tidak memberikan konsesi baru kepada perusahaan minyak asing. Sebab, setiap keputusan pemerintah yang mendukung konsesi baru kepada perusahaan asing akan menghadapi tentangan keras, terutama dari partai-partai berhaluan kiri. Apalagi, pada tahun 1951, Pemerintah juga mengeluarkan putusan yang melarang pemberian konsesi minyak baru hingga undang-undang minyak baru diberlakukan.
Jadi, setelah mendirikan Permina, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Mayor Jenderal A.H. Nasution, telah memerintahkan seluruh Panglima Kodam di seluruh Indonesia untuk melarang campur tangan terhadap kegiatan operasional BPM, grup Royal Dutch Shell. Perintah ini dikeluarkan untuk memastikan keberlanjutan produksi. Sebab, 70 Persen minyak yang digunakan di Jawa berasal dari BPM. Perusahaan ini memiliki kilang di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.
Selain lapangan minyak di Sumatera Utara, Indonesia juga melakukan nasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda, tetapi dari semua itu yang paling penting adalah kilang Pangkalan Brandan.
Operasional Permina dan untuk memastikan kesiapan ekspor perdana minyak Indonesia ini, pada 6 Mei 1958 Kepala Staf AD Mayor Jenderal Nasution menginstruksikan para komandan militer untuk mencegah siapa pun dalam bentuk apapun, mengganggu operasi perusahaan-perusahaan minyak. Instruksi ini dimaksudkan untuk memastikan kelancaran operasional perusahaan ini. Sebab, segala hal yang berkaitan dengan perusahaan minyak merupakan tanggung jawab pemerintah. Pusat-pusat minyak tersebut terletak di Sumatera Selatan, tempat Shell dan Stanvac memiliki kilang minyak, di Sumatera Tengah, tempat Caltex mengekspor minyak mentah, dan di Kalimantan Timur. Instruksi ini muncul tak lama setelah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) memperingatkan duta besar Amerika di Jakarta melalui telegram bahwa PKI akan memerintahkan pembalasan ekonomi terhadap kepentingan Amerika jika terus melanjutkan intervensi Amerika di Indonesia. Dua perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia dimiliki oleh Amerika. Kemungkinan besar, pemimpin komunis Aidit, antara lain, telah memikirkan perusahaan-perusahaan Amerika ini dalam ancamannya. Sebab, serikat pekerja industri minyak sepenuhnya dikendalikan kaum komunis.
Untuk menjamin kelancaran ekspor minyak, KSAD AH Nasution juga memutuskan semua perusahaan minyak merupakan objek vital yang berlaku sejak 1 Agustus 1958. Keputusan ini sangat penting karena untuk mencegah pemogokan dan penutupan perusahaan oleh karyawan. Jadi, perusahaan minyak yang menjadi objek vital, selain Kawasan Permina di Pangkalan Brandan, juga berlaku bagi kawasan perusahaan American Standard Vacuum dan Caltex, Royal Dutch Shell Group, dan NIAM.
Kalau ditarik lagi dalam persoalan Irian Barat, sangat jelas, bagaimana pembahasan masalah Irian Barat sarat dengan bargaining sumber daya alam. Untuk itu, tak heran, ketika persoalan Irian Barat, Indonesia seolah tidak kesulitan untuk meraih dukungan dunia internasional. Rangkaian fakta-fakta proses Papua Barat dan keberadaan Freeport di Papua tentu akan memberikan sketsa nyata bagaimana kekuatan sumber daya alam menjadi senjata ampuh untuk Indonesia.
Situasi inilah yang menjadi warisan dari para pemimpin Indonesia dewasa ini betapa sulitnya untuk mengambil alih atau untuk membatalkan perjanjian dengan Freeport. Bahkan, untuk meraih saham mayoritas saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Jangan Ingkari Pasal 33
Belajar dari pengalaman seperti ini, kalau tidak hati-hati, maka eksploitasi sumber mineral kritis di Indonesia akan menempatkan Indonesia sebagai pemilik tetapi tidak berdaulat atas kekayaan alamnya. Bahkan, begitu mudah ditukar dengan tarif impor Amerika Serikat.
Sangat berbahaya dan beresiko ketika para “pemain” dalam negeri hanya melihat peluang sebagai mitra Amerika di Indonesia dalam mengelola mineral kritis.
Untuk itu, sebelum persoalan ini menjadi warisan yang menyulitkan posisi generasi mendatang sebaiknya ditinjau kembali karena bukan saja mengingkari pasal 33 UUD 1945, tetapi juga para pembantu Presiden Prabowo lalai untuk menjaga visi dan misi yang diusung Prabowo-Gibran untuk mewujudkan cita-cita besar dalam kehidupan bernegara yang merdeka, berdaulat, sejahtera, adil dan makmur.
Namun, kalau situasi awal kemerdekaan masih dapat dimaklumi ketika sumber daya alam menjadi alat negosiasi politik karena hal itu sangat penting untuk meraih dukungan internasional bagi Indonesia yang baru merdeka. Apalagi, ada berbagai keterbatasan sumber daya manusia dan permodalan. Jadi, sangat mengherankan ketika Indonesia yang sudah berusia 80 tahun dan memiliki kualitas sumber daya manusia dan sumber modal yang lebih dari cukup untuk mengelola sumber daya alam sendiri, justru masih terpaku dengan praktik lama yang tidak lagi relevan dengan zaman Indonesia masa kini, dimana sumber daya alam dijadikan alat negosiasi tarif.
Secara jujur, penulis melihat gejala ini mempertontonkan kelemahan Pemerintah Prabowo-Gibran dalam diplomasi ekonomi, karena rela membiarkan sumber daya alam diakses negara lain dan akan menjadi beban bagi generasi mendatang. Tapi, karena kesepakatan ini sudah terjadi, maka patut diduga adanya kepentingan lain yang menumpangi negosiasi tarif impor untuk mengeruk sumber daya alam baik untuk kepentingan asing maupun untuk kepentingan kelompok dan diri. Tapi, kita berharap semua ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
—–
*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Pemerhati Masalah Ekonomi Politik, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.