JAKARTA- Rencana BPJS Kesehatan melepaskan tanggung jawab pada 8 penyakit menimbulkan reaksi. Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) justru menegaskan bahwa alasan BPJS mengatakan karena defisit, tidak pernah bisa membuktikan, karena tidak ada audit terhadap BPJS.
“BPJS Kesehatan bilang defisit. Emang kita tahu kemana saja aliran dana BPJS? Karena tidak pernah ada audit. Terus minta alokasi tambahan APBN. Kemudian minta kenaikan iuran peserta. Sekarang mereka lepas tanggung jawab pada penyakit-penyakit mematikan. Ini sangat menyakitkan. Tapi yah, semua orang kan dukung BPJS. Selamat menikmati!” tegas Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (27/11).
Sebelumnya disampaikan, anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati, turut angkat bicara terkait rencana BPJS Kesehatan yang akan menghapus tanggungan pendanaan terhadap penyakit-penyakit tertentu yang tidak menular.
Sedikitnya ada delapan jenis penyakit yang pendanaannya tidak ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan dibebankan kepada pasien, yaitu penyakit jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.
“Tapi BPJS Kesehatan sendiri kemudian juga transparan dalam hal keuangannya. Transparan ketika membuat rencana kerja anggaran tahunannya dan transparan di dalam membuat perjanjian-perjanjian, baik dengan pelayanan kesehatan maupun pelayanan obat,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/11/).
Untuk itu, pihaknya meminta agar BPJS Kesehatan memikirkan dan mempertimbangkan tekait rencana tersebut. Disamping itu, BPJS Kesehatan harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan sebelum memutukan kebijakan tersebut.
“Saya setuju kalau Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) mengatakan tidak akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan selama BPJS Kesehatan belum memperbaiki sistem administrasi, operasionalisasi, dan lainnya,” ucapnya.
Mengacu pada UUD 1945, kata Okky, negara memang hadir di dalam kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai kemudian masyarakat diminta membayar dan menanggung biaya sendiri terhadap penyakit tertentu tersebut. Beragam persoalan terkait layanan pasien program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS mengemuka di sejumlah daerah.
“Artinya, kalau masyarakat harus membayar sendiri, negara tidak hadir untuk menyejahterakan rakyatnya,” ujarnya.
Merugi Terus?
Sebelumnya diberitakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berencana melibatkan peserta untuk ikut mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik).
Rencana cost sharing ini akan berlaku bagi peserta dari golongan mampu atau peserta mandiri.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, setidaknya ada 8 penyakit katastropik yang akan dipilih untuk dibiayai dengan skema cost sharing. Yakni penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalasemia, leukimia, dan hemofilia.
Menurut data BPJS, sepanjang Januari-September 2017 ada 10,80 juta kasus dari 8 penyakit katastropik yang menguras biaya BPJS Kesehatan hingga Rp12,29 triliun.
Jumlah itu setara dengan 19,68 persen dari total biaya pelayanan kesehatan yang BPJS Kesehatan hingga September 2017. Penyakit jantung menempati porsi terbanyak dengan 7,08 juta kasus dan klaim mencapai Rp6,51 triliun.
Namun, Fahmi masih belum merinci porsi pendanaan perawatan (cost sharing) yang akan dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, hingga kini BPJS Kesehatan masih menghitung rincian beban yang akan dibagi bersama peserta jaminan kesehatan nasional (JKN).
Jenis penyakit yang banyak menyedot ini tak berbeda dibanding dengan tahun 2015. Delapan penyakit katastropik saat itu adalah penyakit jantung, gagal ginjal kronik, kanker, leukemia, stroke, thalasemia, sirosis hepatis, dan hemofilia.
Bedanya, saat itu persentase dana yang disedot 8 penyakit ini mencapai 23,90 persen dari total pembiayaan BPJS.
Selama ini, BPJS Kesehatan kerap defisit. Penyebabnya, angka beban jaminan kesehatan yang selalu lebih besar dari pendapatan iuran BPJS Kesehatan.
Pada 2014, defisit mencapai Rp3,3 triliun. Setahun kemudian, defisit itu naik menjadi Rp5,76 triliun. Tahun lalu baru surplus Rp508 miliar. Walau surplus, tapi secara kumulatif, belum bisa menutup kerugian tahun sebelumnya.
Sampai pertengahan tahun ini, BPJS Kesehatan mampu mengumpulkan iuran sebanyak Rp35,6 triliun. Tapi pengeluarannya Rp41,5 triliun. Artinya, ada defisit Rp5,8 triliun.
Selama ini, keluhan BPJS adalah masalah iuran. April lalu, Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan, beserta denda keterlambatan. Tapi September lalu, kenaikkan iuran itu belum mampu menolong kas BPJS Kesehatan.
Masalahnya, iuran premi tak sesuai. Misalnya Penerima Bantuan Iuran (PBI) seharusnya Rp36 ribu. Tetapi iuran yang dibayarkan pemerintah itu hanya Rp23 ribu per bulan. Peserta kelas 2 alias Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) seharusnya Rp68 ribu, hanya membayar Rp51 ribu. Peserta kelas 3, preminya Rp53 ribu, tapi selama ini iurannya hanya Rp25.500.
Selama ini, selisih penerimaan dengan klaim ini ditutup dengan suntikan dari pemerintah. Karena ada Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS bahwa pendapatan berasal dari iuran, dan dari bantuan pemerintah. (Web Warouw)