JAKARTA- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kasus kekerasan seksual pada anak di sekolah. Di sepanjang tahun 2019 ini, KPAI mencatat ada 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi dan mayoritas pelakunya adalah oknum guru.
“Kalau kekerasan di pendidikan dari pengaduan yang kami terima itu terjadi penurunan, namun level kekerasannya justru meningkat dan yang agak mengerikan adalah kekerasan seksual karena terjadi peningkatan,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti, di Jakarta, Senin (9/12).
KPAI mencatat mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah guru sebesar 88 persen sedangkan sisanya 22 persen merupakan kepala sekolah. Retno mengatakan guru yang pernah diduga melakukan kekerasan seksual merupakan guru bimbingan konseling (BK), guru olahraga bahkan guru agama.
“Ini pelakunya adalah guru dan wali kelasnya. Mengerikannya guru-guru ini adalah guru olahraga dan guru agama, guru BK. Guru-guru ini seharusnya melindungi anak di sekolah tapi malah justru menjadi pelaku kekerasan,” katanya.
Lebih lanjut, kekerasan seksual terbesar terjadi di lingkungan sekolah dasar. Retno mengatakan kebanyakan modus kekerasan itu karena adanya iming-iming nilai bagus. Dari 17 kasus itu, terjadi di SD 64,70 persen, SMP 23,53 persen, dan SMA 11,77 persen.
“Anak perempuan ataupun laki-laki ternyata memiliki kerentanan yang sama, menjadi korban kekerasan seksual oleh guru atau kepala sekolah di lingkungan sekolah,” demikian Komisioner KPAI, Retno Listyarti di Jakarta, kepada pers.
Guru Ajak Threesome
Menurutnya, tingginya kekerasan kasus kekerasan seksual di SD karena usia anak-anak SD adalah masa usia yang mudah diiming-iming, takut diancam oleh guru, takut nilainya jelek dan tidak naik kelas, serta anak belum paham aktivitas seksual sehingga kerap mudah dibujuk dan tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual.
“Kekerasan seksual cukup mengerikan misalnya kita tidak mengira ada guru mengajak muridnya threesome dengan pacarnya,” katanya
Untuk itu Retno mendesak perlunya pendidikan seksual sejak dini. Para guru dan kepala sekolah seharusya menjadi sosok pelindung anak didiknya dilingkungan sekolah.
Seleksi Ketat
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Retno juga meminta pemerintah untuk lebih ketat menyeleksi tenaga pengajar. Dia juga berharap pihak sekolah lebih peka terhadap lingkungan.
“Screening (penyeleksiannya) ya kayaknya harus lebih ketat, paling tidak jangan sampai mereka memilih guru yang potensi gitu. Kayak yang terakhir memang ada yang memiliki kelainan seks, secara sepintas kan kita tidak bisa lihat ya orang punya kelainan seks,” katanya.
“Nah, ini penting bagaimana sekolah memiliki perlindungan termasuk CCTV, tapi yang pasti adalah bagaimana kita bisa lihat sesama guru. Ini kok kayaknya suka ngumpulin anak sekolahnya itu patut dicurigai, yang gitu-gitu lah,” lanjut Retno.
Sumpah Al-Qur’an
Sebelumnya diberitakan seorang guru konseling di Malang, CH (38), mencabuli 18 pelajarnya. Untuk menutupi perbuatannya ia menyumpah para korban dengan Al Quran agar tak menceritakan peristiwa yang dialami.
“Tersangka menyuruh korban untuk tidak menceritakan kepada orang lain dengan bersumpah di atas kitab suci Al-Qur’an,” ujar Kapolres Malang AKBP Yade Setiawan Ujung saat konferensi pers di Mapolres Jalan Ahmad Yani, Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu (7/12).
“Tapi tidak semua korban menjalani sumpah seperti itu. Ada beberapa korban yang tidak disumpah di atas kitab suci Al-Qur’an dengan hanya berjabatan tangan saja,” sambung Ujung.
Pelecehan seksual dilakukan tersangka di ruang tamu ruang Bimbingan Konseling (BK) ketika jam sekolah bubar. Sebanyak 18 korban kesemuanya adalah pelajar laki-laki yang duduk di bangku kelas 7 sampai 9.
“Perbuatan tersangka dilakukan terhadap murid laki-laki kurang lebih sebanyak 18 orang di ruang tamu ruang BK. Dalam satu bulan, setidaknya satu sampai tiga pelajar menjadi korban pencabulan tersangka,” beber Ujung.
Kasus ini terbongkar, setelah salah satu korban menceritakan perbuatan tersangka kepada orang tuanya.
“Kasus dugaan pencabulan ini dilaporkan pada 3 Desember kemarin, selanjutnya dilakukan penyelidikan oleh Satreskrim sampai kemudian menangkap tersangka di wilayah Turen,” papar Ujung.
Ujung menambahkan, tersangka bisa mencabuli korban dengan menggunakan tipu muslihat. Serangkaian kebohongan dilakukan untuk membujuk para korban agar bersedia dijadikan relawan untuk kebutuhan penelitian disertasi S3.
“Tipu muslihat dilakukan tersangka untuk membujuk para korban. Alasannya untuk kebutuhan disertasi S3 dengan mengambil sampel sperma, rambut kemaluan, rambut kaki, rambut ketiak, dan mengukur panjang alat kelamin korban. Alasan itu yang membuat para korban percaya dan memenuhi keinginan tersangka,” beber Ujung. (Web Warouw)