UNTUK tepat waktu, bulan dan tahunnya secara persis aku sudah lupa, namun yang pasti kisaran tahun 1994-1995 untuk pertamakalinya aku bertemu dengan dirinya. Seorang Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Sudirman (UNSOED) angkatan tahun 1990’an.
Dalam memori yang masih tersisa, seingatku ada 3 kawan mahasiswa yang dikemudian hari membantu kerja-kerjaku membangun SMID Cabang Purwokerto, dan Gepeng demikian biasa dipanggil adalah salah satunya.
Seorang Remaja kelahiran Magelang, dengan ukuran tinggi kisaran 170 cm an lebih serta berbadan sedikit kurus alias ceking,–mungkin mirip dengan Almarhum pelawak legendari Srimulat Gepeng. Ia kemudian diangkat menjadi Ketua SMID Cabang Purwokerto untuk pertamakali dan terakhir kali.
Umur SMID yang relatif pendek menjadikan dirinya dikenal sebagai Ketua pertama dan terakhir SMID Cabang Purwokerto untuk sampai akhir hayatnya.
Lewat Gepeng, Pengki dan Gareng termasuk Alam,–gak tahu kenapa mereka memiliki nama-nama panggilan atau paraban (istilah Bahasa Jawa),– itulah kemudian aku pada akhirnya bisa dipertemukan dengan mahasiswa-mahasiswa UNSOED yang lain untuk membangun SMID Cabang Purwokerto.
Kebetulan sebagai petugas DPO (Departemen Pengembanagn Organisasi) SMID aku mendapat arahan dan tugas untuk melebarkan sayap serta mensemaikan semangat perlawanan terhadap Soeharto yang saat itu sedang menguat-nguatnya.
Dan Purwokerto dengan UNSOED nya adalah menjadi salah satu target perluasan dan pembangunan itu. Kampus-kampus Negeri di setiap kota akan selalu menjadi simbul perlawanan tirani saat itu.
Udara yang cukup dingin dan sejuk untuk masa-masa itu, Kampus UNSOED yang tidak jauh dari lereng kaki Gunung Slamet untuk kemudian hari menjadi salah satu cabang SMID yang memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah perlawanan gerakan mahasiswa era 1990 an.
Daerah Grendeng dimana lokasi UNSOED berada, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwokerto termasuk kawasan yang masih asri dan terkesan berada pada posisi pinggiran untuk ukuran Kabupaten Banyumas. Satu-satunya jalan untuk ke Baturaden kalau lewat Kabupaten Purwokerto pasti akan lewat depan Gerbang Kampus UNSOED. Dengan ruas jalan tidak lebih dari tiga meter cukup untuk berpapasan mobil berlawanan arah, serta track jalan yang lurus dengan dihiasi persawahan di areal sekitarnya dimana para petani selalu rajin memelihara tanaman padi yang sedang tumbuh, memperlihatkan kawasan pertanian yang masih asri.
Biasanya kita memakai Warung Tegal milik Pak Slamet yang posisinya berada persis di depan pintu gerbang Kampus UNSOED, yang hanya dipisahkan oleh ruas jalan menuju Batu Raden, tepatnya pintu Gerbang Fakultas Ekonomi UNSOED dimana Gepang sedang menjalani masa-masa kuliah.
Di Warteg tersebutlah biasanya kami mengadakan pertemuan sambil berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa lain sebelum dilanjutkan rapat-rapat intensif pembangunan SMID.
Kehausan, keingintahuan para mahasiswa akan teori-teori klasik untuk menganalisa situasi ekonomi-politik yang terjadi sedikit mempermudah kami untuk membangun dan menyebarluaskan ide-ide perlawanan terhadap ORBA.
Dilihat dari latar belakang organisasi, banyak dari mereka yang telah aktif di Organisasi Mahasiswa Formal semacam PMKRI, GMNI, PMII, HMI atau organ-organ yang lain, yang kemudian secara intensif banyak membantu pembangunan SMID. Gepeng sendiri sebelumnya telah aktif di PMKRI dan Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam milik kampus.
Tipologi berbeda dengan kota-kota lain, dimana biasanya anak-anak aktifis berseberangan dengan para aktifis Pecinta Alam, khusus Purwokerto saat itu banyak dihuni oleh para aktifis Pencinta Alam.
Setelah cukup pemanasan dengan diskusi kecil-kecilan di Warteg Pak Slamet,— Ku tahu belakangan ternyata Pak Slamet,—Mbah Slamet demikian pada akhirnya aku memanggil beliau, adalah salah satu korban konflik 1965 yang meninggal beberapa tahun belakangan. Salam tunduk dan hormat ku pada beliau,— biasanya kami lanjutkan dengan diskusi intensif dan serius di sekitar Gang Pabuaran atau Sumampir tempat kos kawan-kawan Purwokerto saat itu. Termasuk salah satunya adalah Kamar Gepeng yang ada disekitar Pabuaran.
Di Warteg Pak Slamet ini pula biasanya kami dan para mahasiswa lain menyebar luaskan ide-ide perlawanan. Semacam kantor pusat infomal bagi persemaian perlawanan. Dengan ukuran standard kos mahasiswa 2 X 3 meter ataupun 3 X 4 meter itulah, aku biasanya mengadakan Pendidikan Politik bagi mahasiswa-mahasiswa UNSOED yang dikemudian hari membangun SMID Cabang Purwokerto.
Di kos Gepang itu pula manjadi salah satu tempat dimana aku bisa meletakan barang-barang bawaan untuk menginap beberapa hari di Purwokerto. Seringkali aku harus berpindah-pindah tempat ke kos kawan-kawan yang lain untuk terus bergerilya menyemai semangat perlawanan terhadap tirani.
Bagi kawan-kawan PRD pada umumnya dan kawan-kawan SMID pada khususnya, tentu tidak akan pernah lupa dengan memori Konggres SMID yang diadakan di ruangan terbuka, lebih mirip di tengah hutan, yang masih masuk dalam wilayah Bukit Cendana yang terletak dibawah kaki Gunung Slamet. Ini cara biasa untuk menghindari pembubaran ataupun radar penciuman aparat keamanan. Dengan bantuan kawan-kawan Purwokerto, kami berhasil menyelenggarakan Konggres SMID sebelum beberapa tahun kemudian dinyatakan sebagai Organisasi Terlarang oleh Orde Baru.
Kesiapan, integritas dan komitmen kawan-kawan Purwokerto yang relatif baru berintegrasi dengan SMID untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi pelaksanaan Konggres SMID menunjukan komitmen dan keberpihakan terhadap perjuangan.
Dengan berlatar belakang para Pecinta Alam, serta standard keamanan yang relatif tinggi, kawan-kawan baru ini berhasil menjalankan amanah dengan sempurna.
Berkongres dengan suasana berkemah di Bukit Cendana, dimana kami harus menapaki jalan menanjak dengan ketinggian yang relataif cukup tinggi,—lebih mirip mendaki Gunung,— Konggres SMID kemudian menunjuk Andi Arif sebagai Ketua Umum dan Nezar Patria sebagai Sekjend. Dan kawan Gepeng berperan cukup penting.
Selepas kerusuhan 27 Juli 1996 serta pembubaran yang diikuti perburuan terhadap aktifis PRD dan SMID beserta organisasi mahasiswa lainnya, kami tidak berjumpa lagi. Bahkan bisa dikatakan lost contact.
Berpuluh-puluh tahun aku kehilangan keberadaanya, hingga akhir tahun 2020an baru kami menemukan keberadaan dirinya.
Sempat janjian untuk bertemu di Borobudur Magelang, namun hingga tulisan ini ku buat kami tak sempat merealisasikannya.
Lewat kabar dari seorang kawan, dirimu telah mendahului kami semua yang masih ingin meneruskan cita-cita kebangsaan kita bersama saat itu.
Selamat Jalan Kawan Albertus Purnomo, tugas dan kerja-kerjamu telah usai.
Selamat Jalan gepeng, seorang kawan yang selalu tersenyum dan terus menyebar optimisme akan Indonesia yang lebih baik.
Salam buat Pak Slamet dan kawan-kawan yang terlebih dulu mendahului kami untuk kembali ke Sang Pencipta Yang Agung.
Rest In Peace,
Sugeng Tindak Mas Albertus Purnomo.
Penulis, Kelik Ismunanto, kader PRD, saat ini Pengurus Pusat Partai Rakyat Indonesia Adil Makmur (PRIMA)