Senin, 15 September 2025

P Ramlee dan Siti Nurhaliza Menyatukan Indonesia dan Malaysia

JAKARTA- Tahun 2016 ada kejadian unik dan lucu saat dilakukan aksi demonstrasi ratusan pemuda di depan Kantor Konsulat Malaysia di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

 

Para unjukrasa, menyatakan kekesalannya terhadap aksi pongah Federasi Malaysia yang selalu mengklaim kepemilikan Blok Ambalat, Karang Unarang, Provinsi Kalimantan Utara.

Para demonstrans langsung meneriakkan ganyang Malaysia. Tapi saat bersamaan, sejumlah pengunjukrasa lainnya, mendesak segera menjemput penyanyi lawas nan cantik, Siti Nurhaliza.

Siti Nurhaliza mesti dijemput, kata para demonstrans, agar tidak menjadi korban, jika memang terjadi perang Indonesia dengan Malaysia di dalam merebut kawasan Blok Ambalat.

Siti Nurhaliza, kelahiran Kampung Awah, Temerlok, Pahang, Malaysia, 11 Januari 1979, sangat dikenal di Indonesia. Setiap kali menggelar konser di sejumlah kota di Indonesia, istri Datuk Khalid Mohammad Jiwa ini, dikerubuti para penggemar.

Saking populernya, suka atau tidak suka, publik di Indonesia sekarang lebih mengenal Siti Nurhaliza, ketimbang Perdana Menteri Malaysia, Datuk Najib Tun Razak.

Demikian pula dengan P Ramlee, kendati sudah meninggal dunia tahun 1973, tapi karyanya amat sangat dikenang dan digandrungi masyarakat di Indonesia.

Malah sejumlah stasiun televisi lokal di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Aceh Darussalam dan lima provinsi di Kalimantan, dalam periode tertentu selalu memutar ulang film komedi besutan P Ramlee.

  1. Ramleeatau nama sebenarnyaTeuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh (lahir di Pulau Pinang, 22 Maret dan meninggal dunia dalam usia 44 tahun di Malaysia, tanggal 29 Mei 1973.

Ayahnya berasal dari Lhokseumawe (Aceh) yang menikahi Che Mah Hussein pada tahun 1925 di Kubang Buaya, Butterworth, Malaysia.

Lahir di Indonesia, P. Ramlee, sangat dikenal di Malaysia. Film-film komedinya disukai semua publik di Asia Tenggara yang bisa menggunakan rumpun Bahasa Melayu. 

Budaya memang terbukti mampu menyatukan masyarakat lintas negara. Banyak sekali lagu-lagu pop Indonesia, seperti karya Rinto Harahap, sangat digandrungi di Malaysia.

Karya seni sebagai implementasi dari budaya pulalah sekarang bisa menyatukan masyarakat di Indonesia dan Malaysia.

Memang dari aspek ideologi, Indonesia dan Malaysia memang tidak mungkin bersatu. Bahkan ideologi dianut kedua negara, pernah saling bertolak belakang di era Perang Dingin, 1945 – 1991.

Indonesia berakar ideologi sosialis yang sudah disesuaikan dengan alam dan budaya lokal, yakni Pancasila. Bukti Indonesia berakar ideologi sosialis, dalam salah satu sila berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Malaysia Liberal

Federasi Malaysia sendiri, menganut ideologi liberalis, karena tahun 1962 dibentuk Inggris. Pilihan ideologi liberalis, dimaksudkan untuk membendung partai komunis berkembang pesat di Federasi Malaysia.

Di era Perang Dingin, Presiden Soekarno, menjadi panutan para pejuang di sejumlah kawasan Asia Tenggara. Soekarno betul-betul menjadi panutan di dalam upaya membentuk sebuah negara.

Tapi rakyat Indonesia seperti yang diucapkan berkali-kali oleh Presiden Soekarno, sedikitpun tidak bermaksud, baik dalam pikiran maupun tindakan untuk bermusuhan dengan rakyat Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara.

Karena sebagian besar dari mereka adalah bangsa sedarah sedaging dengan rakyat Indonesia sendiri. Indonesia tidak bermaksud menghancurkan atau sekedar mengklaim negeri-negeri itu bagian dari Indonesia.

Justru rakyat Indonesia melalui pemerintahanannya berusaha memupuk persahabatan dan solidaritas di antara rakyat rumpun Melayu, agar mencapai masyarakat adil dan makmur secara bersama-sama.

Rakyat Malaya dan Indonesia bukanlah sekedar bangsa serumpun, tetapi juga seperjuangan. Pada awal tahun 1945, Encik Ibrahim Yaakob dan kawan-kawannya (para tokoh nasioanalis Malaya) menganggap sudah tiba saatnya bagi Jepang untuk memerdekakan Malaya bersama-sama Indonesia, kemudian masuk ke dalam Indonesia Raya.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, mereka menjumpai Jenderal Terauchi (Panglima Tertinggi tentara Jepang) di Gunseikan Taiping, Perak.

Tuntutan tersebut diterima oleh Sekutu. Sehingga pada Juli 1945 rakyat Melayu sempat menjadi Bangsa Indonesia Raya.

Pada 8 Agustus 1945, berkibarlah Sang Merah Putih di Singapura, sampai saat Inggris mendarat di sana. Akhirnya, Sang Merah Putih dengan 12 bintang kuning dijadikan bendera perjuangan gerilya Bangsa Melayu dan Malaya.

Tak lama kemudian Soekarno dan Mohammad Hatta bertolak ke Indocina (Vietnam) untuk menerima pernyataan Jenderal Terauchi yang intinya memberikan keleluasaan bagi Bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian, 13 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Malaya bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta di Gunseikanbu, Taiping, Perak.

Ketika itu, Encik Ibrahim Yaakob, Burhanuddin, dan pemuka rakyat Malaya ingin menggabungkan Malaya dengan Indonesia Raya. Namun Dwitunggal Indonesia (Soekarno – Hatta) tidak dapat membuat keputusan begitu saja.

Karena merupakan sesuatu yang belum pernah dibicarakan sebelumnya. Rakyat Malaya kemudian mengambil keputusan sendiri. Tiga hari berturut-turut (15, 16 dan 17 Agustus 1945) mereka menyelenggarakan Kongres Rakyat Malaya di Kuala Lumpur.

Bersatu Dengan Indonesia

Hasilnya, keputusan berjuang demi kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia. Keputusan dipelopori Burhanuddin, kemudian didukung Onn bin Jafar.

Kemudian, Encik Ibrahim Yaakob berangkat ke Singapura untuk menarik Giyungun menjadi tentara kebangsaan. Juga akan dikirim utusan ke Jawa untuk mengatur penggabungan Semenanjung Malaya dengan Republik Indonesia.

Namun rakyat Malaya yang penuh harap itu akhirnya masygul dan terharu berhadapan dengan kenyataan Republik Indonesia yang terdiri dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, ternyata hanya meliputi wilayah Hindia Timur Belanda saja.

Khusus di wilayah Sarawak, Sabah dan Brunei, Soekarno – Hatta, menginginkan, menjadi negara berdaulat sendiri, terpisah dengan wilayah Malaya di semenanjung.

Hal ini bisa dirasakan ketika Stephens Kalong Ningkan, Ketua Menteri Sarawak, membacakan deklarasi bahwa Sabah dan Sarawak telah disetujui rakyat untuk bergabung dalam Malaysia.

Pembacaan deklarasi Stephen Kalong Ningkan pada 4 September 1963, lebih cepat 10 hari dari rencana Sekretaris Jenderal PBB, U Thant yang rencananya akan diumumkan pada 14 September 1963.

Stephen Kalong Ningkan saat itu berada dalam tekanan Inggris dan Malaya, sehingga dia tega meluluh-lantakkan perasaan rakyat yang memendam rindu kemerdekaan.

Implikasi pernyataan sepihak Ketua Menteri Sarawak, Stephen Kalong Ningkan, membuat Presiden Soekarno naik pitam, marah meledak-ledak.

Presiden Soekarno marah,  karena tipu-daya dan kelicikan Inggris dengan memperalat Stephen Kalong Ningkan, berlangsung kasat-mata di depan mata Tim PBB.

“Kami tahu sekarang bahwa Malaysia tidak akan bisa menjadi tetangga yang baik, dan kami tidak akan takut sama sekali,” kata Presiden Soekarno, sebagaimana dikutip Cindy Adams, seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat.

Pada 13 Februari 1963, Presiden Soekarno, memerintahkan Menteri Luar Negeri, Soebandrio, untuk memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta, Leslie Fry.

Presiden Soekarno menuding pembentukan Federasi Malaysia adalah konsep kolonialis untuk mempertahankan kepentingannya merampok kekayaan  Bangsa Kalimantan Utara.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno, menegaskan, Indonesia akan berperang dengan Inggris terkait pencaplokan Sabah, Sarawak, dan Brunei.

Konfrontasi dengan kepentingan Inggris di Malaysia, terhenti setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, 1 Juli 1996. Kedua negara rujuk, 11 Agustus 1966. (Aju)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru