JAKARTA- Peran auditor teknologi sangat penting bagi kemajuan industri pertahanan RI. Tidak adanya auditor teknologi yang memberi penilaian terhadap kualitas industri pertahanan nasional, adalah penyebab utama terus munculnya polemik terkait alutsista. Pengamat militer Connie Rahakundini menyatakan, tak adanya auditor teknologi malah makin memapankan kerja sama khusus PT Dirgantara Indonesia (DI) dengan Airbus.
“Selama ini masyarakat hanya menerima informasi satu arah soal kemajuan industri pertahanan RI, tanpa memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenarannya. Karena itu, industri pertahanan kita memerlukan adanya auditor teknologi, agar lebih transparan,” kata Connie kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (27/4).
Connie mencontohkan, tidak adanya audit teknologi terhadap PT Dirgantara Indonesia, membuat setiap adanya penawaran kerja sama dari produsen alutsista selain Airbus selalu dilihat sebelah mata.
“Tidak adanya audit teknologi, PT DI demi menjaga monopoli Airbus, selalu berlindung di balik wacana adanya upaya asing mematikan BUMN unggulan kita,” ujar Connie.
Empat Dekade
Dia melanjutkan, Airbus sudah bekerja sama dengan PT DI selama 40 tahun. Namun, hingga hari ini Indonesia tidak punya heli buatan Indonesia. Ironisnya, kerja sama PT DI dengan Airbus yang berjalan selama empat dekade tapi dipandang minus benefit bagi industri pertahanan Tanah Air.
“Selama 40 tahun bekerja sama, Indonesia cuma menjadi agen penjual heli milik perusahaan itu, sementara proses transfer pengetahuan Airbus ke industri pertahanan hanya 7 persen,” katanya.
Padalah, Tiongkok yang baru 20 tahun bekerja sama dengan Airbus sudah mendapat transfer teknologi 100 persen. Akhirnya, sekarang Tiongkok sudah bisa memproduksi sendiri helikopter tempur.
“Benefit itu jauh dari skema kerja sama Airbus dengan BUMN Tiongkok. Walau kerja sama berlangsung 20 tahun, tapi Airbus sudah memberikan transfer pengetahuan ke Negeri Tirai Bambu itu 100 persen,” jelasnya.
Dia berpandangan, jika ada auditor teknologi dan mendapat sokongan fasilitas dari BPPT, maka industri pertahanan akan lebih makin terbuka dengan klaim kemajuannya tersebut
“Kita baru mampu membuat komponen, bukan membuat Heli. Bandingkan dengan Airbus yang baru 20 tahun kerja sama dengan RRC, Airbus sudah beri ToT 100%,” papar Connie.
Hanya Jadi Agen
Ia menambahkan, dari seri Z5 sampai Z9, baik design lisensi maupun production line ada di BUMN RRC. Keanehan yang terjadi pada industri perhanan Indonesia dibawha monopoli Airbus ini tidak boleh didiamkan. Karena ini berurusan dengan kedaulatan dan kemampuan dalam negeri Indonesia.
“Kenapa PT DI manut saja 40 tahun kerjasama dengan Airbus, cuma menjadi agen penjual Heli. Ini aneh. Bukan ini tujuan didirikannya Industri Pertahanan RI. Cougar contohnya, ToT kita cuma 7%. PT DI harus jelas mau spesialisasi kemana, agar optimal. Jangan semua diambil sendiri lalu tak ada yang jadi,” tegasnya.
Saat ini Indonesia sedang menerima sejumlah tawaran kerja sama Transfer of Technology (ToT 100%) yang datang dari beberapa pihak. Bahkan termasuk dari merk papan atas dunia yang siap membagi 100% teknologi canggihnya ke RI.
“Tiap penawaran kerja sama dari produsen alutsista selain Airbus dipandang sebelah mata. Selalu mentah karena PT DI selalu menuding tawaran ToT 100% sebagai cara asing membunuh industri pertahanan RI,” Tegas Connie. (Web Warouw)