Jumat, 29 Maret 2024

Pancasila, Ruang Publik dan Nikita Mirzani

Pesan Nikita Mirzani yang beredar di media sosial beberapa waktu lalu, menegaskan Pancasila. (Ist)

Tahun 2021, ditengah Pandemi Covid-19 kemampuan bangsa Indonesia diuji untuk memastikan pelaksanaan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Nikita Mirzani telah memberi inspirasi bahwa mayoritas bangsa Indonesia harus berani mengibarkan dan melaksanakan Pancasila. Untuk itu, Bergelora.com memuat percakapan dengan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Romo Benny Susetyo. Video wawancara bisa disaksikan di Bergeloralah Channel https://youtu.be/xBxuVcwaI4w  yang berjudul  Wawancara Romo Benny Susetyo dari BPIP: Jangan Biarkan Ruang Publik Dibajak Ideologi Kematian! (Redaksi)

Sebenarnya, apa tantangan terberat Pancasila dewasa ini?

Ya..tantangan kita ini, jujur, (soal pelaksanaan) sila kelima,– keadilan sosial. Masih banyak kemiskinan yang memicu munculnya radikalisme. Memang tidak semudah balik telapak tangan. Tidak mudah agar nilai Pancasila itu menjadi praksis kebijakan. Kebijakan itu harus dirasakan. Nah ini, bagaimana membangun keseimbangan negara, ekonomi dan warga. Keseimbangan ini sangat perlu. Pancasila itu ideologi bangsa yang secara praktis mampu memberikan titik temu negara, pasar dan warga. Keadilan itu terjadi kalau ada titik temu. Nah di sini persoalannya. Karena situasi saat ini tidak lepas dari warisan masa lalu yang korup, saat Pancasila tidak diaplikasikan. Tantangannya bagaimana mengaplikasikan. Ini tidak mudah.

Soal birokrasi turun-temurun. Ini membutuhkan terobosan kebijakan. Misalnya, Bu Mensos Risma itu mengaplikasikan pasal 34. Itu aplikasi. Pak Jokowi mengaplikasikan sila ketiga dan kelima. Infrastruktur luar jawa. Terjadi perkembangan daerah terpencil. Selama ini hanya Jawa, jadi butuh kesadaran bernegara, kebijakan harus utamakan pelaksanaan Pancasila.

Mengapa sampai saat ini masih ada kelompok yang tampaknya masih susah menerima Pancasila?

Ya itu masih ada, tapi  kelompok kecil. Kelompok seperti itu akan selalu ada di semua negara. Karena mereka mendapatkan ruang ekspresi lewat  media sosial karena tidak ada kontrol. Saat dirasakan  kesejahteraan, keadilan, kebebebasan tidak terpenuhi, muncullah ideologi utopis. Seolah-seolah kalau dijalankan murni akan mencapai semuanya. Utopis itu muncul karena situasi ketidakpastian, situasi ekonomi, ketidakadilan sosial, yang menimbulkan, bertumbuh dan berkembang seperti jamur. Ini tidak boleh dibiarkan. Peranan negara hadir untuk menyetop.  Ini ideologi kematian. Negara harus bisa bebaskan ruang publik yang dibajak ideologi kematian. Mengapa? Karena mereka takut hidup, menyebarkan kekhawatir, kecemasan. Bagaimana peranan medsos harus dikontrol, sehingga harus bangun optimisme. Kita sedang hadapi persaingan global. Sejak 18 Agustus 1945, sudah selesai. Pancasila sudah selesai. Ideologi final, sehingga kita bisa menghadapi situasi ke depan.

Pandemi covid ini mengubah perilaku ekonomi, bisnis dan sebagainya. Hanya Bangsa yang bersatu yang mampu menghadapi ini, bangsa dengan energi  positif. Kalau kita reaktif terus-menerus, kita akan semakin tertinggal. Butuh visi yang sama. Kita tidak bisa lagi multitafsir. Tidak bisa lagi, masing-masing memiliki tafsir sendiri. Butuh yang namanya kesadaran berbangsa. Situasi saat ini lebih berat dari krisis 1998. Semua dunia hadapi. Kalau kita masih hadapi soal seperti intoleransi, kita akan tertinggal. Kita tidak bisa reaktif terus. Tidak bisa lagi. Harus bangun optimisme dan mengaplikasikan nilai Pancasila dalam hadapi covid-19.

Seperti apa negara kontrol media social yang dimaksud?

Negara kontrol dalam arti regulasi, sehingga mendorong stabilitas politik, agar investasi ekonomi bergerak. Kalau suasana yang damai sejahtera tidak ada, bagaimana investasi tumbuh, bagaimana negara tumbuh. Sekarang masing-masing negara selamatkan dirinya. Atau mempertahankan diri. Mereka bersatu. Karena masing-masing selamatkan dirinya. Situasi ekonomi ini melindas semua negara.

Romo Benny Susetyo dari Badan Pembinaan Idelogi Pancasila. (Ist)

Bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk lebih membumikan nilai Pancasila?

Tentu ada yang  menjadi prioritas. Yang dilakukan Menag memoderasi beragama. Itu harus dikampanyekan. Kita bersaudara dan saling membantu. Inspirasi baru. Bukan aspirasi. Kalau itu berjalan akan damai sejahtera. Stabilitas politik, ekonomi tumbuh. Membumikan bagaimana beragama yang moderat itu merupakan aplikasi sila kesatu. Itu yang menjadi dasar. Bagaimana pengambil kebijakan itu menumbuhkan situasi kondusif politik. Politik identitas harus selesai. Ya kalau masih politik identitas nggak pernah maju kita.

Penerapan nilai Pancasila membutuhkan keteladan, tapi keteladanan ini sangat kurang. Justru banyak pejabat publik yang tidak mencerminkan nilai Pancasila. Tanggapan Romo?

Iya, problemnya karena yang ditampilkan di publik itu yang ada kasus. Nggak adil juga. Banyak yang berbakti buat bangsa. Ada jutaan orang. Yang diangkat media yang kontroversial. Ini nggak adil. Kalau yang ditangkap KPK yang ditampilkan, ya kita jelek terus. Ke depan, bagaimana menggeser media menampilkan jutaan orang baik. Orang baik itu dipublikasikan, dikenalkan dan itu jadi pilihan alternatif kita.

Bisa disebutkan beberapa tokoh, misalnya?

Ya banyak. Misalnya ada Bu Risma. Ada KSAD Andika kan kelihatan nasionalisnya. Ada Panglima, Kapolri. Ada banyak yang tegas dan semua pegawai berbakti. Kalau ada yang korupsi ya berapa persen. Mengapa?  Karena sistem korup. Biaya politik tinggi. Coba nanti dipikir kalau kampanye (parta politik-red) efesien. Kurangi biaya ini. Pasti bisa kok. Ini perlu ada keinginan politik. Parpol dibiayai negara, APBN. Kalau kita mau. Tapi, political will yang nggak ada. Harus ada tekanan publik. Ke depan keberagaman sebagai modal ekonomi, sosial, budaya. Di situ Pancasila yang menyatukan. Agama inspirasi yang ada pencerahan. Tapi kalau masih manipulasi agama, kita sulit jadi bangsa yang modern. Ini tantangan. Saya lihat Indonesia optimis. Apa lagi dengan Menag, Mensos. Menteri-menteri profesional di bidangnya. Jangan pertentangan asal politik, profesional.

Keberadaan BPIP belum benar-benar operasional. Apa kendalanya?

Kendala itu ada regulasi. BPIP beda dengan BP7. BPIP tidak punya kaki di bawah. Untuk itu harus bangun sinergi dengan lembaga lain. Misalnya, kerjasama dengan Kemendagri dan memanfaatkan teknologi. Seperti membuat animasi yang ditonton jutaan orang. Itu agar Pancasila diterima milineal. Anak nggak mau didoktrin. Ke depan nggak mungkin dengan cara doktrin. Tapi memanfaatkan media kreatif bagaimana buat hal yang menarik. BPIP rangkul yang punya follower, untuk mengembangkan moderasi, toleransi, kebersamaan, persaudaraan. Itu bagian dari ikon Pancasila. Memang tidak bisa satu atau dua tahun. Untuk itu  Pendidikan Moral Pancasila itu perlu diajarkan kembali, upacara di setiap Senin. Perlu revisi Undang-Undang Sisdiknas,

Apakah perlu melakukan upaya yang mirip dengan P4 pada masa lalu, meski perlu perbaikan?

Metodeloginya harus berbeda. Konten tetap, Ideologi Pancasila. Kita tidak perlu Manggala, tapi bersama dengan berbagai pihak yang memiliki pengaruh. BPIP harus siapkan materi, tapi bukan doktrin. Materi yang intinya mendorong kalau persatuan itu sangat penting. Paling penting lagi bagaimana ideologi jadi praksis kebijakan, itu yang ditunggu. Pemimpin paling bawah itu aplikasikan dalam kebijakan. Misalnya, tidak diskriminasi. Membumikan dalam praksis kebijakan, bukan dalam moral pribadi tapi tidak dijadikan aplikasi kebijakan.

Jokowi sudah rintis. Infrastruktur sila ketiga dan kelima. Kalau mau pragmatis cukup Jawa saja. Karena Pemilu ditentukan Jawa, tapi (tidak demikian-red). Pembangunan insfrastruktur luar Jawa (digalakkan-red). Memang ada persoalan. Tetapi role model sudah jalan. Nah, demokrasi ini memang role Pancasila. Model seperti ini cocok atau tidak. Ini harus dipikirkan. Ini butuh ruang saling berikan ide gagasan, untuk melengkapi dan koreksi yang kurang. Demokrasi memang biaya mahal. Bagaimana bisa dikurangi sehingga nilai Pancasila musyawarah mufakat tercapai. Rasa keadilan dan keterwakilan daerah itu sangat penting.

Bagaimana dengan pemilihan langsung ini memperkuat atau melemahkan penerapan nilai Pancasila?

Ya kita lihat dulu, bisa perkuat dan bisa melemahkan. Kuat kalau parlemen, kepala daerah mengaplikasikan Pancasila. BPIP dengan KPU dan Bawaslu mengupayakan bagaimana idelogi ini jadi praksis kebijakan, nanti bisa dilihat paparan visi misi. Harus itu yang diuji publik.

Karena bisa saja calon kepala daerah itu memiliki rekam jejak yang justru tidak mendukung toleransi?

Ya mereka cari dukungan publik. Manipulasi agama ya ada. Itu politik identitas. Kalau politik identitas tidak laku dengan sendiri akan berubah. Ruang publik harus digunakan untuk mempromosikan nilai Pancasila jadi keadaban publik. Keadaban publik jadi keadaban politik. Ini problem dari transisi demokrasi. Ya ini masih proses. Ini akan kembali kalau ada pemimpin yang visioner, majemuk, beragam. Misalnya Pangdam bertindak, ternyata banyak pujian. Itu menunjukkan yang dulu tertidur, beragam, majemuk banyak dukungan.

Tapi kan sebelum Pangdam ada Nikita Mirzani?

Iya artinya, ketika orang ada keberanian. Orang takut bersuara. Menunggu keberanian untuk memutus kebuntuan bersuara. Muncul orang berani (seperti Nikita-red). Yang selama ini (masyarakat-red) takut,– terus bersuara. (Masyarakat-red) sudah lama tunggu itu. Orang cinta Pancasila besar (jumlahnya-red), tapi selama ini menuggu. Seolah senyap. Tidak berani. Tunggu orang yang berani,– ternyata nggak ada masalah kok,– baru bergerak. Ini refleksi kita.

Sebenarnya orang dukung (Pancasila-red) luar biasa, berbagai kalangan. Hanya tidak ada stimulus. Kalau ada yang berani baru bergerak. Sekarang jangan seperti ini lagi. Bagaimana jadi habitus bangsa,– jadi cara berpikir, bertindak, berelasi,– maka dibandingkan dalam perilakunya. Ini seharusnya. Tanpa ini nggak ada gunanya. Pancasila harus internasilasasi dalam seluruh aspek kehidupan. Pancasila bukan jargon. BPIP harus menginternalisasi Pancasila dalam praktek hidup berbangsa dan penyelenggara negara. Kalau nggak, nggak ada artinya.

Selain figur seperti Risma, KSAD, Pangdam, ada banyak figur ada juga orang seperti Nikita?

Iya itu peran strategis. Banyak figur. Artinya banyak orang itu ada. Bagaimana internalisasi. Bukan moral absrak. Kita jangan terjebak moral abstrak,– yang ukuran moralnya  kesalehan individual, bukan kesalehan sosial. Gitu lho. Moral publik itu penting,– ya itulah nilai Pancasila.

BPIP perlu memberikan penghargaan terhadap figur yang berusaha mengaplikasikan Pancasila. Caranya?

Tiga tahun ini (BPIP-red) sudah berikan penghargaan kepada meraka yang memperjuangkan Pancasila menjadi keadaban publik. Kita berikan penghargaan pendidikan, kesehatan, volunteer, analis, banyak orang hebat di Indonesia kurang tampilkan di publik. BPIP juga tampilkan serial orang hebat di Hari Ibu (22 Desember 2020 kemarin-red). Orang bicara Pancasila itu bicara prestasi, kemajuan, moderasi. Bukan jargon tapi aplikasi. Kita harapkan peran medsos, TV publik mempromosikan nilai Pancasila. Kalau dipromosikan terus-menerus akan mempengaruhi perilaku.  Kan ada teori komunikasi seperti itu. Teori kultivasi. Jujur saja, ruang publik dibajak oleh mereka yang ajarkan ideologi kematian. Ini yang akhirnya ubah perilaku. Kita semua ini berdosa karena membiarkan itu terjadi. Ke depannya harus digandeng,– tiga,– pemerintah, pasar dan warga harus bersinergi. (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru