Selasa, 7 Oktober 2025

PANTESAAAN…! 8.311 Peraturan Menteri Tumpang Tindih Hambat Investasi

Kabinet Presiden Jokowi yang memproduksi 8.311 Peraturan Menteri. (Ist)

JAKARTA- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat dalam masa pemerintahan Jokowi hingga Oktober 2018, berbagai kementerian sudah mengeluarkan 7.621 permen. Jumlah ini tentu tidak wajar untuk satu periode pemerintahan. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, dari tahun 2000 hingga 2015, hanya terbit 8.311 permen. Hal ini disampaikan Agil Oktaryal, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK) kepada SHNet dan dimuat kembali Bergelora.com di Jakarta, Selasa (30/7)

“Sekian banyak peraturan ini memiliki potensi tumpang tindih, menghambat akses layanan publik, memberi ketidakpastian hukum, dan menghambat kemudahan berusaha. Muaranya tentu menghambat program-program pemerintah.

Ia menegaskan, banyak peraturan ini juga tidak sesuai dengan perencanaan pembangunan negara atau sesuai perencanaan tapi tidak efektif dalam pelaksanaan. Bahkan tidak sedikit yang ketika diimplementasikan, bertabrakan dengan peraturan lain baik secara vertikal maupun horizontal.

Regulasi untuk memulai usaha di Indonesia, misalnya. Untuk proses pra pendaftaran saja diatur oleh 9 UU, 2 PP, 4 perpres, dan 20 permen. Sementara peraturan untuk proses pasca pendaftaran ada 1 UU, 5 PP, 1 perpres, dan 8 permen. Alhasil, untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan banyak biaya, waktu, dan prosedur yang harus dilalui.

“Dengan mengubah Undang-Undang dan membentuk Badan Regulasi Nasional, pemerintahan Jokowi bisa memaksa kementerian untuk mengikuti proses harmonisasi dan sinkronisasi layaknya UU, PP, dan perpres,” ujarnya.

Dengan kewajiban itu, Jokowi menurutnya bisa meminimalkan adanya peraturan menteri tidak harmonis dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tidak hanya itu, Jokowi bisa membatasi materi muatan peraturan menteri untuk hal-hal teknis yang bersifat teknis administratif saja. Jika ini dilakukan, jumlah peraturan menteri yang berlebihan bisa ditekan.

“Sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensial yang memegang kendali penuh atas kementerian, tentu tidak sulit bagi Jokowi untuk melaksanakan langkah-langkah segera ini,” ujarnya.

Sebelumnya ia menjelaskan, Indeks dari Bank Dunia yang mengukur kemampuan tersebut memperlihatkan skor mutu regulasi Indonesia dari tahun 1996 hingga 2017 selalu berada di bawah 0 (dari skala -2,5 hingga 2,5). Bahkan di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2017, Indonesia hanya menempati posisi kelima dengan skor -0,11. Teringgal jauh dari Singapura yang memiliki skor 2,12 di peringkat pertama.

“Untuk meningkatkan mutu regulasi yang ada sekarang, langkah pembenahan paling realistis yang dapat Jokowi lakukan dalam waktu dekat adalah menata persoalan regulasi di tingkat kementerian,” tegasnya.

Setidaknya menurutnya ada dua upaya mendasar yang dapat dilakukan. Pertama, benahi jumlah peraturan menteri yang terlalu banyak. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan menuntaskan perubahan Undang-undang (UU) No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-undang ini akan mengontrol kementerian dalam mengeluarkan aturan baru.

Menurutnya, selama ini, menteri memanfaatkan kewenangan yang dijamin dalam Pasal 8 undang-undang tersebut untuk mengeluarkan aturan baru, karena langkah tersebut dibolehkan “berdasarkan kewenangan.” Pasal ini menjadi sarana kementerian menyalurkan ego untuk menerbitkan banyak peraturan.

Mayoritas peraturan menteri (permen) saat ini dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki menteri atau kementerian, bukan berdasarkan peraturan yang lebih tinggi. Dengan menghilangkan frasa “berdasarkan kewenangan” dalam UU yang baru, maka nantinya permen hanya dapat dibentuk jika ada perintah atau amanat langsung dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Artinya, permen bisa dibuat jika ada perintah langsung dari UU, peraturan pemerintah (PP), dan peraturan presiden (perpres). Dengan demikian, ketiga produk peraturan perundang-undangan tersebut dapat menjadi mekanisme kontrol dan pembatas bagi kementerian untuk mengeluarkan aturan baru,” katanya.

Badan Regulasi Nasional

Kedua, menurutnya, menata fungsi regulasi yang tersebar di kementerian lewat Badan Regulasi Nasional Fungsi regulasi yang tersebar di banyak kementerian sudah seharusnya disatukan ke dalam satu Badan Regulasi Nasional langsung di bawah kendali presiden. Fungsi regulasi yang tersebar saat ini membuat menteri leluasa mengeluarkan peraturan tanpa memperhatikan kebutuhan negara.

“Nantinya, badan ini akan mengontrol jumlah regulasi yang keluar dengan menyesuaikan kebutuhan perencanaan pembangunan nasional. Badan ini juga menjadi koordinator menteri dalam mengeluarkan regulasi. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

Cara ini menurutnya di beberapa negara seperti Belanda, Jepang, Jerman, dan Korea Selatan terbukti berhasil mengurangi ego kementerian dalam mengeluarkan begitu banyak peraturan dan membuat kabinet bekerja lebih efektif.

“Jepang, misalnya, membentuk Dewan Reformasi Regulasi (Council for Regulatory Reform, CRR) pada tahun 2001 di dalam Kantor Kabinet–tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri–agar badan itu independen dan kuat dalam memberi masukan langsung ke Perdana Menteri. Peningkatan kelembagaan terus dilakukan dan saat ini Jepang memiliki Unit Revitalisasi Pemerintah dan subkomite regulasi dan reformasi sistem yang merupakan kelanjutan dari CRR,” jelasnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru