JAKARTA – Bagi masyarakat yang mencemati perkembangan politik di Indonesia, keterpilihan Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), moderasi beragama dan pencopotan 4 Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Agama, memang bagian dari agenda konsolidasi politik Presiden Joko Widodo.
Agenda politik di dalam menjabarkan Program Nawacita, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya. Berkarakter secara budaya, diterjemahkan secara lebih spesifik dalam Program Moderasi Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia.
Yahya Cholil Staguf, pria berusia 55 tahun kelahiran Rembang, Provinsi Jawa Timur, 16 Februari 1966, sebelumnya sebagai Katib Aam, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 2021-2026 setelah memperoleh suara terbanyak dalam Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung, Jumat, 24 Desember 2021.
Yahya Cholil Staquf mengungguli Ketua Umum PBNU 2016 – 2021, Said Aqiel Siradj (68 tahun). Berdasarkan penghitungan, Yahya Staquf memperoleh 280 suara atau lebih tinggi dari perolehan suara minimal, yakni 277 suara, untuk mengungguli Said Aqiel Siradj, dari jumlah 552 suara saat pemilihan bakal calon ketua umum.
Pemilihan Ketua Umum PBNU diawali pemilihan bakal calon ketua umum oleh 552 pemilik suara yang berasal dari pengurus wilayah dan pengurus cabang NU. Dua bakal calon ketua umum yang memperoleh suara terbanyak dipilih lagi menjadi ketua umum.
Dalam pemilihan, Yahya Staquf memperoleh 327 suara, diikuti Said Aqiel Sirodj ada 203 suara, As’ad Ali (72 tahun) ada 17 suara, serta masing-masing satu suara untuk Marzuki Mustamar dan Ramadan Bayo. Ada satu suara yang abstain dan satu suara dinyatakan batal oleh panitia pemungutan suara.
As’ad Ali merupakah tokoh intelijen, pernah jadi Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Di era pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid atau Gus Dur, 1999 – 2021, As’ad Ali, dipercaya membuka jalinan komunikasi dengan sebagian besar negara di Timur Tengah, lantaran lama bertugas Arab Saudi, Yordan, Syuriah, Lebanon, Eropa hingga Amerika serikat.
Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU dua periode, 2010 – 2020, merupakan figure yang bisa diterima dengan baik di kalangan mayarakat luas, terutama non Islam, karena tingkat penghargaannya atas keberagaman Indonesia.
Said Aqiel Siradj, telah berhasil menempatkan NU sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan paling depan di Indonesia, mendukung Pemerintahan Presiden Joko Widodo, memberantas tuntas aksi radikalisme yang selalu berakhir dengan tindak kejahatan terorisme.
Pertama, NU terus mendorong agar Undang-undang (UU) Anti Terorisme dipertajam, agar mampu mendeteksi secara dini potensi-potensi radikalisme.
“PBNU mendukung lahirnya Undang-Undang Anti Terorisme yang lebih tajam dan lebih mampu mengantisipasi potensi terjadinya aksi terorisme,” tandas Said Aqiel Siradj, ketika membacakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) PBNU periode 2015 – 2020 di aula Universitas Islam Negeri Raden Intan (UINRI) Lampung, Kamis, 23 Desember 2021.
Kedua, mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika agar serius dan tegas menutup situs-situs yang selama ini menyebarkan paham radikalisme, termasuk melalui media sosial (medsos).

“Karena dari sinilah akar paham yang menyuburkan aksi terorisme di Indonesia,” sambung ulama yang lahir di lingkungan Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat itu.
PBNU sejauh ini, menurut Said Aqiel Siradj, telah mendorong dan akan terus mendorong agar lembaga-lembaga pendidikan NU dapat menciptakan daya kritis generasi muda dalam hal literasi, sebagai modal untuk mencerna informasi di dunia maya dan memerangi konten-konten radikalisme di media sosial.
Sabtu, 17 Februari 2021, Said Aqiel Siradj, mendesak Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, menutup situs online beraliran wahabi.
Rabu, 27 Februari 2019, saat membuka Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat, Said Aqiel Siradj, mengingatkan semua pihak yang tidak mendukung Pancasila sebagai ideologi Indonesia, silakan angkat kaki dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Said Aqiel Siradj, pula, berada di barisan paling depan mendukung penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beraliran wahabi, dan kemudian mendukung pelarangan berbagai aktifitas Front Pembela Islam (FPI) terhitung Rabu, 30 Desember 2020.
Dengan demikian, keterpilihan Yahya Cholil Staguf jadi Ketua Umum PBNU, 2021 – 2026, sebagai langkah regenerasi di dalam tubuh organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, itu.
Apalagi selama ini, Yahya Cholil Staguf, memiliki jaringan luas, terutama dekat dengan Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus.

Yaqut Cholil Qoumas
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Presiden Joko Widodo, telah menempatkan orang kepercayaan di segala bidang di dalam memberantas paham radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Di samping telah menerbitkan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tanggal 21 Juni 2018, tentang: Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002, tentang: Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Presiden Joko Widodo, telah menempatkan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dan Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi pada hasil Pemilihan Umum Presiden tahun 2019.
Pelantikan Yaqut Cholil Qoumas (46 tahun) menjadi Menteri Agama Republik Indonesia, menggantikan Jenderal (Purn) Fachurul Razi, Rabu, 23 Desember 2020, menjadi langkah nyata pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengedepankan peran Kementerian Agama di dalam membendung paham radikalisme di Indonesia.
Ini bisa dilihat dari langkah Yagut Cholil Qoumas (adik kandung Yahya Cholil Staguf) memperkenalkan Program Moderisasi Beragama sebagai program unggulan.
Moderasi beragama cara pandang, sikap, dan praktik beagama dalam kehiddupan bersama, dengan cara mewujudkan hakikat ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa
Bagi Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja, Dr. Joni Tapingku, M.Th., kata “moderasi” berarti penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator”.
Berati orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.
Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.
Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan yang sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas nama agama, adalah kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak perlu.
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan suatu sikap keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains), seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme.
Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada berbagai kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama untuk menjadikan agama sebagai sumber nilai-nilai yang merawat kebinekaan.
Presiden Indonesia, Joko Widodo, menurut Joni Tapingku, mengajak tokoh‑tokoh agama dan umat beragama untuk memberikan wawasan keagamaan yang Iebih dalam dan luas lagi kepada umat masing-masing, karena eksklusivisme, radikalisme, dan sentimen-sentimen agama cenderung bertumpu pada ajaran-ajaran agama yang terdistorsi.
Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama bangsa ini sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan sebagai kekayaan dan modal sosial Indonesia.
Keberagamaan pemberian Tuhan
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted).
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama.
Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman itu tak urung kadang terjadi.
Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja.
Tapi Tuhan memang Maha Menghendaki agar umat manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu, bukankah keragaman itu sangat indah? Kita harus bersyukur atas keragaman bangsa Indonesia ini.
Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.
Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan.
Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama.
Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya.
Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
“Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya., serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara beragama sekaligus bernegara,” kata Joni Tapingku.
Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.
Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan.
“Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya,” ujar Joni Tapingku.
Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.
Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antaragama).
Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.
Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi
beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.
Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama Tang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif.
Di sisi lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi Tang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.

Urgensi moderasi beragama
Secara umum, jawaban pentingnya moderasi beragama, karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dielaborasi lebih lanjut, ada setidaknya tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama.
Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan.
Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksi‑aksi eksploitatif atas nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan.
Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.
Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah.
Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya.
Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama.
Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan.
Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Selain dari tiga poin besar di atas, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu, melainkanjuga dengan komunitas atau lembaga.
Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Kesamaan nilai moderasi ini pula yang kiranya menjadi energi pendorong terjadinya pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia, Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el-Tayyeb, pada 4 Februari 2019.
Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document), yang di antara pesan utamanya menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, menurut Joni Tapingku, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.
Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.
Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan.
Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan.
“Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks keagamaan.”
“Sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya,” kata Joni Tapingku.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya.
“Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama,” kata Joni Tapingku.
Empat Direktur Jenderal Dicopot
Moderasi beragama di kalangan umat Islam di Indonesia, sudah dikenal melalui konsep Islam Nusantara yang dimotori Nahdlatul Ulama. Jadi konsolidasi di kalangan Islam, tengah berjalan dalam menjalani moderasi beragama di Indonesia.
Sayangnya, tidak demikian dengan masyarakat non Islam. Malah kesannya, kalangan masyarakat beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Budha di Indonesia, menjadi tidak penting menjabarkan program moderasi beragama, dengan dalih radikalisme di Indonesia, identic dengan Agama Islam.
Padahal, masalahnya tidak sederhana itu. Karena radikalisme, begitu pula terorisme, masuk ke dalam masyarakat atau golongan masyarakat yang rentan terpapar dalam semua lini dari berbagai agama. Rentan terpapar, dalam konteks ini, berarti mereka yang dekat dengan akses, mempunyai komunikasi, saluran media dan sebagainya.
Radikalisme menurut Kepala Sub Direktorat Kontra Propaganda Direktorat Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Sujatmiko, meliputi empat hal yaitu anti-Pancasila, anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), anti-Kebhinekaan dan menganut paham takfiri atau mengkafir-kafirkan orang.
“Apalagi tidak sama agamanya pasti dibilang kafir. Sama agamanya-pun kalau tidak sesuai dengan aliran mereka dibilangnya murtad,” ujar Kolonel (Inf) Sujatmiko dalam diskusi “Kita Indonesia, Kita Pancasila” di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jakarta, Rabu, 28 Mei 2019.
Paham radikalisme, papar Sujatmiko, selalu pasang-surut, dan pandai mengikuti perkembangan. Radikalisme, baik secara offline lewat pertemuan-pertemuan, dan online, yang massif di dunia maya ini terus bergerak.
Meski demikian, pada prinsipnya, paham ini selalu memanfaatkan kondisi nasional yang kritis.”Tidak ada, kalau dalam dunia pendidikan, satu kampus-pun, tidak ada satu pendidikan-pun di Indonesia ini yang imun (kebal) terhadap paham radikalisme dan terorisme.”
“Betul-betul mereka masuk dalam berbagai lini. Ini betul-betul tantangan,” sebut Sujatmiko.
Tantangan terhadap Pancasila untuk kondisi saat ini, terutama jika berhadapan dengan radikalisme, adalah bagaimana masyarakat Indonesia mengaplikasikan konsepsi tersebut dengan berbagai inovasi yang praktis.
Di sisi lain, Sekretaris Deputi VI Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigadir Jenderal Polisi Mamboying, mengatakan, tantangan yang dihadapi Pancasila saat ini sungguh berbeda dibanding era sebelumnya.
“Jadi kalau tantangan bangsa kita dahulu kala itu kan yang namanya perang itu cuma sekali, perang antar negara. Bukan perang antar saudara.”
“Kalau perang saudara ya gampang nyebutnya, konfrontasi, konflik sosial dan sebagainya.”
“Jadi yang sekarang, tantangan ini, bagi kami (bisa di atasi dengan) memberikan bagaimana hal-hal positif disampaikan dalam media,” kata Brigadir Jenderal Polisi Mamboying di Jakarta, Rabu, 28 Mei 2019.
Berkaitan dengan itulah, empat direktur jenderal di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia dicopot dari jabatannya, terhitung 6 Desember 2021. karena dinilai tidak memiliki program aplikatif moderasi beragama di lingkungan masyarakat beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Budha di Indonesia.
Empat orang yang dicopot, yaitu Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Yohanes Bayu Samodro yang telah menjabat sejak pada Senin, 10 Agustus 2020.Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia, Prof. Dr.Thomas Pentury, M.Si yang menjabat sejak Rabu, 2 Agustus 2017.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia, Tri Handoko Seto, dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha Kementerian Agama Republik Indonesia, Caliadi, dimana keduanya dilantik bersamaan pada Rabu, 2 Agustus 2018.
Empat direktur jenderal ini, dinilai tidak memiliki program moderasi beragama yang sejalan dengan Kemementerian agama dengan umat Katolik, Kristen, Hindu dan Budha di Indonesia.
Paling dirasakan, adalah di kalangan umat Katolik di Indonesia. Dalam banyak hal, Yohanes Bayu Samodro, sering diilustrasikan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik rasa Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Karena seakan-akan Yohanes Bayu Samodro,hanya menempatkan dirinya sebagai utusan organisasi Gereja Katolik di Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kinerja Yohanes Bayu Samodro, masih jauh dari harapan. Salah satu para meternya, tiap tahun Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, hanya mendapat porsi anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kurang dari Rp1 triliun tiap tahun.
Ini lantaran Yohanes Bayu Samodro, tidak mampu membangun jaringan komunikasi di lingkungan internal Kementerian Agama Republik Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Komisi Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Belum lagi, tugas Yohanes Bayu Samodro yang tidak maksimal di dalam mensoalisasikan pentingnya keberadaaan Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKat) pada masing-masing keuskupan di Indonesia, untuk mencetak kader pendidik bidang studi Agama Katolik.
Karena Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, hanya memiliki 1 perguruan tinggi negeri, yaitu STAKat Negeri Pontianak.
Yohanes Bayu Samodro, tidak memiliki program aplikatif mendukung inkulturasi Gereja Katolik hasil Konsili Vatikan II (1965) dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagaimana telah digaungkan Pahlawan Nasional Indonesia, Mgr Albertus Soegjapranata SJ, yakni jadilah warga negara Indonesia seratus persen dan umat Katolik seratus persen.
Padahal dalam kondisi sekarang, sebetulnya, Albertus Soegjapranata, merupakan tokoh moderasi Indonesia, karena mengingatkan warga Indonesia yang beragama Katolik harus berkebudayaan asli Indonesia, sebagaimana sekarang dijabarkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.
Inkulturasi Gereja Katolik dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia hasil Konsili Vatikan II, 1965, adalah bentuk lain moderasi beragama di Indonesia sebagai program unggulan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, Yohanes Bayu Samodoro, dalam mendukung Program Moderasi Beragama, itidak bijak melihat kebudayaan asli bangsa Indonesia yang di dalam aplikasinya di mana dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.*
Dismas Aju, Pemimpin Redaksi/Chief Editor DIO-TV.COM Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.