Terorisme berbasis ajaran agama yang salah masih terus berlangsung, khususnya di Indonesia. Apakah yang menggerakkan mereka, Hassan Aoni dari Omah Dongeng Marwah di Kudus menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Hasan Aoni
APA yang diburu oleh anak-anak muda penggendong ransel berisi bom? Seorang pemuda berusia 22 tahun, berkaos hitam dan bercelana jeans dengan headset menggantung di telinga, keluar dari rumah malam itu dengan niat ibadah. Bukan untuk tarawih atau memburu malam lailatul qodar pada hari ke 29 Ramadhan 1440 H, 3 Juni 2019, lalu di Solo, tapi untuk menjemput ajal.
Rofik Asharudin, nama pemuda asal Solo, itu dengan penuh emosi pada jam 22.30 wib tiba di depan pos pantau Kartasura, Sukoharjo, Solo. Duduk sejenak dan memerhatikan sekeliling, sedetik kemudian ransel berisi bom yang digendongnya meledak. Seorang saksi mata melihat itu dari jarak dekat. Rofiq Asharudin gagal terbunuh, hanya bersimbah darah di seluruh tubuhnya.
Andai terbunuh, nyawa itu konon akan diserahkan sebagai mahar untuk calon pengantin perempuan yang akan saya ceritakan berikut ini. Kalau benar begitu, ini pernikahan dengan mahar termahal di dunia, yang dilakukan dengan pesta sangat sederhana.
Inikah ibadah, jihad dengan membawa misi suci agama? Saya tak ingin menggambarkan ini, tapi dendam kesumat Rofik Asharudin, dan siapapun yang telah menghilangkan sifat kemanusiaannya untuk mencelakai orang lain, serupa dracula yang mencari darah demi menguasai dunia seperti kisah iblis Vlad III dari Rumania pada 1448. Misi yang sangat jahat bagi kemanusiaan.
Berbagai pertanyaan muncul. Untuk tujuan politik apa bom dinyalakan kalau pemerintah dalam semua kebijakan sudah melibatkan wakil mereka dan mengindahkan moral agama? Untuk siapa ledakan diperuntukkan kalau sudah tidak ada yang pantas dipersalahkan dengan alasan agama di negeri yang tidak mendasarkan pada agama?
Mengapa di negeri yang keramahtamahannya disanjung dunia, yang toleransi beragamanya disusun jadi proposal perdamaian, yang hukum dan sistem demokrasinya menjamin semua ketidakadilan bebas diuji di ruang akademik dan peradilan, ternyata masih ditemukan pemuda yang memilih mati tanpa bertanya?
Begitu banyak pertanyaan berkecamuk, dan setiap jawaban hanya akan membuat kita yang bukan golongan mereka terburai-burai logikanya seperti usus mereka yang terberai.
Mendorong saya tertarik menghubungkan motive perempuan di balik misi bunuh diri oleh alasan agama. Pada setiap pengakuan pelaku bom yang gagal, selalu ditemukan motive perempuan di balik ledakan itu. Siapakah dia? Sedahsyat apakah kecantikan dan pengaruhnya sampai mampu menyihir anak muda memilih mati melebihi pengaruh ibu kandungnya sendiri?
Dalam berbagai sumber yang sahih, perempuan itu disebut sebagai bersayap seperti burung, bermata bulat dan berpandangan teduh, berusia muda dan selamanya perawan. Kita mengenal perempuan dengan ciri itu sebagai bidadari. Perempuan yang setia melayani laki-laki di surga. Diakah “oknum” yang sedang kita bicarakan ini? Aktor “intelexual” di balik peristiwa pengeboman itu?
Pada 2015, di Palestina, seorang pemuda yang akan meledakkan diri ditangkap polisi dan mengatakan hal serupa tentang bidadari. “Ada 72 bidadari sedang menungguku di surga, jadi kenapa aku harus punya satu di dunia?” Bahkan kalimat selanjutnya membuat kita sebagai saudara seperti seember remah-remah tak berarti, “Jika aku pergi meledakkan diri dan aku lihat keluargaku ada di sana, aku akan tetap meledakkan diri.”
Para demagog penggugah bunuh diri tampaknya tak mau kalah dengan strategi teorisasi ilmu pengetahuan Barat yang dipatri pada mata pelajaran dan bahan kuliah di negeri-negeri Timur meski tak selamanya tepat. Mereka transformasikan juga motive bidadari dari Timur Tengah kepada anak-anak muda di sini agar rela berjihad meledakkan diri.
Yang menarik, kita menemukan kesamaan pada setiap peristiwa peledakan ini. Siapa yang paling tertarik dengan hadiah bidadari? Selalu kaum muda dan lelaki, dan bukan perempuan atau lelaki udzur. Bukan cuma alasan patriarkhis kaum ini selalu berada di ruang depan, tapi oleh hadiah bidadari mereka menjadi sasaran ini. Seolah surga hanya milik laki-laki dan tak menyisakan bonus “bidadara” untuk kaum perempuan.
Terbukti, meski surga dalam ayat-ayat al-Quran menyebutkan lingkungan yang indah dengan empat jenis sungai yang mengalir di bawahnya: air, susu, khamr, dan madu (QS Muhammad: 15), tapi tak cukup mendorong pembela lingkungan dan penggemar makanan berjihad meledakkan diri melawan perusak lingkungan dan pembantai binatang. Tak ada janji yang mampu memanggil lelaki muda memanggul senjata untuk berjihad kecuali untuk alasan bidadari. Magnitud paling energik melebihi sumber energi apapun.
Dan kita mulai memasuki tema yang sangat abadi dalam perbincangan semua generasi, yaitu cinta dan sex. Dan kaum lelaki selalu menjadi aktor yang mewakili dinamiknya drama ini. Seperti para pelaku bom bunuh diri.
Para penafsir al-Quran dan Hadits menglasifikasikan warna material dan patriarkhal sebagai motive pembangun keimanan pada ayat-ayat yang turun di Makkah. Dan bidadari secara material adalah kisah yang paling diminati. Berbeda dengan yang turun di Madinah. Kisah bidadari ditafsiri secara seimbang dan dimaknai tidak hanya sebagai sosok perempuan, tetapi cinta dan kedekatan, seperti kajian feminis Amina Wadud.
Tapi, ukuran-ukuran material diyakini paling mudah ditransformasikan, bahkan didistorsi oleh mentor-mentor mereka kepada kaum muda yang sangat sederhana dalam melihat agama dan dunia. Jika senjata dan uang tak lagi bisa dilawan dan dikuasai, maka nyawalah yang paling mampu menandingi. Inilah harta terakhir yang diberikan Tuhan pada semua yang hidup. Dia senjata paling mutakhir melebihi kecanggihan teknologi apapun. Kita tahu, semua teori bela diri, teknik menguasai senjata, dan apapun strategi untuk mempertahankan diri dan melawan, tak akan berguna jika yang menguasai teknik itu tak punya nyali. Kelompok pembunuh diri memiliki semua keberanian itu.
Tujuan material yang distortif ini dapat dipahami dengan mengibaratkan surga dan kebahagiaan. Jika surga adalah kebahagiaan, maka bidadari adalah uang. Tapi, uang, kata Michael Norton, tak bisa membeli kebahagiaan. Seperti bidadari tak bisa menerbangkan nyawa pelaku bom bunuh diri meraih surga. Surga hanya bisa diraih dengan kedamaian, dengan hidup bersama saling berbagi dan mencintai, seperti dicontohkan Nabi Muhammad seumur hidupnya.
Jika bidadari dalam pengertian material itu yang menjadi tujuan, hanya bandit yang bisa melakukannya. Pada setiap uang yang dirampoknya, bandit tak pernah bisa mendapatkan kebahagiaan, karena untuk menikmatinya harus terus bersembunyi dalam pelarian.
Lalu, apakah yang dilakukan oleh Rofik Asharudin merupakan kegilaan delutif, yang menerima bisikan entah dari siapa melalui headsetnya? Jika yang didengarnya serupa lagu, pasti nada dan syair itu melampui ritme psikologis. Mengingatkan kita pada “Gloomy Sunday”. Lagu yang bikin banyak pemuda di Hungaria dan Amerika bunuh diri pada kurun 1940an. Bahkan bikin Rezső Seress, komposernya sendiri, pada 1968 melompat dari apartemennya dan mati.
Pada fase delusi, sebuah lagu dengan nada dan syairnya, ditambah jargon perlawanan yang terus diteriakkan, akan terdengar bagai mars kematian yang memanggil-manggil. Orang waras banyak menghindari delusi, karena dampaknya yang destruktif. Sedang, Rofik membutuhkannya untuk memantik emosi.
Menguasai mereka sepenuhnya dengan cara kita tak mungkin bisa mempertemukan, bahkan hanya akan meledakkan isi kepala. Tapi, membunuh bidadari-bidari yang menari di kepala mereka tanpa memahami mereka lebih dulu, seperti seorang awam mencoba memegang kepala kobra tanpa pawang. Pemerintah butuh pawang-pawang itu saat ini, bukan untuk menjinakkan bom, tapi pemanggulnya. Tak mudah menjinakkan jiwa-jiwa yang telah mati sebelum ajal.
Di sebuah pesta pernikahan di bulan Syawal yang sebentar lagi akan dirayakan, suara merdu Ustadz Jeffry yang membawakan lagu “Bidadari Surga” akan diperdengarkan untuk pengantin dan para undangan. Bidadari fana di pelaminan, surga dunia di dalam kamar, lebih indah buat pasangan pengantin ini daripada bidadari imaginer yang harus disunting dengan menyerahkan nyawa.