JAKARTA- Kementerian Perindustrian jajaki kerja sama dengan Boeing untuk mengembangkan industri dirgantara atau aerospace. Industri penerbangan di Indonesia harus mampu secara mandiri menciptakan suku cadang untuk atasi kendala rantai pasok.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menerima kunjungan perwakilan Boeing, Kamis (23/1/2024). President of Boeing Southeast Asia Penny Burtt hadir mewakili Boeing.
Sebagai negara kepulauan, Riza melalui siaran persnya, mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar di industri dirgantara untuk mengatasi masalah konektivitas dan rantai pasok. Kemitraan dengan Boeing tidak hanya membantu konektivitas, tetapi juga mengembangkan potensi industri dirgantara.

Riza mendorong Boeing memperluas kolaborasi dengan Indonesia di beberapa sektor. Di antaranya adalah pemberian lisensi untuk industri maintenance, repair, and overhaul (MRO) pesawat terbang, serta pembangunan pusat pelatihan penerbangan di Indonesia. MRO ini merupakan tindakan pemeliharaan, perbaikan, dan perombakan.
”Salah satu yang potensial adalah MRO. Indonesia punya GMF AeroAsia dan Batam AeroTechnic yang membutuhkan peningkatan kapabilitas untuk mengembangkan ekosistem industrinya, sehingga Boeing dapat mendukung dengan memberikan lisensi ke MRO kami,” kata Riza.
Pabrik Boeing di Everett, Seattle, Amerika Serikat, Selasa (26/6/2024). Ribuan karyawan di Everett mengerjakan fabrikasi dan produksi pesawat, pengembangan produk, keamanan dan keselamatan penerbangan, hingga sertifikasi pesawat. Area produksi lainnya di pabrik ini mencakup hangar cat, jalur penerbangan, dan pusat pengiriman..
Masih merujuk siaran pers yang sama, Riza mengatakan, keberadaan industri MRO Indonesia melalui GMF AeroAsia dan Batam AeroTechnic menjadi pontensi besar dan bukti bahwa Indonesia mampu menjadi pemain di sektor perawatan pesawat.
Namun, industri MRO masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan suku cadang. Hal ini membuat sebagian besar pesawat komersial melakukan perawatan di luar negeri.
”Di sektor MRO, memang isunya beberapa komponen dan suku cadang harus diimpor dari Amerika Serikat. Nah, apakah ini nantinya bisa diproduksi di Indonesia saja dengan melibatkan industri-industri dalam negeri,” ujar Riza.

Guna meningkatkan kapabilitas industri MRO, Riza melanjutkan, perlu ada tindak lanjut dengan melakukan kerja sama antara Kemenperin dan Boeing. Ia berharap melalui nota kesepahaman, kolaborasi dengan Boeing bisa semakin luas, mulai dari transfer knowledge dan penerimaan tenaga magang, dan juga mencakup asistensi kepada MRO Indonesia dalam meningkatkan kualitas komponen dan sumber daya manusia.
Pasar MRO dirgantara dan pertahanan Indonesia menghasilkan pendapatan senilai 1,308.5 juta dollar AS pada 2021 dan diperkirakan akan mencapai 2,015.9 juta dollar AS pada 2030. Indonesia menyumbang 1,2 persen dari pasar MRO dirgantara dan pertahanan global pada 2021.
Pasar MRO dirgantara dan pertahanan Indonesia menghasilkan pendapatan senilai 1,308.5 juta dollar AS pada 2021 dan diperkirakan akan mencapai 2,015.9 juta dollar AS pada 2030. Indonesia menyumbang 1,2 persen dari pasar MRO dirgantara dan pertahanan global pada 2021.
Selain MRO, Riza menambahkan, saat ini Indonesia membutuhkan pusat pelatihan penerbangan seperti yang telah dilakukan Boeing di India. Lokasi di kawasan industri di Batam dan Bintan di Provinsi Kepulauan Riau bisa menjadi opsi pusat pelatihan karena cukup strategis.
Pemerintah juga mendorong Boeing untuk memberikan dukungan dalam upaya penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk menekan emisi karbon di industri penerbangan.
Pesawat terbang komersial untuk penerbangan domestik berada di Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (29/7/2024). Tiket penerbangan domestik untuk beberapa kota tujuan di Indonesia masih dikeluhkan masyarakat karena harganya yang relatif tinggi.
Pemerintah saat ini berupaya melakukan efisisensi biaya penerbangan antara lain dengan membentuk Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Salah satu faktor penyebab biaya penerbangan melonjak adalah biaya operasional bandara serta biaya operasional dan non operasional yang ditanggung maskapai seperti avtur. Transportasi udara menjadi pilihan utama bagi masyarakat karena lebih menghemat waktu. Keperluan untuk bekerja menempati prioritas pertama pengguna pesawat terbang selain untuk tujun berwisata.
Saat ini, peralihan penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar berbasis energi hijau untuk pesawat terbang juga masih menjadi tantangan. Dukungan dan kemitraan dengan Boeing bisa mewujudkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon di sektor transportasi udara.
Mengutip rilis yang sama, Burtt mengatakan, pertemuan dengan Riza dimaksudkan untuk mendengar prioritas pemerintah di bidang pengembangan ekonomi, arah kebijakan industri, serta pengembangan sektor industri dirgantara dan penerbangan.
Burtt melihat Indonesia punya potensi untuk berkontribusi terhadap pengembangan industri penerbangan yang berkelanjutan.
”Kami juga berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama tersebut dengan perusahaan Indonesia dalam meningkatkan kapabilitas dan membawa mereka menjadi penyedia komponen Boeing global,” katanya.
Sebelumnya, Boeing sudah membidik Indonesia sebagai pasar penerbangan sekaligus pemasok suku cadang. Indonesia merupakan pasar menjanjikan karena 40 persen populasi penduduk di Asia Tenggara berada di Indonesia. Indonesia juga merupakan pasar aviasi terbesar di Asia Tenggara sebelum pandemi Covid-19.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan, Indonesia bakal menjadi pasar aviasi keempat terbesar di dunia pada 2036. Hal ini pula yang mendorong Boeing bekerja sama dengan sejumlah penyuplai suku cadang Indonesia untuk mendukung pesawat-pesawatnya.
Sejauh ini Boeing bekerja sama dengan empat perusahaan penyuplai di Indonesia. Perusahaan itu adalah PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Pudak Scientific, Collins Aerospace Indonesia, dan Jabil Circuit Indonesia. Mereka dinilai ikut andil dalam sistem kapabilitas dan standar performa pesawat pabrikannya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, industri MRO di Indonesia yang bergerak di bidang suku cadang harus mampu mandiri memproduksinya.
Selama dua tahun terakhir, Boeing telah keliling untuk melihat siapa yang mempunyai kemampuan untuk membuat suku cadang sendiri, seperti ke PTDI dan GMF. Kemampuan ini dinilai penting untuk rantai pasokan di kawasan regional. Rantai pasokan suku cadang ini yang masih menjadi masalah dan perlu diselesaikan.
Pelaku industri penerbangan itu pun sudah berupaya meningkat kualitas dan kualifikasi mereka. Ini bukan lagi berpikir dan mengatakan apakah industri siap atau tidak, tapi memang sudah harus membangun dan menciptakan iklim industri yang berpengaruh secara global.
”Pontensi MRO kita besar dengan kehadiran beberapa industri. Dan tentu MRO harus punya hubungan yang baik terkait pelayanan hingga modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pabrik,” kata Gerry.
Pesawat lepas landas meninggalkan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (7/7/2024). Survei Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) menunjukkan, mayoritas responden, yang merupakan konsumen industri aviasi, memilih maskapai berdasarkan harga tiket. Artinya, konsumen menggunakan jasa penerbangan berdasarkan prioritas harga tiket yang diberikan. Semakin murah tiketnya, semakin banyak orang yang terbang menggunakan maskapai tersebut.
Survei Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) menunjukkan, mayoritas responden, yang merupakan konsumen industri aviasi, memilih maskapai berdasarkan harga tiket.
Tantangannya, menurut Gerry, Indonesia kekurangan hangar. Sementara itu, pelayanan harus cepat. Jika pelayanan terganggu, pesawat akan menumpuk dan maskapai akan rugi.
Kemudian tantangan terkait bea masuk bagi sebagian besar suku cadang pesawat sebesar 2,5 persen hingga 22,5 persen. Dari 472 HS Code suku cadang pesawat, baru 123 HS Code yang mendapat bea masuk 0 persen.
Dari data itu, kata Gerry, banyak negara sudah membebaskan biaya masuk. Hal ini yang memengaruhi rantai pasokan. HS Code ini memang sudah ada nol biaya, tapi ada yang tanggung pemerintah. Biaya masuk yang ditanggung pemerintah ini bukan solusi.
”Bukan masalah uang atau biaya, melainkan birokrasi yang harus keluar tanpa bea masuk. Ini ada potensi oknum untuk bermain. Itu sangat memengaruhi maskapai,” katanya.
Beberapa bulan lalu, Gerry mencontohkan, ada satu pesawat rusak, sementara suku cadangnya tidak ada. Lalu suku cadang diimpor dan proses impornya cepat dan dikenai bea masuk. Namun, ada oknum yang tidak mau cepat mengerjakan pesawat yang rusak itu.
”Padahal dari sisi maskapai, pesawat itu harus segera diperbaiki agar tidak semakin rugi karena harus membayar parkir yang tinggi. Kenapa harus ada bea masuk nol, ya, salah satunya karena itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Gerry menekankan, penting bagi industri penerbangan di Indonesia untuk menciptakan produk sendiri dan bisa mengekspor. Bukan saja ekosistem rantai pasokan di kawasan regional, tetapi juga iklim penerbangan secara global yang sama-sama menguntungkan.
”Kita harus lihat dari sudut pandangan berbeda. Kalau kita mayoritas membetikkan biaya masuk bagaimana kalau kita bikin sendiri lalu diekspor. Sedangkan negara lain sudah bebas biaya masuk,” katanya. (Muff)