Jumat, 24 Oktober 2025

Patung & Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian (Bagian Pertama)

Patung dewa Kongco Kwan Sing Tee Koen di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban, Jawa Timur, akhirnya ditutup kain (Ist)

Sehubungan dengan keberadaan patung yang terus mengisi sejarah manusia ini, perlu kajian mendalam mengapa ada yang membuat patung dan mengapa ada yang melarangnya. Bergelora menerima tulisan dari Ubaidillah Achmad, Dosen Filsafat Islam UIN Walisongo, Semarang. Ini adalah tulisannya bagian pertama (Redaksi)

Oleh: Ubaidillah Achmad

KISAH patung yang dibuat dan dihancurkan dalam kisah kenabian akan selalu terkait dengan latar belakang sosial politik masyarakat zamannya. Karenanya, banyak kisah patung yang diceritakan, bahwa ada patung yang menjadi kenangan kisah manusia, media riset kesejarahan dan ilmu pengetahuan. Ada pula, patung yang dapat menjadi media pembodohan dan menutupi kekejaman kaum fasis dan kapitalis.

Dalam perspektif budaya, patung merupakan karya seni yang memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Karenanya, bangunan kuno tidak lepas dari ornamen patung, yang sewaktu waktu menjadi tempat mengasah memori kesejarahan umat manusia. Dalam kisah agama kuno, patung memiliki peran penting untuk instrumen meditasi dan pembelajaran bagi kaumnya.

Sehubungan dengan arti penting patung dalam sejarah umat manusia, maka kitab suci kenabian merespon sangat serius. Teks suci kenabian ini merespon fenomena patung dengan memberikan respon secara berbeda sesuai dengan kegunaan patung bagi masyarakat zaman kenabian. Karenanya, dalam kisah kenabian, ada patung yang dibuat untuk mengikuti kehendak Nabi, namun ada pula patung yang dihancurkan karena merusak risalah kenabian dalam membangun relasi suci kosmologis antara manusia dengan Allah dan manusia dengan lingkungan lestari.

Banyak perspektif dalam mengkaji persoalan patung. Dalam konteks ini, penulis telah membahasnya besama pematung dan seniman beken, bernama MA Sutikno (seniman dan pematung) dan aktivis muda berbakat Khoirul Anwar. Diskusi ini dipandu oleh Shary Pattipeilohy (dosen Undip dan peneliti di Institute of Peace and Security Studies), pada Pk 18.30 – 21.00, tanggal 22 Agustus 2017, di rumah sahabat saya, Mas Damar, wartawan senior, Jl. Ayodyapala 44, Semarang,

Acara ini, karena ada fenomena kelompok kecil masyarakat yang bersuara lantang, yang ingin merusak patung tanpa latar belakang yang jelas: apakah patung membahayakan bagi kemanusiaan? atau apakah patung mengganggu lingkungan hidup?

Jika membaca kisah pada masa Nabi Ibrahim, patung menjadi legitimasi kekejaman namrud. Sedangkan, jika membaca pada masa kisah Nabi Muhammad, patung menjadi intrumen keserakahan kapitalis Qurays. Berbicara pada konteks masa kemerdekaan bangsa Indonesia hingga sekarang ini, patung menjadi alat kekejaman siapa? atau sebaliknya, manusia yang merusak patung yang lebih kejam? Sehubungan dengan pertanyaan ini, penulis akan secara spesifik membahasnya relevansinya dengan judul di atas.

Fenomena pengrusakan patung yang terjadi sekarang ini, adalah bentuk upaya merusak patung yang menghiasi sejarah Nusantara, bangsa Indonesia. Tentu saja, upaya pengrusakan ini merupakan bentuk tidak adanya penghargaan pelaku pengrusakan terhadap kearifan lokal. Yang menarik dari para pelaku pengrusakan ini, ada yang dari oknum umat Islam yang berdalil atas nama perintah agama yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad.

Sehubungan dengan penggunaan hadis tentang larangan pembuatan patung, maka penulis tidak menolaknya, karena penulis mengakui arti penting hadis dalam menentukan hukum Islam. Namun demikian, perlu kajian teks hadis sesuai dengan konteks upaya pengembangan hukum Islam. Sebagai catatan penting dalam tulisan ini, tidak mudah bagi masyarakat umum memahami hadis, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Hadis merupakan bentuk teks rujukan yang disandarkan pada Nabi Muhammad, baik berupa sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi. Teks hadis ditemukan melalui riset para ahli hadis sesudah sekian qurun generasi dari Nabi Muhammad. Dari segi kalimat sejumlah hadis yang dikumpulkan para Ulama pun, masih belum mewakili sebagai catatan yang representatif dari keseluruhan pesan Nabi Muhammad, yang sudah tebukukan dalam bentuk hadis.

Dalam penyusunan hadis, juga sangat serat dengan latar belakang sosio historis para Ulama saat melakukan riset. Misalnya riset hadis yang tidak memberikan ruang perawian yang bersumber dari mereka yang dekat dengan Nabi, seperti Khadijah RA. Hal ini menunjukkan, masih banyak hadis yang belum terbukukan pasca wafat Nabi. Dalam sirah nabawi, Nabi Muhammad sendiri, pernah melarang para sahabat menyusun Hadis. Hal ini menunjukkan, hasil penyusunan Hadis adalah bentuk ijtihad melalui riset para Ulama (ahl al hadis) pasca Nabi Muhammad wafat.

Patung: Antara Keindahan dan Kealaman

Dalam sejarah lama, manusia telah mengenal patung. Patung tidak hanya menandai berbagai jenis seni rupa yang digemari banyak orang, namun juga menandai perkembangan sejarah umat manusia. Karena itu, patung banyak dibuat untuk memenuhi kebutuhan seni dan menandai sejarah manusia. Contoh patung yang sering kita temui, patung manusia maupun hewan. Jenis patung ini digunakan untuk keperluan situs sejarah manusia, cendera mata dan alat bermain anak anak.

Selain itu, patung merupakan hasil karya seni yang dapat dijadikan instrumen keindahan dan instrumen memadukan gambaran relasi kealaman individu dengan Tuhannya. Patung merupakan tekstur yang menerjemahkan unsur kealaman dan mencatat kenangan indah karya besar Allah yang melewati sejarah manusia. Keberadaan patung ini, sewaktu waktu dapat dikaji kembali dan dikenang kembali untuk menandai sejarah manusia.

Sehubungan dengan filosofi seni patung tersebut, banyak manusia yang memaknai secara berbeda beda. Fenomena ini sudah berlangsung dalam sejarah kenabian dan sejarah manusia. Patung dibuat dari barang, hewan, batu, kayu, dan bahan lainnya. Pada masa Walisongo dan Sunan Bonang, patung yang terbuat dari kayu digunakan untuk proses pribumisasi Islam. Kisah patung pada masa walisongo yang digunakan untuk wayang kulit berkembang sampai masa Kiai Cebolek. Patung pada masa Kiai Cebolek digunakan untuk ornamen pada Masjid Kajen. Pada sejarah lama, patung yang berkualitas tinggi dibuat dari batu pegunungan yang berkualitas.

Berbeda dengan sejarah lama, sekarang ini patung dibuat dari batu yang sudah diproses melalui sistem pertambangan. Dalam ‘Mu’jam al-Wasith’ patung berasal dari kata مثل-يمثل-تمثيلا  yang artinyaمثل التمثال: membuat suatu gambar sampai terlihat wujudnya (Anis Ibrahi: p. 554). Sebagaimana yang sudah dipahami secara umum, patung dibuat dengan memahat batu atau tembaga atau yang sejenisnya yang menggambarkan rupa mahkluk hidup.

Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian

Dalam sejarah kenabian, keberadaan patung mengalami dua perlakuan; pada masa Nabi Sulaiman yang menjadikan patung sebagai karya seni yang indah. Kedua, patung pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad yang sengaja dihancurkan, karena digunakan dua fungsi yang sama sama salah. Fungsi pertama, patung pada zaman Nabi Ibrahim untuk legitimasi kekuasaan raja Namrud. Pada masa ini, Raja Namrud memanfaatkan patung untuk mengelabuhi masyarakat mempertahankan kekuasaan dengan kedok kesalehannya.

Raja Namrud berharap dengan kedekatannya pada sesembahan masyarakat, maka masyarakat tidak akan ada yang berani melawan hegemoni raja Namrud. Artinya, melalui patung ini, Namrud bisa mengendalikan kekuasaan dan sistem permodalan di tengah lingkungan masyarakat zamannya. Fenomena ini menunjukkan, fungsi patung sebagai sesembahan buta masyarakat tanpa memperhatikan kejahatan Namrud yang berkedok pada kesakralan patung untuk mendukung kekuasaan.

Hal yang sama, juga terjadi pada zaman Nabi Muhammad, patung dalam kejayaan dagang masyarakat Qurays, telah menjadi media perjanjian kapitalisme. Patung sebagai media perjanjian dagang ini, telah diletakkan di atas ka’bah dan memenuhi hiasan rumah Allah, baitullah. Di tengah kerjasama para kapitalis ini, telah mengorbankan masyarakat Arab dan masyarakat miskin kota qurays. Kondisi masyarakat korban materialis kapitalis ini digambarkan dengan indah di Al Qur’an surat Al Qurays, yaitu masyarakat yang bekerja namun tidak mendapatkan hasil dari pekerjaannya.

Dalam kondisi tersebut, Nabi Muhammad mengajak para masyarakat korban kapitalis Qurays untuk menyembah Tuhan Ka’bah, yaitu Tuhan yang memeri makan dari rasa lapar dan memberikan rasa aman dari ketakutan dihadapan fasisme politik dan para kapitalis Qurays. Model perlawanan Nabi Muhammad dan masyarakat miskin qurays tehadap kaum fasis dan kapitalis ini diwujudkan dalam bentuk menghancurkan patung patung yang ada di Ka’bah. Masyarakat arab pada masa ini, telah meyakini keberhalaan patung yang harus disucikan dan disembah melalui mengorbankan anak setiap terlahir perempuan. Artinya, setiap anak perempuan disembelih sebagai bentuk persembahan terhadap patung yang sedang di letakkan di ka’bah.

Patung di kab’bah ini hanya menjadi sesembahan buta masyarakat qurays yang sudah dimanfaatkan para fasis dan kapitalis terlalu jauh. Kondisi kesejarahan patung pada zaman Nabi Muhammad ini, membuat sikap tegas Nabi Muhammad menolak patung yang diabadikan dalam hadisnya. Jadi, kisah Nabi Muhammad menghancurkan patung, karena alasan asas kegunaan patung yang dijadikan sebagai instrumen kaum fasis dan kapitalis Arab. Pada masa ini, Kaum kapitalis arab suka menyebut nama patung yang menjadi legitimasi sikap kapitalismenya.

Hal yang sama, juga terjadi pada kaum fasis, seperti Abu Sufyan pada perang Uhud, berteriak: “U’lu hubal, u’lu hubal (Maha Tinggi berhala Hubal, Maha Tinggi berhala Hubal). Hal ini dapat dibaca pada tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1419, vol. VII, hal. 288.

 

Sebagai bentuk pengalaman Nabi Muhammad di tengah masa jahiliyah, beliau pernah menceritakan tentang kisanya relasinya dengan salah satu berhala masa pra Islam, bernama ‘Uzza. Dalam cerita ini, Nabi Muhammad mengatakan: “Laqad ahdaitu lil ‘uzza syatan ‘afra`, wa ana ‘ala dini qaumi (Sungguh aku pernah memberi hadiah kepada ‘Uzza, berupa kambing putih, aku sedang berada di tengah suasana agama kaumku).” Hal ini dapat dibaca pada sumber kitab, karya Abu al-Mundzir Hisyam al-Kalbi, Kitab al-Ashnam, Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, cet. IV, 2000, p. 11. Selain ‘Uzza, patung yang paling populer ialah al-Lata dan Manah (QS. An-Najm:19-20). (Bersambung)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru