Peristiwa 27 Juli 1996 masih ditutup awan hitam tebal, walau rezim telah berganti-ganti pengejaran kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) sudah terlupakan dalam sejarah. Walau demikian keluarga korban terus berharap, namun belum terlihat titik terang. Sebaliknya, sebagian elit politik saat ini justru mengambil keuntungan dari peristiwa 27 Juli tersebut. Muhammad Ikhyar Velayati Harahap, Koordinator Forum Aktifis 98 Sumatera Utara menulis buat pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Muhammad Ikhyar Velayati Harahap
SEKRETARIS Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristyanto menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono saat melakukan audiensi ke Komnas HAM terkait penuntasan kasus Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996). Hasto membantah penyebutan nama SBY memiliki kepentingan dengan Pemilu 2019.
“Berbicara politik tidak hanya berbicara koalisi tapi juga berbicara terhadap tanggung jawab masa lalu agar masa depan bangsa ini bisa jauh lebih baik,” ujar Hasto saat audiensi di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (26/7).
Hasto pun menganggap SBY mengetahui banyak hal terkait insiden yang dilaporkan menyebabkan lima orang tewas dan 149 orang luka-luka itu. Sebab, menurutnya saat itu SBY menjabay sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya).
PDIP jangan lagi mengkapitalisasi peristiwa 27 Juli milik PDIP dan menuduh seseorang sebagai yang bertanggng jawab untuk menjatuhkan citra lawan politiknya. PDIP jangan lagi mendomestifikasi isu 27 Juli demi kepentingan politik Pilpres 2019. Jika mau jujur, peristiwa 27 Juli justru yang paling banyak korban ditangkap, disiksa dan hilang adalah gerakan Pro Demokrasi khususnya kader-kader Partai Rakyat Demokratik, bukan PDIP.
Yang dituduh dalang serta di tangkap dan diculik adalah kader kader PRD yang dikenal selama saat itu membangun front gerakan pro demorasi mendukung PDIP melawan intervensi rezim Otoriter Soeharto.
Paska 27 Juli 1996, Rezim Orde Baru justru menuduh gerakan Pro Demokrasi Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang dan kambing hitam sehingga menjadi target penangkapan, penculikan dan intimidasi di seluruh daerah di Indonesia, sementara Megawati dan petinggi PDIP tidak ada satupun yang ditangkap, diculik atau diintimidasi secara fisik.
Justru PDIP mendapat keuntungan politik yang sangat besar dari pengorbanan para aktifis dan kader PRD yang yang berdarah darah melakukan pembelaan terhadap PDIP tetapi tidak ada apresiasi dan dukungan politik kepada mereka saat Megawati Berkuasa sebagai Presiden.
Tetapi saat Megawati berkuasa, sebenarnya Rezim Megawati mempunyai kekuasaan dan kekuatan politik yang besar untuk menuntaskan pelanggaran dan kekerasan HAM yang di lakukan oleh rezim Orba. Tetapi Megawati justru menempatkan orang orang yang bermasalah dan aktor pelanggaran HAM masa lalu dalam kabinetnya, misalnya menempatkan Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Dan lucunya, SBY yang di tuduh oleh Hasto sebagai orang yang mengetahui dan bertanggung jawab kasus 27 Juli saat megawati berkuasa di jadikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dan juga mendukung Sutiyoso sebagai kepala BIN saat Jokowi berkuasa.

Jadi tudingan Hasto di Komnas HAM kepada SBY sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab sarat dengan kepentingan politik dan bertujuan untuk menjatuhkan citra lawan politik PDIP. Terlihat jelas pola-pola seperti ini sangat khas pola Orde Baru.
Jika memang Hasto dan PDIP jujur, konsisten dan serius menyelesaikan setiap peritiwa pelanggaran HAM khususnya kasus 27 Juli 1996 maka kesempatan tersebut terbuka lebar saat megawati menjadi Presiden 2001-2004.
Tetapi yang terjadi saat megawati menjdi presiden, bukan malah menyelesaikan kasus tersebut, justru membuat pelanggaran dan kekerasan HAM baru yang lebih kejam dan sadis dari peristiwa 27 Jui yaitu memberlakukan Daerah Operasi Militer dengan mengirimkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi dikirim untuk melawan sekitar 5.000 tentara GAM.
Inilah operasi militer terbesar oleh pemerintah Indonesia sesudah reformasi. Hingga kini, sepanjang era reformasi, belum ada operasi militer yang lebih besar dari itu.
Amnesty International mencatat, selama masa operasi, sekitar 200.000 orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian, 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan 147 warga sipil meregang nyawa selama Mei 2003 – Februari 2004.
Jadi atas dasar tersebut, sebenarnya sudah PDIP kehilangan hak moral dan hak politik untuk bicara tentang peristiwa 27 Juli 1996 dan peristiwa pelanggaran HAM lainnnya. Dan saya juga berharap jangan sampai Komnas HAM justru menjadi alat politik PDIP untuk menjatuhkan citra Calon Presiden atau elit politik yang berseberangan dengan PDIP atau rezim yang berkuasa saat ini.
Kami, aktifis era 90 an yang di tangkap di Medan saat terjadi kerusuhan peristiwa 27 Juli di jakarta. Bersama 3 mahasiswa IAIN lainnya dituduh terlibat dalam pengorganisasian mahasiswa, buruh dan petani di medan untuk melawan Rezim Orde baru, termasuk pada peristiwa 27 Juli 1996. Saat itu rumah kami digrebek puluhan aparat dari Bakorstanasda yang didominasi kesatuan kopasus. Tetapi saat itu kami berhasil lolos dan lari ke Jakarta. Pada Bulan Agustus 1996 kami dan 3 teman lain tertangkap di LBH Medan dan ditahan selama 3 minggu di Gaperta serta menjalani wajib lapor selama 6 bulan.
Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 adalah awal keruntuhan Rezim Soeharto dan Orde Baru yang berkuasa sejak 1965 sampai Tahun 1998. Penyerbuan Kantor PDIP oleh aparat Orde Baru dalam rangka menggagalkan pengangkatan Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDIP justru menyulut perlawanan dan membangkitkan solidaritas gerakan Pro demokrasi terhadap PDI Megawati. Peristiwa ini tidak akan pernah di lupakan oleh pelaku sejarah yang mendorong runtuhnya kekuasaan Soeharto dan Orde Baru pada 21 Mei 1998.