JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi tentang gugatan Partai Demokrasi Indonesia –Perjuangan (PDI-P) terhadap UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) mencerminkan pendekatan hukum positif formal tapi gagal memberikan keadilan. Hal ini disampaikan oleh Eva Kusuma Sundari dari PDIP kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (30/9).
“Gugatan terhadap terhadap Undang-undang (UU MD3) yang diproses tergesa-gesa setelah hasil pemilihan legislatif dan tendensius terkait hasil pemilihan legislatif oleh fraksi-fraksi koalisi yang kemudian kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) disetujui dan dikuatkan oleh MK,” ujarnya.
Ibaratnya menurut Eva Sundari, sebuah pertandingan dilaksanakan untuk memperebutkan hadiah bagi yang menang.
“Setelah permainan para pemain yang kalah membuat aturan baru sehingga yang menang tidak diberi hadiah karena para yang kalah mau bagi-bagi di antara merek,” jelasnya.
Eva Sundari mempertanyakan tugas Mahkamah Konstitusi memberikan keadilan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
“Dimana adilnya hanya karena para pemain diberi hak membuat aturan tanpa melihat aturan yang dibuat ternyata untuk kepentingan mereka sendiri,” tegasnya.
Di sisi lainnya menurutnya, MK mengabulkan gugatan Khofifah dan Rieke Dyah Pitaloka meskipun yang membuat mempunyai license yang bisa buat apa saja, meskipun untuk membuat keputusan yang menguntungkan diri mereka sendiri.
“Penolakan terhadap gugatan PDIP ini memang kontroversial karena kuat nuansa kepentingan politik sehingga pantas jika para hakim terbelah karena ada disenting opinion,” ujarnya.
Meski pahit, menurutnya PDIP akan menghormati dan mematuhi putusan MK tersebut. Paling tidak PDIP sudah menunjukkan kepada para pendukung yang memenangkan PDIP bahwa PDIP sudah memperjuangkan hak PDIP dan pemilih PDIP semaksimal mungkin.
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
“Menolak para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/9).
Dissenting Opinion
Dalam amar putusan, ada dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat alias dissenting opinion, yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati.
Putusan itu terkait permohonan dengan nomor perkara 73/PUU-XII/2014 yang diajukan PDI Perjuangan yang diwakili Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, serta empat orang perseorangan, yakni Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto.
Mereka menguji aturan pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109 Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3. Aturan tersebut dianggap merugikan hak konstitusional PDI-P selaku pemenang Pemilu 2014.
Dengan aturan itu, para pemangku jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR. Jabatan itu untuk pimpinan DPR, pimpinan komisi, badan legislasi, badan anggaran, badan kerja sama antar-parlemen (BKSAP), mahkamah kehormatan dewan, dan badan urusan rumah tangga (BURT).
Mahkamah berpendapat, perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, memilih pimpinan di parlemen merupakan kewenangan anggota DPR.
Hal itu dianggap lazim dengan sistem presidensial dengan multipartai. Menurut MK, kompromi antarparpol sangat menentukan dalam pemilihan pimpinan di DPR. “Kompromi dan kesepakatan tidak bisa dihindari,” ucap Hamdan.
Selain itu, tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan UU MD3 bukan persoalan konstitusional. Masalah itu dianggap hanya berkaitan dengan tata cara yang baik dalam pembentukan UU.
Menurut MK, pembentukan UU yang tidak mengikuti aturan tata cara pembentukan UU tidak serta-merta membuat UU yang dihasilkan dianggap inkonstitusional. Bisa saja UU yang dihasilkan sesuai aturan, tetapi materinya justru bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, UU yang dibuat tidak sesuai aturan justru memiliki materi yang sesuai UUD 1945.
Perubahan UU MD3 yang dilakukan setelah diketahui hasil pemilihan umum menurut putusan MK juga tidak bertentangan dengan konstitusi. MK menganggap hal itu lazim dilakukan dalam pembentukan UU MD3 sebelumnya. Bahkan, perubahan UU MD3 dapat terjadi segera setelah pelantikan anggota baru Dewan.
Perubahan UU MD3 setiap lima tahun sekali menurut MK, tidak membangun sistem yang matang dan akan jadi permainan politik. Pada masa mendatang, MK menyarankan pembentukan UU MD3 tidak dilakukan lima tahun sekali. Revisi hanya dilakukan apabila benar-benar diperlukan (Tiara Hidup)