BANDAR LAMPUNG – Pekerja malam, yaitu Pekerja Seks Komersil (PSK) dan pemandu lagu pun memastikan dalam pilkada 27 Juni 2018 nanti tidak akan memilih pemimpin cabul. Kaum perempuan menurut mereka harus memilih pemimpin yang jujur, bermoral dan mensejahterahkan rakyat LampungbersihHal ini ditegaskan Katrine warga Bandar Lampung kepada media, Minggu (24/6).
“Sesama perempuan saya bisa merasakanlah bagaimana kalau diri saya yang dipaksa-paksa. Kita juga punya harga diri. Ogah ah. Janganlah pencabul yang mimpin kita. Gimana nasib kami-kami ini jadinya,” katanya.
Sebagai pekerja seksual Katrine membayangkan dirinya dipaksa melayani kemudian ditinggal pergi tanpa tanggung jawab.
“Siapapun orangnya pasti tidak rela dirinya dilecehkan seperti itu. Ya Allah, jauhkan kami dari pemimpin yang demikian,” ujar perempuan yang setiap malam bekerja di sekitar Kelurahan Enggal, Kecamatan Tanjung Karang, Bandar Lampung ini.
Hal yang sama ditegaskan oleh Risa, warga Natar yang setiap malam bekerja sebagai pemandu lagu (PL) disalah satu tempat hiburan Karaoke di Jalan Yos Sudarso, Teluk Betung, Bandar Lampung. Ia menegaskan, seorang pemimpin harus bisa membahagiakan keluarga dan seluruh masyarakatnya.
“Bukan malahan melecehkan dan berbuat cabul pada kaum perempuan dan tidak bertanggung jawab,” katanya.
Menurutnya, pemimpin yang melecehkan perempuan dapat dipastikan tidak akan bisa bertanggung jawab terhadap semua kebijakan yang dibuatnya.
“Inikan bahaya. Pasti nanti korup. Pasti perempuan lagi yang jadi korban. Kalau sama keluarga saja tidak tanggung jawab gimana sama rakyatnya,” katanya.
Ia yakin kaum perempuan Lampung sudah sangat maju berpikirnya tentang kemajuan Provinsi Lampung.
“Saat ini yang dibutuhkan adalah perlindungan pada pekerja seperti kami ini. Karena undang-undang belum melindungi kami. Apa kebijakan pemerintah Provinsi kedepan, tergantung pemimpinnya,” katanya.
Risa mendoakan semoga pilkada 2018 di Provinsi Lampung dapat berjalan lancar, tertib dan damai agar memperoleh pemimpin yang amanah.
“Semoga Tuhan memenuhi doa seluruh masyarakat Lampung yang merindukan pemimpin yang benar-benar bekerja buat rakyat, merubah nasib kami-kami rakyat pinggiran ini,” tegasnya.
*Politisi Busuk*
Kepada Bergelora.com dilaporkan sebelumnya, aktifis gerakan perempuan, Damairia Pakpahan menggambarkan masyarakat yang mendiamkan bahkan menerima pejabat publik yang melakukan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan sebagai masyarakat yang apatis.
“Sebagian masyarakat kita apatis dan menerima kenormalan yang busuk menjadi kebiasaan dan ditoleransi. Apalagi dengan politik uang. Para politisi patriakh yang busuk bisa diterima,” tegas perintis gerakan perempuan 1980-an dalam Kelompok Gerakan Perempuan Cut Nyak Dien Kamis(8/3).
Ia memastikan, pada pelaku kejahatan seksual kemungkinan melakukan korupsi juga besar karena untuk membiayai kehidupan seksual mereka butuh biaya besar. Sebagian masyarakat bahkan berpartisipasi dalam kekerasan seksual itu.
“Bila kita diam, kita pun berpartisipasi dalam kejahatan tersebut. Karenanya kita harus berani menentang dan memperjuangkan agar pelaku kekerasan tidak dapat dipilih bahkan untuk jadi calon sekalipun, KPU harus berani menentang ini seharusnya,” ujarnya.
Damairia Pakpahan menegaskan agar masyarakat bertanggung jawab dengan cara melawan semua politisi yang terpilih menjadi pejabat publik. Semua masyarakat yang sadar menurutnya tidak boleh mendiamkan perilaku kekerasan seksual pada kaum perempuan yang saat masih terus ditutupi dan tidak tersentuh hukum.
“Sebagian masyarakat masih menerima kekerasan seksual sebagai hal normal,– dan ini bahaya. Kita yang sadar dan kritis mesti melawan ini dan menantang kenormalan yang merusak kaum perempuan dan juga laki-laki. Kita mesti menantang para patriakh yang melakukan kekerasan seksual. Mereka adalah politisi busuk yang harus dilawan!” tegasnya ketika ditanyakan apa yang harus dilakukan pada pejabat publik seperti di atas.
Menurutnya, pelaku kekerasan tidak tersentuh hukum karena aparat penegak hukum selain masih bias gender karena pendidikan yang juga bias gender dan budaya patriarki yg masih dan makin menguat dengan tafsir agama yang patriarkis bahkan misoginis/anti perempuan.
“Juga reformasi hukum kita masih belum bertransformasi menjadi lebih adil dan setara pada perempuan. Pelaku kekerasan mesti dididik dibuat jera, bukan dengan hukum kebiri, karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Melainkan dengan pendidikan dalam arti luas termasuk konseling dan terapi dalam lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
Selain itu ia mengingatkan masyarakat mesti dididik bahwa kekerasan seksual tidak dapat ditoleransi. Pandangan bahwa laki-laki biasa atau boleh melakukan kekerasan adalah cara pandang racun maskulinitas dan ini harus dirubah dari saat mendidik anak-anak.
“Selain itu pasti menimbulkan persoalan baru, dimana negara akan masuk pada ruang pribadi dan menjadi polisi moral bagi rakyat,” jelasnya.
Menurutnya bias gender yaitu patriarki dalam masyarakat masih berurat berakar, hirarkis,– kelas atas kaum kaya raya dengan bawah atau kaum miskin, laki dan perempuan dan feodal dalam bentuk kaya, miskin.
“Itu semua masih ada dalam alam bawah sadar disebagian kita dan tentu ini juga ada dikalangan DPR RI dan aparatur negara kita,” katanya. (Salimah/Web Warouw)