Sampai saat ini upaya menghentikan dampak pembakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung. Pemerintah juga terlihat lemah menghadapi para pengusaha pembakar hutan dan lahan. Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Wakil Ketua Umum PAN menuliskannya buat pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Viva Yoga Mauladi
SAYA meyakini bahwa 99 persen penyebab karhutla karena tangan manusia yang sengaja membakar dengan motif land clearing. Biayanya lebih murah karena bermodalkan korek api saja. Pernyataan BNPB menguatkan bahwa modus land clearing dengan dibakar karena ternyata 80 persen lahan yang terbakar, setelah api padam, menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit.
Selama ini penegakan hukum untuk kasus karhutla lemah. Akibatnya pemerintah sering kalah di pengadilan. Padahal dari sisi legislasi sudah jelas sanksi pidana dan dendanya. Yaitu pertama, di Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di Pasal 78 ayat (3) menyebutkan bahwa pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Kemudian kedua, di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.
Lalu ketiga, di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, di Pasal 108 menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp 10 miliar.
Dalam realitasnya, pasal samksi pidana bagi oknum intelektual kasus karhutla hanya bersifat macan kertas saja. Ompong, unoperational. Pelakunya tidak tersentuh hukum (untouched by law), kebal hukum, dan menjadi manusia setengah dewa. Negara terkalahkan oleh mereka. Pengadilan bertekuk-lutut tidak berkutik.
Dalam menangani karhutla ini saya mengusulkan, pertama, ada penambahan dana penanggulangan bencana dari Pemerintah Pusat. Fokus dana untuk program pemadaman hotspot secara cepat, penanganan gangguan kesehatan masyarakat secara manusia, dan penyelamatan plasma nutfah serta flora fauna agar tidak punah.
Kedua, Pemerintah Pusat agar lebih serius meningkatkan kualitas koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah. Sebagian besar publik menilai bahwa penanganan bencana karhutla kurang serius dan tidak antisipatif. Padahal menurut saya bukan soal itu, tetapi yang utama adalah soal keterbatasan dana dan lemahnya peralatan dan kemampuan teknologi dalam mematikan hotspot.
Ketiga, merevisi peraturan perundang-undangan bahwa pelaku pembakaran hutan, melalui keputusan pengadilan, seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Levelnya sama dengan teroris. Karena bukan hanya merusak ekosistem dan lingkungan, memusnahkan plasma nutfah, juga dapat membunuh manusia.
Dalam pembahasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, saya bersama kawan-kawan Komisi IV DPR RI memperjuangkan pasal pelaku pembakar hutan dan lahan masuk kategori kejahatan luar biasa. Namun belum berhasil. Untuk itu perlu diwacanakan lagi usulan pasal ini.
Sebaiknya, jika ada bantuan dari negara tetangga untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus karhutla, hendaknya diterima dengan tangan terbuka. Apakah itu bantuan alat teknologi, dana, maupun sumberdaya manusia.
Begitu juga jika ada provinsi lain yang ikut membantu, pihak provinsi yang ada karhutla, janganlah ditolak dan berpikir politis. Justru itu bagus buat membangun kebersamaan di antara kita.