Oleh : Toga Tambunan*
BERTEMU atau ditemui betapa pun sangat sering belum tentu orientasi bersangkutan obyektif. Terutama bila kepentingannya tergugat.
Yesus muncul di Bait Elohim Jahweh sejak usia 12 tahun. Dalam usia status belum dewasa itu pengetahuanNya cerdas cespleng menjelaskan isi Taurat dan kitab para Nabi. Bagi Imam dan para aristokrat synagoge Jahudi, penjelasanNya itu bukan kritik melainkan tombak penggugat mengobrak legitimasi dan hukum-hukum bikinan para aristokrat agamawi Jahudi itu. Status Yesus masih umur 12 itu bagi imam, kaum Parise, kaum Saduki, para Sanhendrin diolah jadi batu fondasi determinasi dan mengisukan keterangan Yesus bertentangan firman Elohim Jahweh, sesembahan mereka. Selanjutnya memprovokasi bani Israel menolak Yesus.
Bahkan setelah berakhir status remaja Yesus karena statusnya lahiriah sudah dewasa, aristokrat agamawi Jahudi itu malah meneriakkan lebih keras determinasinya bahwa Yesus itu kerasukan setan, tatkala Yesus berhasil menengking usir keluar setan dari diri warga yang disehatkanNya.
Adalah Raja Saul diinvasi Lucifer bersikap iri hati terhadap Daud, sebagai rujukan memahami penolakan imam dan aristokrat agamawi Jahudi atas Yesus. Saat Daud selaku pembantu Saul, ternyata sanggup mengalahkan musuh-musuhnya, dampak patuh kehendak PenciptaNya.
Lucifer mentrapkan muslihat tehnik retorik yaitu mengakomodasi Saul dipilih Elohim Jahweh jadi raja Israel, asalkan Saul retorika saja bertemu Elohim Jahweh namun mengingkari kehendakNya. Lucifer memompa kesombongannya sehingga Saul, menagih sanjungan warga atas dirinya. Pada momen itu warga telah meninggikan pujian kepada Daud. Kasat mata Saul melihat status Daud adalah bawahannya, dan tidak apresiasi reputasi Daud, bukti karya karunia Elohim Jahweh.
Skema Lucifer seperti itu, mencongklangi aristokrat agamawi Jahudi yang retorik puji Elohim Jahweh tapi mendongakkan status legitimasi imam atau kearistokratan. Sementara Yesus dari keluarga Yusuf & Maria yang marginal, lagi pula Yesus baru berumur 12 tahun tatkala mengurai isi kitab Yesaya, dan mendebat mereka amat tajam.
Imam, Sanhedrin, kaum Parise, kaum Saduki berhubung status sosial dan status remaja awal Yesus itu, mendeterminasi Yesus menentang Elohim Jahweh dan mengisukan Yesus kerasukan setan. Bahkan setelah Yesus dewasa aristokrat agamawi Jahudi itu senantiasa mengisukan Yesus kerasukan setan, ketika Yesus berhasil melepaskan seseorang dari jeratan setan.
Satu ketika, bani Israel itu minta roti kepada Yesus seperti leluhur mereka mendapatnya di era Musa, dicatat Yohannes sbb: “Maka kata mereka kepada-Nya: “Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.” Kata Yesus kepada mereka: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.'” (Yohanes 6:34-35)
“Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: “Akulah roti yang telah turun dari sorga.” Kata mereka: “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapa-Nya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?” (Yohanes 6:41-42)
Yesus bahkan menunjuk serigala punya liang, burung punya sarang, tapi Dia tidak punya tempat meletakkan kepala; menyatakan sekalipun rumah tempatNya berdiam, itu semua bukan kepunyaanNya melainkan milik Elohim Jahweh. Agar manusia berwawasan seperti dirinya, berperasaan berpikir melepas segala harta miliknya sebagai kepunyaan Elohim Jahweh untuk berguna turut menampilkan Kerajaan Allah.
Karya nyata Yesus itu adalah out put perasaan pikiranNya yang dilimpahkan Elohim Jahweh sebagai roh, akal budi dan jiwa bagiNya ternyata bukan indikator pengenal diriNya bagi bani Israel. Bahkan mereka menyalibkanNya menuduh meningkari Elohim Jahweh.
Begitu rupa licik skenario tehnik retorika Lucifer kiprah di perasaan pikiran aristokrat agamawi Jahudi itu mengakui Elohim Jahweh secara lahiriah tapi dalam batin menolakNya karena statusnya Yesus marginal.
Skenario Lucifer itu memarkir bani Israel itu tetap berkondisi roh Perjanjanjian Lama, roh konservatif kejayaan Raja Daud dan Raja Salomo yang tak tahu spesifikasi Langit Baru Bumi Baru
Para aristokrat agamawi Jahudi dan pada umumnya bani Israel, tidak mengenal Yesus dari karakternya yang
telah diperlihatkanNya, seperti dicatat Johannes dalam kitabnya pasal 14 : 10-11 “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”
Yesus telah membuka perasaan pikiranNya yang dilimpahkan Elohim Jahweh sebagai roh, akal budi dan jiwa bagiNya ternyata bukan indikator pengenal diriNya bagi bani Israel. Bahkan mereka menyalibkanNya.
Hanya para muridnya dan pengikutnya yang sedikit itu saja mengenal Yesus bukan dari status tapi dari karakterNya.*
Di era kini, sejumlah aktivis gereja disebut pelayan iman untuk jemaat di gerejanya. Tentu sebutan itu berasal dari pernyataan Yesus:
“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45.)
Yesus menyatakan status pelayan itu kompatibel dengan karakter sebagai manifestasi roh, akalbudi dan jiwaNya.
Alkitab memuat perasaan pikiran Elohim Jahweh, berkisi-kisi a.l : kisi obyektivis, segala nya riil; kisi bergerak, sesuatu perihal itu mengandung energi; kisi korelasi faktor dalam dan luar, yang saling mengisi; kisi saling hubungan antar sesuatu, diantara segalanya; kisi perubahan kuantitas dan kualitas yang berkesinambunan hingga Langit Baru Bumi Baru.
Seseorang yang mengaku pelayan iman itu, sudah tentunya berkonsekuensi setara perasaan, pikirannya serupa roh, akal budi dan jiwa Yesus yang sedikitnya berkualifikasi kisi-kisi diatas. Jika belum seperasaan sepikiran serupa Yesus itu, apakah tepat klaim status pelayan itu atas diri gembala sidang jemaat? Yang belum serupa pribadi karakter Yesus yang Tuhan itu, masih taraf pseudo pelayan atau taraf belpel (belajar pelayan) melakukan pseudo melayani atau belmel (belajar melayani). “Pelayan” itu bukan Pelayan.
Berkaitan hal itu sebangun dengan orang yang disebut Kristen. Jemaat mula-mula setelah kenaikan Tuhan Yesus terbentuk berdasar karakter atau seperasaan pikiran seperti Yesus. Sehingga Ananias dan Safira ketika menyimpang dari kehendak Rohkudus yang diikrarkannya, langsung mati. Para Rasul dan Jemaat mula-mula, beriman total utuh sanggup tewas terbunuh, antara lain oleh kaisar Nero di Roma.
Iman keKristenan jemaat mula-mula itu telah dinegasi oleh kesadaran kaisar Konstantinus berkuasa 306 M – 337 M, yang tadinya penyembah berhala berubah menerima Yesus itu Tuhan, tanpa proses perubahan kualitas rohani menjadi seperasaan sepikiran dengan Tuhan Yesus. Justru mewarisi keKristenan Konstantinus itu, kemudian hari melakukan perang Salib yang berkepanjangan. Adakah perang salib itu diilhami Rohkudus? Pasti tidak.
Pada umumnya semua beragama Kristen masa kini, mewarisi keKristenan lanjutan karya Konstantinus yang mind-setnya terparkir pada kerajaan Daud dan Salomo. KeKristenan Konstantinus itu melalaikan realisasi kekekalan Langit Baru Bumi Baru, yang momok kebinasaan kekal Lucifer dan orang anti Kris.
KeKristenan kini bukan lagi lanjutan iman komunitas Kristen mula-mula. Melainkan mewarisi mind-set keKristenen versi Konstantinus. Tidaklah mengherankan kita patut rendah hati menilai pseudo Kristen atau “Kristen” bukanlah Kristen, melainkan belajar Kristen atau belKris.
Camkan. Berjuanglah terus jadi Kristen sekualitas jemaat mula-mula.
* Penulis Toga Tambunan, evangelis Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)