Minggu, 14 September 2025

Pemda Yang Tidak Melindungi Mangrove

Mangrove (Bakau)

Total luas hutan mangrove nasional sekitar 3,2  juta hektare, tumbuh di sepanjang 95.000 kilometer pesisir Indonesia dengan 43 jenis mangrove. Luas tersebut setara dengan 23% dari ekosistem mangrove dunia. Namun pemerintah selalu abai terhadap Mangrove. Riswan Lapagu, Koordinator  KPLHI*, Jakarta mengulasnya untuk pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Riswan Lapagu

TERBUKTI mangrove menyumbang 40 trilyun per bagi perekonomian Indonesia dari perikanan budidaya. Juga dapat melindungi pesisir dan daratan dari abrasi dan tsunami, serta menjamin ketersediaan pangan di laut. Namun sungguh ironis,  ekosistem mangrove belum sepenuhnya terlindungi. Fungsi dan manfaat yang disebutkan diatas, hanya contoh kecil kegunaan bakau bagi lingkungan maupun manusia. Tulisan pendek ini hanyalah sebuah refleksi, merenung sejenak  jelang HUT Kemerdekaan RI ke-72 pada 17 Agustus 2017, apa yang terjadi dengan pengelolaan hutan mangrove nasional… ?

Kondisi Mangrove Nasional

Total luas hutan mangrove nasional sekitar 3,2  juta hektare, tumbuh di sepanjang 95.000 kilometer pesisir Indonesia dengan 43 jenis mangrove. Luas tersebut setara dengan 23% dari ekosistem mangrove dunia. Hutan mangrove banyak tersebar di wilayah Indonesia, sedangkan ekosistem mangrove regional penting berada di Papua, Kalimantan dan Sumatera. Namun kekayaan hayati itu dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 40 persen luas hutan mangrove. Laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia merupakan yang terluas dan tercepat di dunia, mengutip data Food  and Agriculture Organization  (FAO, 2007).

Kerusakan hutan mangrove lebih banyak akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, perkebunan, industri, dan atau pembalakan liar serta pembuangan limba industri yang mematikan tanaman mangrove. Data Kementerian LH dan Kehutanan  (KLHK, 2016) menyebutkan bahwa hutan mangrove yang tersisa sekitar 3,7 juta hektar. Terbanyak berada di Jawa, Papua dan Kalimantan. Dari yang tersisa itu, hutan mangrove Indonesia mengalami degradasi atau yang hilang mencapai satu juta hektare, setara dengan 15 kali luas daratan Jakarta..Kini sekitar 2,5 juta hektar dalam kondisi baik

Sulit dipungkiri bahwa ekosistem mangrove memiliki nilai ekonomi strategi bagi Indonesia. Ambil contoh dari sektor perikanan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2015), per tahun dari sektor perikanan budidaya menyumbang lebih dari 40 trilyun. Nilai tersebut menjadikan Indonesia sebagai raksasa perikanan dunia bersama dengan China

dan India (FAO, 2016). Tak mengherankan bila selama ini Pemerintah Pusat maupun Daerah lebih condong mengedepankan kebijakan yang mengeksploitasi potensi ekonominya hutan mangrove daripada sisi penyelamatan/pelestarian. Di sejumlah daerah dalam 10 tahun terakhir ini, hutan mangrove dikonversi untuk peruntukan lain yaitu reklamasi, perkebunan, dan tambak.

Kebijakan dan Tafsir

Protes masyarakat di sekitar lokasi proyek konversi kawasan mangrove, dalam banyak kasus tidak mampu merubah, apalagi membatalkan kebijakan pemerintah daerah yang sudah diberikan kepada pihak swasta. Dukungan advokasi dari jejaring organisasi non. pemerintah (ornop) kepada masyarakat, juga  tidak dapat menolong banyak. Protes masyarakat dan ornop justru pembangunan proyek  makin dipercepat penyelesaiannya. Contoh kasus alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan dan tambak banyak terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Salah satu pemicu terjadinya konversi hutan mangrove adalah karena kebijakan pemerintah daerah. Namun sudah umum diketahui publik jawaban klasik yang sering disampaikan pemerintah daerah pada kasus-kasus konversi hutan mangrove adalah izin yang dikeluarkan sudah sesuai UU dan PERDA. Lalu sesuai program strategis Gubernur/Bupati/Walikota yaitu untuk mendorong  investasi dan peningkatan penerimaan daerah. Dalil-dalil seperti itu sebetulnya justru memperlihatkan bahwa paradigma aparatur pemerintah tak banyak berubah. Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, masih sebatas jargon, belum dijadikan budaya kerja di banyak instansi pemerintahan.

Realitas tersebut diperparah oleh kenyataan bahwa masing masing instansi dan aparatnya mempunyai tafsir sendiri sendiri terhadap peraturan peraturan yang mengaturnya tentang mangrove. Akibatnya sebagai contoh, misalkan instansi A tidak memberikan izin kepada  perusahaan yang mau membuka perkebunan atau tambak udang di kawasan bakau, tapi bagi instansi B malah mengizinkan. Sudah pasti izin yang dikeluarkan itu berdasarkan tafsiran sendiri dari sang pejabat/instansi itu

Apalagi lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimanai kewenangan mengelola mangrove ada di pemerintah daerah. Dikhawatirkan kerusakan ekosistem hutan mangrove nasional semakin tambah meluas.

Bukan tidak mungkin merambah hingga ke kawasan kawasan  konservasi. Oleh sebab itu kedepan, semua pemangku kepentingan yang bersentuhan dengan mangrove untuk serius memperbaiki tata kelola hutan mangrove nasional.

Payung kebijakan pengelolaan mangrove nasional  sebetulnya sudah ditetapkan yaitu Peraturan Presiden No 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Tetapi dua ancaman utama keberlangsungan mangrove yaitu ekspansi tambak dan perkebunan sawit belum diantisipasi di dalam kebijakan tersebut. Itulah yang menimbulkan kegelisahan di kalangan akademisi.

Berbagai kajian akademik secara konsisten menunjukkan bahwa kehilangan mangrove di Indonesia dipicu oleh permintaan udang dunia yang sangat tinggi. Kesimpulan tersebut berdasarkan dua pengalaman pahit yaitu pelarangan pukat harimau penangkap udang tahun 1980 dan krisis finansial Asia tahun 1997 yang berujung lenyapnya sekitar 500.000 hektar mangrove di Kalimantan dan Sumatra .

Lebih jauh disebutkan bahwa tanpa perbaikan produktivitas tambak, hingga 15 tahun ke depan, masyarakat akan terus tergoda untuk merambah mangrove demi memenuhi permintaan konsumen.  Artinya, sekitar 600.000 hektar mangrove terancam jadi tambak agar produksi udang dan permintaan udang dunia menjadi seimbang (Ilman et al. 2016).

Demikian juga dengan perkebunan sawit. Data World Resources Institute (2014) menunjukkan bahwa saat ini terdapat 118.000 hektar mangrove masuk dalam kapling konsesi kebun sawit. Jika tidak dicegah dengan penataan area yang baik, diperkirakan 97.000 ha lahan mangrove dalam konsesi tersebut akan hilang berubah menjadi kebun sawit.

Masukkan Pengelolaan

Dengan sekilas data dan fakta dalam artikel ini menunjukkan bahwa pengelolaan mangrove nasional tidak cukup hanya dengan berlandaskan pada UU, PERPRES, ataupun PERDA. Sebab : (1) Ada saja bolongnya pada peraturan peraturan yang masih berlaku. Padahal sektor yang tidak diatur itu, justru mengancam kehilangan mangrove lebih luas. Dan (2). Setiap instansi pemerintahan memiliki kepentingan masing masing dengan mangrove. Mereka juga punya tafsir sendiri atas UU, PERPRES, PERDA yang mengatur tentang mangrove.

Upaya penyelamatan mangrove kedepan yang kami bisa sarankan kepada pemerintah adalah : pertama, membatasi pemberian izin untuk kegiatan yang bertujuan mengkonversi kawasan mangrove. Bahkan bila perlu pemerintah daerah yang sudah terlanjur memberikan izin untuk reklamasi, perkebunan ataupun tambak, dapat segera di cabut/dibatalkan. Kedua, perlu pelibatan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan bakau secara terorganisir untuk melakukan gerakan pelestarian mangrove. Masukkan ini mudah mudahan dapat melengkapi kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove (SNPM) tahun 1997 maupun kegiatan strategis lainnya yang biasa dilakukan pemerintah bersama masyarakat pada setiap memperingati Hari Mangrove Sedunia, tanggal 26 Juli.

Dengan upaya serius dan dari semua pihak yang berkepentingan dengan mangrove, maka bukan tidak mungkin kontribusi 40 trilyun per tahun pada perekonomian Indonesia dari sektor perikanan budidaya akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Lebih keren lagi apabila kita dapat merehabilitasi separohnya dari sekitar satu juta hektar hutan mangrove yang rusak/hilang itu.

*KOMUNITAS PENGABDI LINGKUNGAN DAN HUKUM INDONESIA at3 KPLHI adalah gerakan sosial masyarakat sipil yang secara sukarela mau mendedikasikan waktu, pikiran dan tenaga untuk turut serta memperbaiki kualitas lingkungan dan hukum Indonesia menjadi semakin baik.

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru