YOGYAKARTA- Lebih dari 1.000 petani tembakau dan cengkeh yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Karya Tani Manunggal (KTM) Temanggung, dan Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia (GEMATI) melaksanakan aksi damai yang bertepatan dengan Hari Petani Tembakau Sedunia dengan mengusung tema “Selamatkan Penghidupan Kami”.
Aksi damai ini ditujukan untuk menyatakan aspirasi para petani kepada Pemerintah terkait dengan kelangsungan industri hasil tembakau nasional. Mereka berharap Pemerintah dapat memajukan pertanian tembakau dan cengkeh nasional serta melindungi industri hasil tembakau Indonesia dari tekanan peraturan internasional yang eksesif seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Harapan tersebut disampaikan dalam sebuah Petisi yang disaksikan kepada Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam X.
“Aksi damai yang kami laksanakan hari ini diharapkan dapat mengingatkan Pemerintah dan masyarakat umum akan pentingnya pertanian tembakau dan cengkeh bagi Indonesia dan jutaaan masyarakat yang mendapatkan penghidupan darinya. Tembakau khususnya merupakan salah satu komoditas strategis perkebunan yang memiliki peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, sesuai dengan UU No. 39 tahun 2014,” ujar Soeseno, Ketua Umum APTI Nasional kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (31/10)
Djuwari, Ketua APTI Provinsi Yogyakarta menambahkan bahwa pertanian tembakau merupakan bagian dari warisan bangsa Indonesia dengan nilai ekonomi yang tinggi. Namun, hingga saat ini produksi dan produktivitas pertanian tembakau belum mencapai titik optimalnya sehingga keuntungan yang diterima petani terbatas dan hal ini mempengaruhi tingkat kesejahteraannya.
“Para petani tembakau berharap bisa mendapatkan bantuan sarana dan prasarana pertanian yang sama seperti komoditas lainnya. Yang kami perlukan antara lain pendampingan teknis, akses permodalan, serta pembangunan infrastruktur pertanian yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tembakau. Dengan demikian, pertanian tembakau bisa kembali jaya dan Indonesia bisa menjadi produsen bahkan eksportir tembakau terbesar di dunia,” ungkap Djuwari.
Ancaman FCTC
Dalam aksi damai tersebut, para petani tembakau dan cengkeh juga menuntut pemerintah untuk melindungi penghidupan mereka dan Industri hasil tembakau dari ancaman FCTC. FCTC merupakan suatu peraturan internasional yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam keberlangsungan pertanian tembakau dan cengkeh. Dijelaskan oleh Soeseno, salah satunya adalah dorongan konversi tanaman tembakau ke tanaman lainnya, padahal diketahui di beberapa daerah saat musim kemarau, petani hanya bisa menanam tembakau karena tidak memerlukan air yang banyak.
“Melalui aturan ini, FCTC melanggar hak konstitusional petani yang dilindungi oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, di mana petani mempunyai hak untuk membudidayakan tanaman pilihannya,” jelas Soeseno.
“Maka dari itu, ketika sebuah lembaga dunia bernama WHO membuat sebuah instrumen internasional untuk pengendalian tembakau yang cenderung merugikan industri hasil tembakau nasional, maka sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk menyuarakan penolakan agar pemerintah bisa lebih obyektif dalam mengambil keputusan,” lanjutnya.
Beberapa ketentuan lain dalam FCTC yang mengancam penghidupan petani tembakau dan cengkeh antara lain: larangan penggunaan bahan tambahan termasuk cengkeh pada produk tembakau yang akan mematikan produk rokok kretek yang merupakan produk khas Indonesia; penerapan kemasan polos tanpa merek yang melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di manca negara; serta larangan interaksi antara pemangku kepentingan industri hasil tembakau dengan para pembuat kebijakan.
“FCTC bukanlah kebijakan yang bijaksana bagi Indonesia karena Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara-negara lain yang tidak memiliki kepentingan nasional terhadap keberadaan dan kelangsungan industri hasil tembakau. Untuk itu, kami mendukung keputusan Presiden Jokowi yang lebih mengedepankan kepentingan nasional daripada mengaksesi suatu konvensi internasional yang hanya akan menyakiti jutaaan masyarakat Indonesia,” tutup Soeseno.
Indonesia merupakan penghasil cengkeh terbesar di dunia dan kelima terbesar penghasil tembakau. Dalam kaitannya, industri hasil tembakau nasional menyerap lebih dari 90% cengkeh yang dihasilkan di Indonesia.
Industri Nasional
Industri hasil tembakau menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja (Data Kementrian Perindustrian Tahun 2015), sebesar populasi Surabaya, Malang dan Bandung jika digabung, angka ini terdiri dari kurang lebih 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh 600.000 tenaga kerja pabrikan, dan 2 juta pedagang/peritel.
Industri hasil tembakau merupakan penyumbang pajak terbesar ketiga bagi Indonesia, setelah PPN dan PPH. Total pembayaran pajak produk tembakau di tahun 2015 mencapai 173,9 triliun yang terdiri atas cukai tembakau, pajak daerah, dan PPN rokok. (Data Dirjen Bea dan Cukai – Kementrian Keuangan RI Tahun 2015)
Industri hasil tembakau merupakan penyumbang ekspor yang signifikan terhadap Negara, dengan peningkatan nilai sebesar 52 persen sejak 2010 sampai dengan 2014 (Data Badan Pusat Statistik)
Sesuai dengan UU Perkebunan No.39/2014: Tembakau merupakan salah satu (dari tujuh) Komoditas Perkebunan Strategis Nasional karena memiliki peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup
Tentang FCTC
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah konvensi internasional pertama yang mengatur agenda global pengendalian produk tembakau untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Lebih dari 180 negara telah menjadi bagian dari FCTC. Hingga kini, terdapat 16 negara yang tidak menandatangani atau meratifikasi FCTC, diantaranya adalah Amerika Serikat, Swiss, Argentina, Moroko, dan Indonesia.
Dalam perkembangannya, FCTC telah mengalami banyak perubahan, dimana pedoman-pedomannya menjadi semakin eksesif sehingga mengancam kedaulatan dari negara-negara yang telah melakukan aksesi/ratifikasi.
Ancaman FCTC berupa Pedoman Pasal 5.3: Larangan berinteraksi antara pemerintah dengan IHT. Pedoman Pasal 9 dan Pasal 10: Larangan penggunaan perasa/flavor yang mencakup larangan penggunaan cengkeh. Sebanyak 95 persen pasar rokok di Indonesia merupakan rokok kretek yang menggunakan cengkih. Untuk itu, pelarangan ini akan mematikan industri kretek yang merupakan produk asli Indonesia. Larangan ini sudah diimplementasikan di Brazil, Amerika Serikat (khusus cengkih), Kanada, dan Uni Eropa
Pedoman Pasal 11: Penerapan kemasan polos tanpa merek (plain packaging). Hal ini bertentangan dengan UU Hak Kekayaan Intelektual serta mengabaikan hak konsumen untuk mengetahui kandungan yang ada di dalam produk hasil tembakau. Ketentuan kemasan polos sudah diimplementasikan di Australia. Sementara itu Inggris, Irlandia, Perancis sudah meloloskan peraturan ini. Beberapa negara juga mulai mengusulkannya, seperti Singapura, Thailand, Taiwan, Selandia Baru, Malaysia, dan India
Konversi lahan tembakau ke komoditas lain. Hingga saat ini tidak ada komoditas lain yang keuntungannya dapat melebihi tembakau, dan umumnya hanya tembakau yang dapat tumbuh di tanah yang kering semasa musim kemarau. Perlu diketahui bahwa UU No.39 tahun 2014 tentang Perkebunan telah menetapkan tembakau sebagai salah satu komoditas strategis perkebunan yang memiliki peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan.
PP No 109/2012
Indonesia juga telah memiliki peraturan pengendalian tembakaunya sendiri melalui Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (“PP 109/2012”) yang disahkan pada Desember 2012.
PP 109/2012 mengatur antara lain: pelarangan penjualan rokok oleh dan untuk anak-anak; pembatasan iklan; promosi dan sponsorship produk tembakau; pencantuman peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan sebesar 40% di depan dan belakang kemasan; pembatasan kegiatan merokok di tempat umum dan tempat kerja, dan lainnya. Beberapa ketentuan dalam PP 109/2012 dinilai sudah lebih ketat jika dibandingkan dengan aturan di beberapa negara lain yang telah meratifikasi FCTC. (ZKA Warouw)