JAKARTA- Model berdemokrasi yang dirancang para pendiri negara relatif berbeda dan tidak menjiplak dari praktik demokrasi yang dijalankan di Inggris, Amerika maupun Australia. Pendiri republik hanya mengakui legitimasi di DPR. Namun saat ini, Orde Reformasi telah mengubah prinsip single legitimacy menjadi double legitimacy, yaitu lembaga perwakilan dan lembaga eksekutif dipilih dan mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat. Hal ini disampaikan oleh ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusly Moti kepada bergelora.com di Jakarta, Jumat (12/9).
Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini mengacu pada dasar filosofi sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Pendiri Republik Indonesia menurutnya sudah menentukan hanya ada satu lembaga yang memiliki legitimasi bisa mengatas namakan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Karena itu lembaga itu dipilih langsung oleh rakyat. Jadi satu-satunya yang berhak mengatasnamakan rakyat, single legitimacy, hanya DPR, sebagai lembaga tertinggi, bukan yang lainnya,” tegas
Pendiri negara menurutnya menghendaki kedaulatan ada di tangan rakyat yang dijalankan sepenuhnya oleh para wakil rakyat yang dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, demokratis dan jurdil.
“Tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Merumuskan haluan sekaligus mengawasi jalannya pembangunan yang berkesinambungan, juga memilih pemimpin eksekutif yang diamanatkan menjalankan keputusannya,” ujarnya.
Tanpa Tanggung Jawab
Saat ini menurutnya, Orde Reformasi telah mengubah prinsip single legitimacy menjadi double legitimacy, yaitu lembaga perwakilan dan lembaga eksekutif dipilih dan mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat.
“Akibatnya pemimpin lembaga eksekutif yang terpilih secara langsung oleh rakyat, tak perlu bertanggungjawab kepada wakil rakyat di DPR. Bahkan, bila dikatakan bertanggungjawab langsung kepada rakyat, juga tak ada rumusan seperti apa mekanisme pertanggungjawaban seorang Gubernur dan Bupati ketika masa jabatannya berakhir, namun mengkhianati janjinya yang disampaikan saat kampanye,” ujarnya.
Menurutnya, haluan program yang dijalankan seorang Gubernur dan Bupati yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah janji-janji abstraknya saat kampanye.
“Akibatnya, tak ada design pembangunan yang berkesinambungan. Perhatikan di DKI Jakarta, tiap ganti Gubernur pasti ganti kebijakan, pembangunan bergerak maju mundur seperti tarian poco-poco,” ujarnya. (Web Warouw)