JAKARTA- Selama bertahun-tahun, beberapa politisi dan media Barat telah menyebarkan retorika: Tiongkok menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam “jebakan utang.” (Debt Trap). Namun, sebuah laporan baru dari lembaga amal Debt Justice yang berbasis di London berjudul “Debt, Democracy and The Rise of Authoritarianism”,– menemukan bahwa kisah sebenarnya sangat berbeda. People’s Daily dari China mengulas dan diterjemahkan Bergelora.com di Jakarta, Kamis (21/8).
Meliputi 88 negara, penelitian ini mengungkapkan bahwa antara tahun 2020 dan 2025, negara-negara berpendapatan rendah mengirimkan 39 persen pembayaran utang luar negeri mereka kepada pemberi pinjaman komersial, 34 persen kepada lembaga multilateral, dan hanya 13 persen kepada pemberi pinjaman publik dan swasta Tiongkok. Dengan kata lain, sebagian besar beban utang berada di tempat lain.
Laporan tersebut menunjukkan contoh-contoh yang mencolok. Raksasa pertambangan Glencore menolak memberikan keringanan utang kepada Chad. Setelah empat setengah tahun negosiasi, Zambia masih harus mencapai kesepakatan dengan beberapa kreditor swasta, termasuk Standard Chartered yang berbasis di Inggris. Di Sri Lanka, Hamilton Reserve Bank telah menolak restrukturisasi pemegang obligasi dan terus mengajukan gugatan hukum di negara bagian New York.
Para kreditor ini, sebagian besar dari Barat, telah mengadopsi pendekatan yang keras dan mengutamakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Tim Jones, kepala kebijakan di Debt Justice, “Para pemimpin Barat menyalahkan Tiongkok atas krisis utang di Afrika, tetapi ini justru mengalihkan perhatian. Kenyataannya, bank, manajer aset, dan pedagang minyak mereka sendiri harus lebih bertanggung jawab.”
Garis kesalahan yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada besarnya utang, tetapi juga pada persyaratannya. Tidak seperti “modal sabar” Tiongkok, yang menekankan pembangunan jangka panjang, pemberi pinjaman komersial dan lembaga multilateral Barat seringkali mengutamakan keuntungan jangka pendek. Pinjaman mereka memiliki suku bunga tinggi, klausul pembayaran yang kaku, dan terkadang dibebani oleh kepentingan politik. Kombinasi ini menciptakan siklus ketergantungan dan kerentanan finansial—jebakan nyata yang sulit dihindari oleh banyak negara berkembang.
Hal ini bukanlah hal baru. Negara-negara berkembang telah lama menanggung konsekuensi ortodoksi keuangan Barat. Di Amerika Latin, Konsensus Washington tahun 1989 memaksa pemerintah untuk memprivatisasi aset negara, menderegulasi perekonomian, dan meliberalisasi perdagangan dan keuangan dengan imbalan pinjaman.
Alih-alih mendorong kemakmuran, kebijakan-kebijakan ini justru menggerogoti kedaulatan ekonomi dan memicu keresahan sosial. Tak heran jika Wakil Menteri Luar Negeri Honduras, Gerardo Torres, mengatakan, “selama beberapa dekade, negara-negara Barat telah memaksakan kriteria keuangan mereka melalui pinjaman yang tidak pernah membuahkan pembangunan sejati.”
Membebaskan diri dari siklus ini membutuhkan lebih dari sekadar penghapusan utang, dan menuntut pertumbuhan yang terdiversifikasi dan berkelanjutan. Di situlah Tiongkok memfokuskan upayanya.
Di seluruh Afrika, tempat narasi “jebakan utang” paling lantang diulang, pendanaan Tiongkok telah membantu membangun dan meningkatkan hampir 100.000 km jalan raya, lebih dari 10.000 km jalur kereta api, dan hampir 100 pelabuhan. Investasi ini meletakkan dasar bagi konektivitas, industrialisasi, dan pertumbuhan jangka panjang. Para pemimpin Afrika telah menegaskan hal ini dengan jelas: peran Tiongkok adalah sebagai mitra, bukan predator.
Pada intinya, perdebatan “jebakan utang” lebih dari sekadar keuangan. Selama beberapa dekade, sistem utang yang didominasi Barat telah membatasi ekonomi negara berkembang dan membatasi hak mereka untuk menentukan arah mereka sendiri. Sebaliknya, model kerja sama Tiongkok mengarah pada pemutusan rantai tersebut dan pembukaan jalur baru menuju pertumbuhan.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan hanya tentang utang, tetapi tentang siapa yang berhak menetapkan aturan pembangunan di abad ke-21, dan suara siapa yang didengar dalam membentuk aturan tersebut.
Jika ada jebakan yang nyata, itu adalah persistensi narasi lama yang mengalihkan tanggung jawab dan mengaburkan ketidakadilan struktural sistem keuangan global. Hanya dengan mengubah narasi tersebut, ruang untuk alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan dapat diciptakan. (Web Warouw)