JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam rapat paripurna, Selasa (5/12/2023).
Salah satu pasal yang direvisi adalah pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai kesusilaan. Adapun poin revisinya berupa penambahan pengecualian pidana bagi orang yang menyebarkan konten asusila (seperti kekerasan seksual) untuk membela diri.
Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE sejak lama dilabeli sebagai pasal karet. Pasalnya, banyak korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana, karena menyebarkan konten kekerasan seksual yang dialaminya.
“Namun dengan revisi kedua ini, pidana tidak bisa ditujukan apabila seseorang menyebarkan konten asusila untuk membela diri,” kata Samuel Abrijani Pangerapan selaku Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam video Konferensi Pers: Perubahan Kedua atas UU ITE di saluran YouTube KemkominfoTV dikutip, Rabu (6/12/2023).
“Contoh konkretnya adalah kasus Baiq Nuril,” lanjut pria yang akrab disapa Semmy ini.
Kasus Baiq Nuril
Kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ramai pada 2014/2015 silam.
Singkatnya, Baiq menerima telepon dari kepala sekolahnya bernama Muslim yang menceritakan pengalaman seksualnya dengan seorang perempuan yang juga dikenal Nuril.
Merasa itu sebagai pelecehan, Nuril merekamnya. Rekaman itu lalu tersebar dan membuat Muslim dimutasi.
Muslim melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 UU ITE.
Nuril pun dipanggil penyidik Polres Mataram dan langsung ditahan dengan dijerat Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.
Nuril mendapatkan tuduhan dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan.
Setelah proses panjang, Baiq Nuril justru divonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan pada 2019. Namun, Presiden Joko Widodo akhirnya memberikan amnesti, sehingga Nuril bebas dari jerat hukum.
“Padahal kasus Baiq, dia bukan ingin menyebarkan. Dia ingin melindungi diri (untuk membutktikan) ini saya lagi dilecehkan. Sekarang (bila dilakukan untuk membela diri), itu menjadi pengecualian di UU ITE pasal 27 ayat (1),” kata Semmy.
Revisi UU ITE Jilid 2
Revisi UU ITE jilid kedua ini juga memberikan batasan lain pada pasal 27 ayat (1) mengenai kesusuliaan.
Semmy mengatakan, pengecualian ini dapat dilihat di poin revisi Pasal 45 KUHP yang mengatur tuntutan apabila seseorang melanggar norma di pasal 27 ayat (1), berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan tidak bisa dipidanakan dalam hal:
- Membela diri
- Dilakukan untuk kepentingan umum
- Masalah kesehatan Ilmu pengetahuan
- Karya seni
Pasal Pencemaran Nama Baik Juga Ada Pengecualian
Semmy menjelaskan, pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik juga dirubah rubah dan disesuaikan dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2026.
Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.
“Yang berbeda, seseorang bisa menuduhkan suatu hal ke orang lain untuk membela diri dan kepentingan umum, asal bisa membuktikan tuduhan,” kata Semmy.
Agar masyarakat juga tak asal tuduh, aturan ini juga mendefinisikan pengertian “dilakukan untuk kepentingan umum”, yakni:
Melindungi kepentingan masyaralat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Misalnya unjuk rasa atau kritik.
Dalam negera demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan/tindakan orang lain.
Pada dasarnya kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Poin Revisi UU ITE Jilid 2 Lainnya
Proses revisi UU ITE kedua ini sudah berlangsung lama. RUU Perubahan Kedua UU ITE disampaikan Presiden Joko Widodo kepada Ketua DPR RI melalui Surat Nomor R-58/PRES/12/2023 tanggal 16 Desember 2021.
Pembahasan RUU Perubahan Kedua UU ITE melalui 14 (empat belas) kali Rapat Panitia Kerja (Panja) antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI. Selanjutnya Panja Pembahasan RUU menugaskan Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) agar seluruh rumusan substansi RUU, termasuk penjelasannya disempurnakan dan disinkronisasi berdasarkan teknis penulisan perundang-undangan dan kaidah Bahasa Indonesia yang baik.
Pada 21 November 2023, Panja Pembahasan RUU menyetujui laporan dari Timus dan Timsin RUU. Komisi I DPR RI dan Pemerintah kemudian menggelar Rapat Kerja pada 22 November 2023 dalam rangka Pembicaraan Tingkat I, dan telah menyetujui naskah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU ITE untuk dibawa ke Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna untuk disahkan.
Berdasarkan Rapat Panja serta Rapat Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) telah menyelesaikan pembahasan dan menyepakati perubahan 14 pasal eksisting dan penambahan 5 pasal RUU Perubahan Kedua UU ITE.
Beberapa norma pasal yang disempurnakan antara lain mengenai:
- Alat bukti elektronik (Pasal 5)
- Sertifikasi elektronik (Pasal 13)
- Transaksi elektronik (Pasal 17)
- Perbuatan yang dilarang (Pasal 27, Pasal 27 (a), Pasal 27 (b), Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidana (Pasal 45, Pasal 45 (a) dan Pasal 45 (b)),
- Peran pemerintah (Pasal 40)
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 43)
Perubahan kedua UU ITE juga melengkapi materi yang meliputi:
- Identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 (a))
- Perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan Pasal 16 (b))
- Kontrak elektronik internasional (Pasal 18 (a))
- Peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif (Pasal 40 (a))
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menegaskan perubahan UU ITE jilid 2 ini merupakan wujud tanggung jawab Pemerintah mengedepankan perlindungan kepentingan umum serta bangsa dan negara.
“Sama halnya dengan ruang fisik, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia (HAM) bagi pengguna internet Indonesia di ruang siber, seperti yang telah tertuang pada konstitusi Indonesia,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR RI dan Pemerintah di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (05/12/2023). (Enrico N. Abdielli)