JAKARTA- Diella, adalah menteri baru yang ditunjuk oleh pemerintah Albania. Ia punya tugas untuk melaksanakan pengadaan publik, yang tak mempan dengan ancaman atau godaan suap.
Kenapa bisa? Sebab, Diella adalah Artificial Intelligence (AI). Gebrakan ini diambil oleh Perdana Menteri Albania Edi Rama, yang tengah memulai periode keempatnya. Diella sendiri berarti ‘Matahari’ dalam bahasa Albania.
Sejak ditunjuk, Diella akan mengatur semua tender publik yang melibatkan kontrak antara pemerintah dan perusahaan swasta, untuk beragam proyek.
“Diella adalah anggota kabinet pertama yang tidak hadir secara fisik, tapi ia diciptakan oleh AI,” kata Rama, saat mengumumkan kabinet barunya, dilansir reuters, Minggu (14/9).
“Ia akan membuat Albania, sebuah negara yang tendernya 100 persen bebas korupsi,” ucap Rama.
Sejauh ini, pemerintah belum memberikan secara rinci apakah akan ada pengawas manusia untuk Diella, atau menganalisa potensi kerawanan jika seseorang akan memanipulasi AI itu.
Kenalan Dengan Diella
Diella dalam bahasa Albania artinya ‘sinar matahari’. Dia pertama kali diumumkan ke masyarakat Albania pada awal 2025 sebagai bagian dari platform digital e-Albania.
Dalam kapasitasnya, Diella membantu warga dan pelaku bisnis menavigasi layanan bold, termasuk memproses permintaan dokumen resmi, menyampaikan perintah suara, hingga menerbitkan sertifikat bercap elektronik.
Diella digambarkan secara visual sebagai perempuan yang mengenakan pakaian tradisional Albania.
Kini, Diella memikul tanggung jawab yang lebih besar. Itu juga yang membuatnya dilantik sebagai menteri yang bertanggung jawab mengelola semua pengadaan publik, dan akan memastikan bahwa tender ‘100% bebas korupsi’ dan sepenuhnya transparan.
Diella sendiri diluncurkan tahun ini, sebagai asisten virtual berbasis AI di platform e-Albania. Platform ini membantu bisnis masyarakat, terutama dalam mengurus dokumen-dokumen negara.
Secara visual, Diella mengenakan pakaian khas Albania. Ia akan memberi asistensi lewat suara, hingga memberi cap dan stempel elektronik, untuk mempersingkat keterlambatan birokratik.
Kesepakatan kontrak sejak lama jadi sumber korupsi di Albania. Sejumlah pengamat bahkan menyebut, banyak kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan kesempatan ini untuk mencuci uang mereka dari hasil perdagangan obat-obatan hingga senjata di seluruh dunia.
Stigma tentang buruknya Albania itu bisa jadi ganjalan negara ini bergabung ke Uni Eropa, yang ditargetkan Rama akan tercapai pada 2030. Banyak analis politik menyebut, rencana itu ambisius.
Bagaimana Status Hukumnya?
Langkah Perdana Menteri Albania Edi Rama menunjuk Artificial Intelligence (AI) sebagai menteri mengejutkan dunia. Penugasan AI sebagai anggota kabinet untuk membantu pemerintah memberantas korupsi ini menjadi yang pertama di dunia.
BBC News menurunkan laporan “World’s first AI minister will eliminate corruption, says Albania’s PM” (13/9/2025).
Laporan itu menyebut, bagi seorang pejabat pemerintah, dicap “tidak berperasaan” merupakan risiko pekerjaan. Namun, Albania telah memilih untuk mengubah hinaan itu menjadi hal positif dengan mengangkat AI sebagai seorang menteri.
AI adalah teknologi yang memungkinkan mesin meniru kemampuan manusia, seperti belajar, menganalisis, dan mengambil keputusan. Karena bukan manusia, maka AI tidak memiliki emosi, apalagi hati nurani.
Perdana Menteri Edi Rama memperkenalkan Menteri AI bernama Diella setelah pascakemenangan keempatnya dalam pemilihan bulan ini. Ia menegaskan bahwa pemberantasan korupsi menjadi alasan utama penunjukan Diella.
Tim yang terdiri dari pakar lokal dan internasional, telah merancang model AI pertama di dunia khusus untuk pengadaan publik itu.
Dilansir Euronews “Albania appoints world’s first AI government ‘minister’ to root out corruption” (12/9/2025), menegaskan bahwa Albania menunjuk AI sebagai anggota kabinet pemerintahanannya untuk menghapus korupsi.
Dengan kehadiran Diella, pemerintah berharap dapat menghapus segala bentuk pengaruh dalam proses lelang publik, menjadikannya lebih cepat, efisien, dan transparan.
Keuntungan menunjuk platform AI menggantikan peran manusia akan memperkecil kebocoran. AI tidak memiliki nafsu koruptif. Berbeda dengan manusia, AI hanya membutuhkan listrik untuk menyambung hidupnya. Status dan tanggung jawab hukum Perkembangan pesat AI melahirkan perdebatan hukum.
Apakah AI harus tetap dipandang sebagai objek hukum berupa platform yang dikendalikan manusia, atau sudah layak dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri.
Terkait penunjukan AI sebagai menteri di Albania, BBC dalam laporannya menyatakan bahwa langkah tersebut sesungguhnya lebih bersifat simbolis daripada resmi.
Konstitusi Albania menegaskan, menteri dalam pemerintahan haruslah warga negara yang cakap secara mental dan berusia minimal 18 tahun. Berbagai pertanyaan pun muncul.
Apakah AI pantas diberi jabatan publik? Bagaimana jika suatu saat salah mengambil keputusan? Bukankah seorang pejabat seharusnya punya hati nurani dan pertimbangan etis, sesuatu yang jelas tidak dimiliki mesin?
Dari sisi hukum ada dua cara pandang soal posisi AI yang kerap dipertaruhkan di pengadilan. Pertama, ada pihak yang ingin memperlakukan AI sebatas objek hukum dan instrumen teknologi yang membantu manusia.
Kedua, ada pihak yang menginginkan agar AI dipandang sebagai subjek hukum layaknya manusia dan diakui sebagai entitas hukum baru, misalnya diakui sebagai inventor paten, komposer atau autor hak cipta. Pendekatan yang mengkonstruksikan AI sebagai subjek hukum tidaklah sederhana.
Terutama ketika harus menetapkan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban jika AI keliru dan merugikan orang lain.
Padahal, saat ini mulai berkembang AI otonom yang bisa melakukan tindakan atau eksekusi tanpa instruksi manusia.
AI juga berbeda sangat diametral dengan korporasi sebagai entitas atau badan hukum (rechtperson).
Korporasi berupa perseroan terbatas, misalnya, diakui sebagai subjek hukum karena merupakan kumpulan individu manusia. Kapasitas dalam bertindaknya pun diwakili oleh direksi yang nyata-nyata merupakan individu manusia. Hal ini tentu tak sepadan dengan posisi AI yang berbasis algoritma dan mesin.
Memperlakukan AI sebagai objek hukum akan mempermudah mengidentifikasi hak dan tanggung jawab yang terkait dengannya. Apakah tanggungjawab hukum akan dilekatkan pada pengembangnya, operatornya, atau pemerintah yang menunjuknya sebagai “pejabat”.
Peristiwa di Albania mendorong pemikiran yuridis terkait batasan kekuasaan dan siapa yang harus dimintai tanggung jawab jika kebijakan yang dibuat AI merugikan masyarakat.
Diperlukan standar baru terkait kode etik, tata kelola, bahkan lembaga khusus yang mengawasi penggunaan AI.
Usulan pembentukan badan pengawas AI di tingkat nasional, seperti yang diterapkan di Uni Eropa semakin masuk akal.
adan inilah yang bisa menentukan sejauh mana AI boleh bertindak dalam ranah publik dan bagaimana memanfaatkan AI dalam pemerintahan tanpa mengabaikan moral, etika, dan akuntabilitas publik.
Dalam praktik hukum selama ini, AI dianggap sebagai alat yang tidak memiliki kesadaran maupun kapasitas untuk bertanggung jawab secara hukum.
Di pengadilan atau arbitrase, AI hanya berfungsi sebagai penunjang bagi hakim untuk menimbang data dan fakta, sementara putusan tetap mutlak diambil hakim atau arbiter manusia.
Dalam perkembangannya, AI general menunjukkan kemampuan membuat keputusan kompleks dan belajar secara mandiri. Namun, AI tidak memiliki kesadaran, moralitas, maupun kapasitas untuk memahami hak dan kewajiban sebagaimana manusia.
Putusan pengadilan di berbagai negara telah menguatkan pandangan bahwa AI belum bisa dianggap sebagai subjek hukum.
Mahkamah Agung Inggris, misalnya, menolak klaim bahwa AI bernama DABUS dapat menjadi penemu dalam hukum paten.
Demikian pula, Kantor Hak Cipta AS menolak pengakuan hak cipta atas karya murni buatan AI. Hal ini menegaskan bahwa kreativitas hukum masih dilekatkan pada manusia, bukan mesin.
Dalam konteks regulasi, Uni Eropa melalui EU AI Act (AIA) menegaskan, AI tetap berstatus sebagai objek hukum.
Ketentuan tentang kewajiban transparansi dan pengawasan manusia membuktikan bahwa tanggung jawab hukum dibebankan pada pengembang, operator, atau pemilik AI. Dengan model ini, risiko penyalahgunaan AI tetap dapat diawasi tanpa perlu memberikan status hukum hukum independen kepada AI.
Masalah serius bisa muncul, jika AI dijadikan subjek hukum, di mana manusia bisa terhindar dari tanggung jawab. Jika AI diberi hak dan kewajiban hukum, maka ada potensi yang membuat pengembang atau pengguna AI lepas dari akuntabilitas dan tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan AI.
Oleh karena itu perlu menempatkan AI hanya sebagai objek hukum, agar mekanisme pertanggungjawaban tetap jelas dan terukur. Dengan posisi ini, sistem hukum akan secara konsisten memberi pelindungan masyarakat, dan sekaligus memberi ruang inovasi secara bertanggung jawab bagi pengembangan teknologi.
Dari perspektif Cyberlaw, penunjukan AI sebagai menteri bisa dibaca lebih sebagai simbol inovasi politik ketimbang pengakuan yuridis bahwa AI adalah subjek hukum. Hal ini menunjukkan keberanian memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi birokrasi. Secara konstitusional, pertanggungjawaban hukumnya akan tetap melekat pada pejabat publik manusia yang memegang kendali atas AI tersebut. (Calvin G. Eben-Haezer)